Seruan untuk memisahkan kembali penyelenggaraan pemilu anggota legislatif dari pilpres tersebut seakan melupakan keruwetan politik pasca-Pilpres 2004 dan Pilpres 2014 akibat pemerintahan terbelah (divided government).

Pemerintahan terbelah terjadi manakala pejabat eksekutif terpilih tak mendapat dukungan mayoritas parlemen hasil pemilu. Hal ini terjadi karena parpol atau koalisi parpol pendukung pejabat eksekutif yang terpilih berbeda dengan parpol atau koalisi parpol yang menguasai mayoritas parlemen (Cheibub, 2007). Dengan peta politik seperti itu, setiap rancangan kebijakan dari eksekutif cenderung ditolak oleh parlemen atau sebaliknya. Akibatnya, pengambilan keputusan berlarut-larut sehingga pemerintahan tidak efektif.

Pemerintahan terbelah pertama terjadi  pasca-Pemilu Presiden 2004. Saat itu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) menjadi presiden dan wakil presiden terpilih, sedangkan hasil Pemilu Legislatif 2004 menunjukkan bahwa koalisi partai politik pendukung SBY-JK tidak menguasai mayoritas DPR. Akibatnya, selama setahun SBY-JK sulit mengimplementasi kebijakan karena mendapat tantangan dari DPR. Situasi menjadi lebih mudah ketika SBY-JK berhasil menarik Partai Golkar bergabung dalam pemerintahan.

Pemerintahan terbelah kembali terjadi pasca-Pilpres 2014 ketika Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi presiden dan wakil presiden terpilih, sedangkan hasil Pemilu Legislatif 2014 memperlihatkan koalisi parpol pendukung Jokowi-JK tak mencapai mayoritas di DPR. Pemerintahan Jokowi-JK pun dibuat tak berdaya oleh pertikaian berlarut-larut di DPR. Sekali lagi, Partai Golkar menyeberang dari kubu koalisi oposisi dan berbalik mendukung Jokowi-JK sehingga pemerintahan berjalan normal.

Menghindari pemerintahan terbelah

Bahwa Pemilu 2019 yang menyerentakkan pemilu presiden dan pemilu legislatif menimbulkan banyak masalah bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara tidak perlu dimungkiri. Pemilih mengalami kesulitan dalam menentukan pilihannya akibat banyaknya surat suara dan calon yang harus dipilih.

Pemilih lebih peduli dengan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden karena kampanye pilpres mendominasi wacana publik dibandingkan pemilu legislatif di mana setiap calon anggota legislatif melakukan kampanye sendiri-sendiri, sedangkan partai politik nyaris tidak melakukan kampanye.

Sementara itu, seratusan petugas pemilu meninggal dan lima ratusan lainnya sakit akibat beban pekerjaan yang melampaui batas kemampuan manusia. Hanya di Indonesia korban pemilu berjatuhan bukan akibat konflik kekerasan, melainkan akibat manajemen penyelenggaraan pemilu.

Meskipun demikian, bukan berarti kita harus kembali ke format lama, di mana pilpres dan pilkada dipisahkan dari pemilu legislatif. Sebab, pemisahan tersebut sudah jelas dampaknya: menciptakan pemerintah terbelah. Sudah seharusnya kita tidak terantuk batu yang sama untuk kedua kali.

Apabila mengacu pada hasil hitung cepat Kompas dan beberapa survei lembaga lain, jelas terlihat kemampuan pemilu serentak presiden dan legislatif dalam menghindarkan diri dari terbentuknya pemerintahan terbelah. Pengalaman negara-negara Amerika Latin menunjukkan hal sama (Payne, 2002). Pemilu serentak presiden dan legislatif mampu menghindarkan terbentuknya pemerintahan terbelah karena baik parpol maupun pemilih sama-sama mengedepankan calon presiden sehingga keterpilihan capres memengaruhi keterpilihan anggota legislatif. Inilah coattail effect atau efek menarik kerah jas itu.

Jika memang demikian, memisahkan kembali penyelenggaraan pilpres dari pemilu legislatif bukanlah tindakan bijaksana. Yang harus dilakukan adalah menciptakan format pemilu yang tak menyulitkan pemilih, peserta, dan penyelenggara, sekaligus mampu menghindari terbentuknya pemerintahan terbelah. Di sinilah format pemilu (serentak) nasional dan pemilu (serentak) daerah menjadi pilihan ideal.

Pemilu nasional digelar untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan demikian, di bilik suara, pemilih hanya menerima tiga jenis surat suara: pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPR, dan pemilu DPD. Sementara pemilu daerah digelar untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Di sini, pemilih mendapat empat surat suara: pemilu gubernur dan wakil gubernur, pemilu anggota DPRD provinsi, pemilu bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota, serta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.

Apakah dengan format demikian, pemilu legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) akan terabaikan dari pemilu eksekutif (presiden, gubernur, dan bupati/wali kota)? Harus disadari, dalam sistem pemerintahan presidensial (baik tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota), peran eksekutif lebih menonjol dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan daripada legislatif.

Oleh karena itu, masuk akal jika parpol dan pemilih pun lebih mengedepankan pemilihan pejabat eksekutif daripada calon anggota legislatif. Namun, tingkat terabaikan atau tidaknya pemilu legislatif dibandingkan pemilu eksekutif juga bergantung pada kemampuan parpol dalam mengampanyekan calon anggota legislatifnya. Yang jelas, format pemilu nasional dan pemilu daerah dapat menghindarkan pemilu kepala daerah dan pemilu anggota DPRD dari paparan pemilu presiden yang memang masif pada tingkat nasional.

Dengan demikian, dalam pemilu daerah, partai politik, calon pejabat eksekutif, dan calon anggota legislatif dapat memaksimalkan isu-isu lokal dalam menggaet pemilih. Inilah format pemilu yang sejalan dengan konsep otonomi daerah.

Kerangka konstitusional

Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 menyatakan bahwa pemisahan pilpres dari pemilu legislatif tidak konstitusional sehingga Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pada Pemilu 2019, pemilu presiden dan pemilu legislatif diserentakkan.

Saat itu Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan soal keterbelahan pemerintahan sebagai akibat dari pemisahan pemilu presiden dari pemilu legislatif. Putusan itu mendasarkan pada kesulitan yang dihadapi pemilih saat memberikan suara karena harus pergi ke tempat pemungutan suara dua kali sebagaimana didalilkan penggugat. Terbukti ketika pemilu presiden dan legislatif diserentakkan, kesulitan pemilih semakin menjadi-jadi.

Apabila pemisahan pilpres dari pemilu legislatif tak konstitusional, sedangkan penyatuannya menimbulkan kerumitan luar biasa bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara sehingga tak bisa dilanjutkan, apakah format pemilu nasional dan pemilu daerah melanggar konstitusi? Jawabannya tidak, sebab tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang melarang format pemilu seperti itu.

Dengan demikian, pengaturan format pemilu itu sepenuhnya bergantung pada pembuat undang-undang, yakni presiden dan DPR. Demi mewujudkan terselenggaranya pemilu nasional dan pemilu daerah, maka presiden dan DPR terpilih harus menyusun UU pemilu baru. Pertama, merevisi sejumlah ketentuan terkait dengan aktor, sistem, jadwal, manajemen, dan penegakan hukum agar selaras dengan format pemilu nasional dan pemilu daerah.

Kedua, mengintegrasikan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke dalam undang-undang pemilu yang baru. Inilah langkah komprehensif dalam menyelesaikan masalah pemilu, baik dilihat dari sisi proses (pelaksanaan tahapan) maupun hasil (calon terpilih).