Pemerintah menegaskan bahwa pemblokiran itu bukan tindakan sewenang-wenang. Menko Polhukam Wiranto menyatakan bahwa tindakan itu terpaksa diambil demi mengamankan negeri. Menkominfo Rudiantara lebih memakai istilah pembatasan akses yang bersifat sementara dan bertahap atas platform media sosial dan sebagian fitur-fiturnya itu dilakukan dalam rangka menghindari penyebaran hoaks dan provokasi.
Menurut Rudiantara, modus penyebaran kabar bohong itu berawal dari tangkapan layar di medsos yang lalu disebarkan dan menjadi viral di aplikasi perpesanan WhatsApp (WA).
Di satu sisi, pemerintah tampak terlalu sensitif dengan penyebaran informasi publik, yang digeneralisasi sebagai rawan ancaman hoaks. Lalu, pemerintah mengendalikan distribusi informasi dengan memosisikan media-media arus utama (mainstream) sebagai produsen utama konten-konten positif. Hal itu mirip situasi menjelang lengsernya Soeharto ketika media-media arus utama pro-pemerintah diarahkan (dikendalikan) untuk hanya menyiarkan dan menayangkan konten-konten positif.
Namun, di sisi lain, seperti juga diamanatkan oleh UU ITE, pemerintah wajib melindungi masyarakat dan berkewenangan melakukan pembatasan-pembatasan informasi. Apalagi, mulai terkuak adanya antek-antek pihak asing yang memancing di air keruh dalam rangka mendestruksi bangsa dan negara. Diperlukan politik digital koersif-antisipatif daripada kecolongan bencana sosial yang lebih besar.
Periode pertama
Pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo (2014-2019), literasi digital telah mendapat perhatian khusus. Pendekatannya lebih bersifat kultural edukatif berupa gerakan mengatasi gejala degenerasi fungsi media digital—hoaks, ujaran kebencian, cyber bullying, cyber radicalism, dan pornografi. Menurut Wasisto Jati (Kompas, 15/4/2017), media sosial dan media daring telah merosot hingga menjadi alat eksklusi sosial hegemonik, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Medsos disalahmanfaatkan untuk mengelola isu politis dengan menyugesti kaum radikalis, memicu gerakan sosial artifisial yang hegemonik.
Kemenkominfo sejak akhir 2017 kemudian menginisiasi gerakan yang lebih masif dengan tajuk Gerakan Nasional Literasi Digital "Siberkreasi". Mengacu pada konsep UNESCO, gerakan ini bersifat gerakan edukatif, dideskripsikan sebagai "upaya penyebaran pengetahuan dan etika digital secara masif dan luas dalam format populer dan menarik" (Profil GNLD Siberkreasi, 2018).
Gerakan literasi digital bersifat kultural edukatif ini berkembang pesat. Kiprahnya mendapatkan penghargaan sebagai "Indonesia Brand of Endorsement of the Year 2018" dan penghargaan sebagai Champion dalam WSIS Prizes 2018 oleh International Telecommunication Union (ITU) PBB.
Namun, ternyata kejahatan hoaks semakin menjadi-jadi. Bukan lagi sekadar penyimpangan sosial (social delinquency) dan epidemi penyakit sosial. Hoaks sudah jadi rezim kejahatan global yang didukung oleh jejaring penguasa hoaks yang bergerak sangat sistematis dengan dukungan dana dan infrastruktur sangat kuat.
Indonesia dan bangsa-bangsa sedang dijajah oleh kolonialisme hoaks. Artikel di Kompas (28/3/2019) berjudul "Perlu Total Mengatasi Hoaks" mengisyaratkan, kejahatan dan penjajahan oleh para penjahat hoaks tidak cukup hanya dilawan dengan edukasi, tetapi dengan perlawanan yang lebih taktis.
Periode kedua
Kemenangan melalui Pilpres 2019 membuka jalan bagi rezim Jokowi untuk melanjutkan Nawacita di periode kedua kepemimpinannya (2019-2024). Seperti telah ditegaskan ketika berbagi visi-misi saat kampanye, Nawacita jilid II akan lebih menekankan pada pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Ancaman kejahatan digital dan kemerosotan budaya digital seyogianya menjadikan literasi digital sebagai salah satu agenda utama dalam Nawacita jilid II. Menurut penulis, agenda literasi digital berbasis pembangunan SDM yang relevan untuk lima tahun ke depan harus koheren dengan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam preambul UUD 1945.
Pertama, literasi digital perlu diagendakan dalam rangka melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan digital menjadi penting sebab telah nyata bahwa kejahatan digital masa kini sudah mengarah pada perang siber yang merongrong kedaulatan bangsa dan negara.
Namun, upaya perlindungan itu jangan dimaknai sedangkal tindakan pemblokiran atau pembatasan media sehingga masyarakat mengalami penundaan informasi. Soal menunda untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan tentang realitas, seperti dikatakan Edmund Husserl, adalah soal kompetensi fenomenologis individu pemelajar.
Kompetensi berpikir cerdas dan kritis seperti itulah yang melindungi masyarakat dari hoaks—tidak mudah percaya, tidak mudah berteori, selalu meneliti, cek dan ricek, serta menyaring sebelum sharing. Yang perlu adalah mencerdaskan pola pikir masyarakat, bukan mengebiri teknologi yang cerdas.
Upaya perlindungan digital juga berimplikasi pada pengembangan konsep kedaulatan digital. Paradigma Wawasan Nusantara yang sudah ada perlu dielaborasi dengan konsep kekinian tentang kedaulatan digital tersebut.
Kedua, literasi digital perlu diagendakan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Dalam hal ini kita merespons Revolusi Industri 4.0 dengan semangat gotong royong (kewirausahaan sosial) sebagaimana telah ditegaskan dalam Nawacita jilid I.
Pemerintah perlu menambah keberpihakan kepada segenap elemen masyarakat dan generasi muda untuk mewujudkan kemakmuran berbasis digital. Termasuk pembangunan kota-kota cerdas (smart cities) di seluruh Nusantara, yang telah dicanangkan pada periode pertama pemerintahan Jokowi, dilanjutkan dengan berorientasi pada keadilan dan pemerataan kemakmuran yang lebih terukur.
Ketiga, literasi digital perlu diagendakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Teknologi digital menjadi landasan bagi tumbuhnya paradigma baru pendidikan cerdas (heutagogis). Berbeda dengan pedagogi dan andragogi, heutagogi berbasis digital memungkinkan semua pemelajar menjadi pengajar (learners as teachers) sebab semua pemelajar berpeluang memproduksi dan membagikan konten pengetahuan (learners as content producer and sharer).
Dalam paradigma heutagogis, kebenaran tidak bisa dihegemoni, tetapi juga tidak dinihilkan seperti dalam provokasi aliran post-truth. Kebenaran harus terus didiskusikan dengan perdebatan argumentatif dan akademis. Pemerintah sebagai pengelola informasi harus sangat transparan dan akuntabel, terbuka dalam berdialog. Semua pihak berhak bersuara kritis dengan cerdas, bukan dengan modus hoaks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar