Bersamaan dengan penetapan hasil rekapitulasi, berlangsung demonstrasi damai. Sayangnya, unjuk rasa damai itu pada malam harinya dikotori aksi kerusuhan. Delapan masyarakat sipil tewas, ratusan orang luka-luka, dan ratusan orang ditangkap. Untuk mengurangi penyebaran konten negatif dan hoaks, pemerintah sempat membatasi akses pada setidaknya tiga aplikasi media sosial: WhatsApp, Facebook, dan Instagram.

Bagaimanapun, sebagai anak bangsa yang berkiprah di dunia usaha dan pendidikan, saya optimistis ada banyak kemenangan dari Pemilu 2019. Setidaknya terdapat empat harta kemenangan bersama yang dilahirkan: kepedulian, cita-cita, pembangunan, dan harapan. Empat kemenangan ini, jika dikelola dengan baik, merupakan modal berharga bagi masa depan Indonesia.

Kepedulian
Pandangan masyarakat Indonesia yang apatis terhadap politik kini dapat ditepis dengan mudah. Kepedulian masyarakat Indonesia dalam politik negara terbukti tidak pernah rendah—lihat saja semangat berapi-api sopir angkot sampai ojol (ojek online) mendiskusikan calon pasangan presiden dan wakil presiden terbaik mereka, topik pembicaraan pebisnis sampai pengacara, obrolan hangat guru sampai orangtua murid, hingga aksi keyboard warrior atau saling blokir WhatsApp grup keluarga demi membela tokoh politik panutannya.

Satu konklusi: terlepas dari ragam ekspresi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat peduli dengan politik Tanah Air. Perlu diketahui, 80 persen dari 193 juta orang dalam daftar pemilih tetap telah menggunakan hak pilih. Ini angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia pasca-Reformasi.

Kepedulian bersama masyarakat Indonesia adalah harta kemenangan bersama; menyimbolkan kepercayaan terhadap lembaga dan institusi negara; merupakan hasil ekspresi bersama sebagai upaya mewujudkan cita-cita; serta menandakan adanya harapan terhadap pemerintahan selanjutnya dan aspirasi bersama dalam pembangunan bangsa.

Cita-cita
Dalam Pemilu 2019, PDI Perjuangan berada di posisi teratas dengan perolehan 19,33 persen suara, disusul Partai Gerindra 12,57 persen suara, dan Partai Golkar 12,31 persen suara. Partai berbasis Islam (PKB, PKS, PAN, PPP) memperoleh 29,26 persen suara. Partai-partai baru memperoleh suara: Perindo 2,69 persen suara, Partai Berkarya 2,09 persen suara, PSI 1,89 persen suara, dan Partai Garuda 0,5 persen suara.

Keberagaman suara membuktikan masyarakat Indonesia dapat "berpolitik" dengan bebas: berekspresi dengan leluasa. Inilah harta kemenangan bersama yang kedua: cita ideal untuk berekspresi secara politik masih dapat dinikmati bersama.

Pembangunan
Strategi utama Jokowi-Jusuf Kalla melakukan pembangunan infrastruktur adalah penting. Sampai saat ini, ASEAN hanya memiliki tiga perusahaan yang masuk ke dalam Fortune 500, dan hanya satu yang berasal dari Indonesia. Pembangunan infrastruktur akan membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk dapat semakin "bersaing" dengan negara lain.

Sebagaimana dipaparkan oleh Presiden Jokowi, digitalisasi merupakan kunci dalam pembangunan bangsa ke depan. Digitalisasi memungkinkan hampir semuanya untuk menjadi lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik.

Pertanyaannya: dari mana, siapa, dan bagaimana? Potensi diaspora mungkin menjadi kunci. David Leblang melalui tulisannya "Familiarity Breeds Investment: Diaspora Networks and International Investment" menjelaskan, imigrasi dan diaspora akan membawakan diversity yang mampu berdampak positif dalam investasi suatu negara.

Selain mendukung investasi, diaspora membawa gabungan berbagai pemikiran hasil eksplorasi dan pembelajaran dari luar negeri. Indonesia semakin berpotensi untuk melahirkan semakin banyak pemikiran dan karya brilian.

Harapan
Kemenangan petahana berarti kepemimpinan yang berkelanjutan (sustainable) dalam menjalankan visi dan misi. Dengan kemenangan Jokowi , terdapat indikasi sumber daya manusia (SDM), reformasi pemerintah, dan infrastruktur akan kembali menjadi fokus. Pembangunan aspek-aspek tersebut penting karena Indonesia kini berada dalam critical conjuncture. Hanya 20 tahun ini akan mengalami bonus demografi dan maksimalisasi utilisasi kekayaan alam.

Kai-Fu Lee dalam bukunya AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order menjelaskan bagaimana dunia telah berubah. Untuk Indonesia, perusahaan-perusahaan rintisan (start-up) harus berpikir bagaimana bisa menjadi besar dan mengglobal, bahkan sejak masih awal. Menariknya, berbeda dengan pemikiran konservatif bahwa Indonesia bisa berkembang karena banyak kesempatan, di sini kita terinspirasi bagaimana Indonesia justru berpotensi karena banyaknya masalah.

Masalah yang besar akan melahirkan wirausaha (entrepreneur) tangguh. Banyaknya masalah akan melahirkan wirausaha kreatif. Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, kompleksitas masalah di Tanah Air mendorong peluang munculnya ide kreatif untuk menyelesaikan tantangan bangsa—yang jika berhasil niscaya dapat direplikasi di berbagai belahan dunia lain.

Di negara maju seperti Amerika, "produk" yang diandalkan adalah barang/jasa. Di Indonesia, kita patut bangga karena "produk" andalan kita adalah wirausaha tangkas dengan kreativitas yang sudah teruji. Hasil tempaan selama bertahun-tahun membuat mereka terbiasa kritis menyelesaikan permasalahan—menjadikan mereka sebagai salah satu keunggulan bangsa Indonesia.