Kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi raksasa memberikan tantangan baru. Sejumlah negara berupaya memperbarui regulasi pajak untuk menyasar mereka.
Dalam pertemuan jaringan lembaga riset dan analis (think thank) negara anggota G-20, pekan lalu, di Osaka, Jepang, terungkap pemikiran memperbarui regulasi pajak terhadap perusahaan teknologi raksasa.
Intinya, anggota G-20 menginginkan pajak dipungut berdasarkan negara tempat bisnis yang dilakukan oleh perusahaan itu, bukan berdasarkan letak kantor pusatnya. Maka, jika sebuah negara menyumbangkan pendapatan besar bagi perusahaan teknologi raksasa, perusahaan itu harus membayar pajak yang secara proporsional juga lebih besar kepada negara bersangkutan. Pendekatan regulasi seperti itu dinilai lebih berkeadilan. Perusahaan teknologi raksasa diharapkan memberi imbal balik seimbang terhadap negara pemberi pemasukan besar.
Seperti diberitakan harian ini, Jumat lalu, pertemuan jaringan think thank anggota G-20 itu bertajuk forum T-20 dan merupakan bagian dari rangkaian acara menuju perhelatan puncak G-20, 28-29 Juni. Forum T-20 membahas masalah dunia dalam spektrum luas, lingkungan, hingga keuangan.
Media Nikkei Asian Review pada 30 Mei menulis pula, kontroversi selama ini muncul karena perusahaan teknologi raksasa sering kali dapat menghindar untuk membayar pajak di pasar tempat mereka memiliki banyak pengguna, tetapi tak memiliki kantor ataupun kehadiran fisik lainnya. G-20—kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, antara lain AS, China, Jerman, dan Indonesia—disebutkan pula sedang meninjau aturan pajak internasional yang disusun seabad lalu guna diperbarui agar lebih pas untuk era digital.
Beberapa hari setelah pertemuan T-20, The Wall Street Journal pada 1 Juni menyebutkan, Departemen Kehakiman AS bersiap-siap melakukan investigasi terkait isu monopoli kepada sebuah perusahaan teknologi raksasa.
Investigasi ini akan menempatkan perusahaan itu—dan perusahaan teknologi raksasa lainnya—mendapat sorotan yang tak dikehendaki. Situasi tidak menggembirakan ini terjadi saat tekanan juga semakin besar terhadap perusahaan-perusahaan internet, ditandai antara lain dengan denda antimonopoli bernilai miliaran dollar AS oleh Uni Eropa.
Seabad lalu, tak tergambarkan akan ada perusahaan yang bisa menghimpun data terkait miliaran penduduk dari ratusan negara di dunia untuk kemudian diolah dan dikomersialkan. Triliunan rupiah dihasilkan dari bisnis yang tak kenal batas negara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar