KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diketuai oleh Bambang Widjojanto mendaftarkan gugatan atas hasil Pilpres 2019 Gedung Mahkamah Konstitusi ( MK), Jakarta, Jumat (24/5/2019).

 

Penetapan hasil suara Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (21/5/2019) tidak serta-merta meredam gejolak konstelasi politik nasional. Sebaliknya, momentum itu menjadi penyulut eskalasi politik dan pecahnya kerusuhan 22 Mei lalu. Informasi dan spekulasi mengenai auktor intelektualis, jaringan pelaku, penyuplai logistik, hingga target utama aksi kerusuhan masih terus berkembang.

Namun, dampak destruksi sosial, politik, dan ekonomi yang ditimbulkannya sudah benar-benar dirasakan. Selain menelan korban jiwa dan mendegradasi citra demokrasi Indonesia di mata dunia, kerusuhan 22 Mei juga merugikan perdagangan senilai ratusan miliar rupiah. Semua itu biaya mahal yang sepatutnya tak perlu dikeluarkan (unnecessary political-economic costs).

Kini, konstelasi politik pasca-Pilpres 2019 memasuki babak baru. Ketidakpuasan kubu 02 terhadap hasil pemilu telah disalurkan melalui langkah konstitusional. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, upaya netralisasi konflik melalui jalur hukum itu tak menjamin akan memangkas akar konflik yang ada.

Sebaliknya, potensi sengketa hukum untuk berubah menjadi ancaman konflik horizontal berskala besar masih tetap terbuka. Kekhawatiran itu cukup relevan jika masyarakat mencermati poin-poin petitum atau materi tuntutan yang diajukan.

Misalnya, kubu Prabowo-Sandi meminta MK untuk membatalkan keputusan KPU tentang penetapan hasil pilpres dan menyatakannya sebagai keputusan yang tidak sah. Selanjutnya, kubu Prabowo-Sandi meminta MK untuk mendiskualifikasi pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dari Pilpres 2019 karena dianggap telah melakukan pelanggaran pemilu dan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Mencermati dua dari tujuh petitum yang diajukan tersebut, ada nuansa strategi politik tijitibeh, 'mati siji mati kabeh', alias 'mati satu, mati semua'. Artinya, dugaan kecurangan sebagian saja itu kemungkinan akan digunakan untuk menghapus sebagian besar hasil tahapan pemilu, yang dianggap sah dan legitimate.

Konstruksi berpikir ini lahir karena adanya keyakinan mendalam atas terjadinya kecurangan masif, meski tak mudah membuktikannya. Apalagi selisih perolehan suara hampir 17 juta suara. Dalam ruang post-truth politics, di mana entitas kebenaran dan kebohongan semakin kabur, keyakinan atas suatu obyek, termasuk yang masih semu, akan relatif mudah dipertahankan (Wu, et al. 2017; Bullock, 2007).

Potensi kebuntuan politik
Di lain pihak, kubu 01 juga memberikan pernyataan terkait ribuan laporan dugaan kecurangan yang menguntungkan kubu 02. Artinya, dugaan kecurangan terjadi di kedua belah pihak. Dalam situasi itu, kemungkinan munculnya kebuntuan politik (political deadlock) semakin terbuka.

Jika MK tidak mengabulkan materi gugatan, pihak penggugat berpotensi menolak (political denial) untuk memberikan pengakuan legitimasi atas produk kepemimpinan nasional, yang dihasilkan oleh berbagai tahapan demokrasi yang terlaksana.

DIDIE SW

Opini: Ancaman Instabilitas dan Strategi Rekonsiliasi– M Iftitah S Suryanagara

Di tengah masyarakat digital yang sangat terbuka ini, sikap politik tersebut berpotensi menjalar cepat ke akar rumput hingga melahirkan pembangkangan politik publik (political disobedience) dalam skala besar. Di sisi lain, pasangan petahana Jokowi-Amin tentu akan mempertahankan kemenangan yang telah mereka raih. Karena itu, jika tidak diantisipasi dengan baik, benturan kepentingan ini bisa berubah menjadi mobilisasi kekuatan massa yang akan saling berhadapan.

Mediasi untuk rekonsiliasi
Potensi ancaman benturan massa dan konflik horizontal pasca-putusan MK hanya dapat dinetralkan dengan upaya rekonsiliasi antara capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Bahkan, pertemuan keduanya saja dapat menjadi oase bagi ketegangan politik nasional.

Untuk mewujudkan rekonsiliasi itu, perlu adanya penyelesaian politik (political settlement) di level elite sebagai fondasi terwujudnya rekonsiliasi. Setiap pihak harus menurunkan tensi dengan tidak mengeluarkan upaya provokatif, termasuk bagi para pendukung. Sejauh ini, capres petahana Joko Widodo telah mengirimkan utusan khusus sebagai juru rundingnya guna menemui capres Prabowo Subianto. Sejumlah nama seperti Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla telah muncul di permukaan.

Dalam mediasi, dialog yang setara antarelite dan pemangku kepentingan menjadi syarat utama. Prinsip winner takes all bukanlah pilihan bijak untuk menghadirkan perdamaian (Moore, 2014; Galtung dan Fischer, 2013). Kemampuan untuk mencari titik temu (win-win solution) dalam visi kebangsaan menjadi keniscayaan.

Dengan demikian, pemerintahan mendatang dapat menjalankan tugasnya dengan baik, yang tidak hanya berbekal asas kepatuhan hukum (putusan MK), tetapi juga adanya penerimaan dan pengakuan legitimasi dari rival politik.

Di tengah pentingnya dialog nasional, penegakan hukum harus juga mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar. Upaya penegak hukum yang menangkap orang-orang yang diduga menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian haruslah tidak berpihak dan menjunjung tinggi asas keadilan. Sebab, rasa keadilan merupakan syarat fundamental akan hadirnya perdamaian (Gandhi, 2007; Rahardjo, 2005).

Memang, tidak mudah melakukan pendekatan politik di tengah ketegangan situasi. Dibutuhkan mediator andal untuk bisa merangkul kedua belah pihak. Pertemuan terakhir Jusuf Kalla dan Prabowo mungkin menyisakan harapan tercapainya titik temu tersebut, kendati belum muncul tanda-tanda keberhasilan hingga sekarang.

Sebagai alternatif, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpotensi menjadi mediator. Selain memiliki rekam jejak dalam proses resolusi konflik, SBY tidak memiliki resistansi psikologis dan politik dengan keduanya. SBY juga pernah menjadi penanggung jawab penyelenggara Pemilu 2014 ketika Jokowi dan Prabowo berlaga pertama kalinya.

Alternatif lainnya, selain individu-individu yang bisa menjadi mediator, kedua belah pihak juga dapat menggunakan kolektivitas beberapa tokoh, yang dianggap mampu menjembatani komunikasi keduanya.

Opsi terakhir, Presiden Jokowi selaku petahana dapat menyampaikan undangan terbuka kepada Prabowo guna menjaga kesejukan dan stabilitas politik nasional. Undangan terbuka itu dapat disampaikan langsung melalui konferensi pers agar diketahui khalayak umum serta tidak menimbulkan fitnah tentang adanya politik transaksional. Jika undangan tak berbalas, undangan selanjutnya dapat diulangi kembali sebagai konfirmasi atas keseriusan niat berekonsiliasi.

Respons setiap pihak akan memberikan kesempatan bagi rakyat, khususnya setiap pendukung, untuk memberikan penilaian terhadap kualitas dan keseriusan pemimpin mereka untuk merumuskan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejatinya, masyarakat Indonesia yakin, setiap capres pasti memiliki harapan mulia atas masa depan bangsa ini.