Ancaman perpecahan dan disintegrasi bangsa semakin nyata. Semua gundah gulana dan dirundung kecemasan. Pada tahun itu, salah satu ancaman yang paling nyata adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok DI/TII yang dipimpin oleh Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo.

Bung Karno, Presiden Republik Indonesia ketika itu, memandang perlu adanya rekonsiliasi nasional. Namun, ia menemukan jalan buntu bagaimana format, bentuk, dan jalan rekonsiliasi itu dilakukan? Jikapun bisa, siapa yang didaulat untuk menjadi aktor dan mediator rekonsiliasi? Pertanyaan demi pertanyaan itu menggelayuti benak Bung Karno sampai kemudian, atas pertolongan Allah, satu per satu bisa dijawab dan dilaksanakan.

Di tengah situasi yang tidak menentu itu, sekali kesempatan Bung Karno mengundang Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Wahab Chasbullah. Kepada kiai kharismatik tersebut, Bung Karno menceritakan perkembangan politik kebangsaan yang semakin centang perenang. Bung Karno meminta masukan, nasihat, dan saran dari Kiai Wahab agar bangsa ini selamat dari kemelut serta ancaman perpecahan.

Kepada Bung Karno, Kiai Wahab menyodorkan gagasan silaturahmi nasional. Menurut Kiai Wahab, salah satu cara paling ampuh untuk mengakhiri pertikaian dan mencegah perpecahan adalah silaturahmi. Dengan mengadakan forum silaturahmi tersebut diharapkan rekonsiliasi antar-anak bangsa segera terwujud. Gagasan bernas Kiai Wahab disambut baik oleh Bung Karno.

Keduanya sepakat untuk segera merancang silaturahmi nasional. Namun, Bung Karno memberikan sebuah catatan tajam bahwa gagasan silaturahmi memang baik. Namun, istilah yang digunakan terlalu biasa dan kurang istimewa. Padahal, forum silaturahmi yang melibatkan komponen bangsa ini merupakan forum yang langka dan istimewa.

Bung Karno menegaskan kepada Kiai Wahab bahwa forum istimewa harus diberi istilah dan nama yang istimewa juga. Atas dasar itulah Kiai Wahab mengusulkan istilah halalbihalal. Ketika Bung Karno menanyakan maksud istilah itu, Kiai Wahab menjawab bahwa halalbihalal artinya masing-masing kita menghalalkan (memaafkan) kesalahan satu dengan yang lain.

Istilah itu disetujui oleh Bung Karno dan forum halalbihalal antarkomponen bangsa itu dilaksanakan tepat setelah umat Islam merayakan Idul Fitri. Itulah muasal istilah halalbihalal yang dalam budaya kita diartikan sebagai tradisi untuk saling membuka diri dan memaafkan satu dengan yang lain.

Tradisi halalbihalal ini asli kreasi local genius Nusantara. Nikolas van Dam (2007), seorang pakar susastra Arab yang juga mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia, mengakui bahwa istilah halalbihalal tidak ditemukan di Arab, baik dari tinjauan sosiologis maupun semantis. Tidak ada tradisi saling memaafkan selepas shalat Id dan tidak ada susunan gramatika halalbihalal dalam bahasa Arab. Artinya, istilah tersebut memang lepas dan tidak ada di bahasa asalnya (Arab).

Inilah salah satu bukti bahwa tradisi yang baik bisa dijadikan sebagai salah satu infrastruktur yang menyokong paham keagamaan. Kearifan lokal bisa bersanding dan berbaur dengan ajaran agama yang justru menjadi tradisi yang memiliki nilai positif. Inilah corak keberislaman dan keberagamaan umumnya masyarakat Nusantara.

Membuka pintu maaf

Salah satu ajaran paling penting yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW adalah sikap kita terhadap kesalahan orang lain yang pernah menyakiti kita. Sekali peristiwa saat fatkhuMakkah, Nabi Muhammad SAW mendapati seorang sahabat yang memaknai fatkhu Makkah sebagai hari balas dendam kepada kaum kafir Quraish yang telah membuat Nabi Muhammad SAW dan kelompok muhajirin terusir dari tanah airnya (Mekkah).

Mendapati hal itu, Nabi Muhammad segera berkhotbah. "Hari ini bukanlah hari pembantaian (malhamah). Hari ini adalah hari kasih sayang (marhamah). Kalian semua tawanan perang adalah orang-orang yang bebas dan merdeka," demikian Rasulullah berkhotbah. Kebahagiaan terpancar dari kaum kafir Quraish. Betapa hari itu mereka menyaksikan kebesaran hati dan kelapangan dada Muhammad SAW. Ia, yang secara matematis di atas kertas bisa membalas dan menawan orang-orang yang dulu melukai dan mengusirnya, justru tidak memilih melakukan itu. Ia malah memilih untuk membukakan pintu maaf bagi mereka yang dulu pernah menyakitinya. Sebuah akhlak luhur dan keteladanan yang luar biasa.

Memberi maaf saat kita mampu membalas dan diperbolehkan oleh ajaran agama membalas merupakan salah satu tanda puncak tertinggi kualitas kehambaan seseorang di hadapan Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman Allah: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imron Ayat 133-134)"

Konteks kebangsaan

Dalam konteks kebangsaan, gagasan halalbihalal nasional tampaknya masih sangat relevan untuk saat ini. Situasi yang demikian terpolarisasi setelah pemilu membuat kita harus belajar bersama bahwa perbedaan pendapat dan pilihan tidak boleh disikapi dengan tidak dewasa. Terlalu mahal ongkos yang harus kita bayar untuk sekadar menuruti nafsu dan ego berkuasa yang menyebabkan keutuhan dan kesatuan bangsa menjadi koyak moyak.

Kita harus berbenah dan belajar dengan lebih bijak bahwa perbedaan pandangan dan pilihan bukan hal yang utama untuk terus didengung-dengungkan. Kita semua harus bersepakat, membuka diri satu dengan yang lain untuk saling memberikan maaf kepada pihak-pihak yang berseberangan pandangan, berbeda pilihan, bahkan yang pernah menyakiti kita. Meminjam adagium yang dicetuskan Kiai Wahab (1948) bahwa senjata paling ampuh tidak lain adalah persatuan.

Persatuan mustahil bisa dicapai jika masing-masing komponen bangsa tidak saling membuka diri untuk bisa menerima satu dengan yang lain. Persatuan juga tidak mungkin digapai bila kita saling mengedepankan ego dan kepentingan diri, kelompok, dan golongan masing-masing.

Tepa slira dan tenggang rasa adalah dua frasa genuine milik bangsa kita yang tampaknya harus digaungkan lagi agar masing-masing kita bisa mengamalkan dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari dua sikap inilah (tepa slira dan tenggang rasa) kita bisa menghormati, menghargai, bahkan memaafkan apa saja yang berbeda di luar diri kita.

Masing-masing kita harus lebih jernih dalam melihat persoalan. Ada prinsip-prinsip dasar yang harus dijunjung dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya yang paling relevan dalam konteks kebangsaan adalah prinsip yang diwariskan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa yang jauh lebih penting di atas politik adalah kemanusiaan.

Humanity, insaniyyah, atau kemanusiaan adalah puncak alasan kita untuk tetap mengasihi dan menghargai sesama. Dalam trilogi ukhuwah KH Achmad Siddiq, persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah) ditelakkan sebagai puncak persaudaraan setelah persaudaraan seagama (ukhuwwah diniyyah) dan persaudaraan sebangsa setanah air (ukhuwwah wathaniyyah).

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah "mereka yang bukan sudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan." Kita bisa memperluas cakrawala pemaknaan kita terhadap pesan Sayyidina Ali dengan mengganti kata iman menjadi pandangan, pilihan, pendapat, atau apa pun saja. Prinsipnya di atas itu semua, pandanganlah saudara yang berbeda dengan kita itu sebagai sesama manusia.

Alakulli hal, dalam momentum Idul Fitri 1440 H saya mengajak seluruh komponen anak bangsa, terutama elite bangsa untuk saling membuka diri dan saling membukakan pintu maaf. Mari berjabat tangan, saling menggenggam satu sama lain untuk menyongsong Indonesia yang lebih sejuk, damai, dan penuh keberkahan. Selamat Idul Fitri 1440 H. Mohon maaf lahir dan batin.