"Uncertainty is an uncomfortable position, but certainty is an absurd one". Kalimat itu diucapkan oleh Voltaire, filsuf Perancis yang gemar mencemooh itu. Ia benar, ketidakpastian memang mengganggu. Namun, tak ada jawaban tunggal untuk hidup yang gamang ini.

Di tengah harapan penyelesaian perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, beberapa minggu lalu Presiden AS Donald Trump menyatakan akan menaikkan bea masuk bagi produk China. China tak tinggal diam. Mereka membalas. Harian rakyat di China menjawab: kami ingin bekerja sama, tapi tak ragu untuk melawan sampai akhir. Eskalasi perang dagang meningkat.

Dua jalur dampak
Bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat dampaknya dari dua jalur: jalur perdagangan dan jalur keuangan. Jalur perdagangan: perang dagang akan menurunkan volume perdagangan global. Ekspor akan menurun, tetapi dampaknya akan berbeda pada tiap negara. Negara yang pertumbuhan ekonominya amat bergantung pada ekspor, seperti Singapura, akan terpukul. Adapun Indonesia cukup beruntung karena sumber pertumbuhan ekonominya lebih didorong oleh domestik.

Data menunjukkan rasio perdagangan internasional dalam porsi produk domestik bruto (PDB) kita hanya sekitar 30 persen, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura yang 200 persen dari PDB. Dengan kondisi seperti ini, dampak dari penurunan volume perdagangan global akan terbatas pada kita. Inilah salah satu faktor yang menjelaskan mengapa Indonesia masih bisa tumbuh 4,6 persen—kedua tertinggi di antara anggota G-20—ketika krisis keuangan global memukul volume perdagangan dunia pada 2008.

Namun, kita perlu berhati-hati. Dampak yang dikhawatirkan adalah dampak tak langsungnya. China adalah salah satu pusat jaringan produksi di Asia. Banyak negara di ASEAN, termasuk Indonesia, mengekspor barang setengah jadi dan bahan baku ke China. Sekitar 40 persen dari ekspor Indonesia ke China adalah kelapa sawit dan batubara. Perlambatan pertumbuhan ekonomi China akan menurunkan kelapa sawit dan batubara.

Implikasinya: daya beli, terutama untuk daerah penghasil komoditas dan barang tambang seperti Sumatera dan Kalimantan, akan menurun. Dampaknya: konsumsi rumah tangga melambat. Situasi yang serupa pernah kita hadapi pada 2014-2015. Meskipun demikian, dugaan saya kali ini penurunan harga komoditas dan energi tak seburuk ketika itu.

Penurunan ekspor dan konsumsi akan mengakibatkan menurunnya investasi. Akibatnya, keuntungan perusahaan menurun. Implikasinya: penerimaan negara juga akan menurun. Kita sudah mulai melihat gejala ini pada penerimaan APBN April 2019. Bisa diduga: defisit anggaran akan meningkat. Sayangnya, kenaikan defisit ini bukan akibat ekspansi fiskal, melainkan karena menurunnya penerimaan. Akibatnya, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi tak terjadi.

Singkatnya, kita perlu mengantisipasi perlambatan pada konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor. Untungnya, porsi dari perdagangan internasional dalam PDB kita relatif kecil. Karena itu, saya kira ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5 persen atau sedikit di bawah 5 persen.

Jalur keuangan: kita melihat bagaimana pasar keuangan dan nilai tukar terguncang tiga minggu terakhir. Hal yang perlu diperhatikan adalah efek tular. Benar bahwa eksposur keuangan AS dan China di sini relatif kecil. Namun, jangan lupa, banyak investor yang berinvestasi di AS, Eropa, Asia, dan China yang juga berinvestasi di Indonesia.

Ketika mereka mengalami kerugian di pasar AS atau Eropa atau China, mereka akan melakukan penyesuaian portofolio dengan menarik sebagian uang mereka dari Indonesia. Akibatnya, rupiah melemah, pasar keuangan terpukul. Carmen Reinhart dari Harvard University menyebut efek tular ini disebabkan oleh adanya common creditors.

Risiko lain? Bagaimana jika China menjual obligasi US Treasury yang dimilikinya sebagai balasan untuk AS? Besarnya lebih dari 1 triliun dollar AS. Bila ini terjadi, tingkat bunga di AS akan meroket karena kenaikan imbal obligasi. Dollar AS akan menguat, ekspor AS akan terpukul. Akibatnya, ekonomi AS akan terpukul. Pasar keuangan dunia akan runtuh. Akankah China memilih jalan ini?

Dalam pertemuan di Astana Economic Forum, di Khazakstan minggu lalu, yang dihadiri oleh banyak pemimpin dan ekonom dunia, kami sempat membahas skenario ini. Justin Lin, ekonom China, mantan chief economist Bank Dunia, mengatakan, China tak akan melakukan itu karena China tahu dampaknya pada pasar keuangan global. Namun, Stanley Fischer, mantan deputi The Fed, dan Maurice Obstfeld, mantan chief economist Dana Moneter Internasional (IMF), menyatakan, terlalu pagi untuk menyimpulkan apakah China tidak akan melakukan itu.

Dalam kondisi terdesak, semua bisa terjadi. Namun, saya cenderung setuju kepada Lin—walau untuk alasan yang lain. Menurut saya, China tak akan melepas semua obligasi US Treasury-nya karena itu akan menjatuhkan harga obligasi yang mereka miliki dan menimbulkan kerugian yang amat besar bagi China sendiri. Namun, Fischer benar, kita tak pernah tahu reaksi China.

Bagi saya, respons China yang lebih realistis adalah melakukan ekspansi moneter untuk melemahkan nilai tukarnya. Tujuannya agar daya saing ekspor bisa dijaga. Jika ini terjadi, saya menduga nilai tukar mata uang emerging market, termasuk rupiah, akan tertekan, begitu juga pasar keuangan. Jika kemudian The Fed merespons dengan kebijakan yang sama, risiko perang nilai tukar (currency war) meningkat.

Beberapa langkah
Lalu apa yang bisa dilakukan? Jawaban ideal adalah memperkuat struktur ekonomi kita dengan meningkatkan produktivitas. Namun, ini membutuhkan waktu (outside lag). Dengan kendala waktu, kebijakan apa yang mungkin segera dilakukan?

Pertama, lakukan kebijakan kontrasiklus. Dalam kondisi eksternal yang sulit, perekonomian domestik harus didorong. Kita tahu ruang fiskal terbatas karena menurunnya penerimaan negara. Karena itu, fokus stimulus fiskal kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume/MPC) yang tinggi dan kecenderungan mengimpornya (marginal propensity to import) rendah. Apa itu? Program Keluarga Harapan (PKH), padat karya tunai, bantuan langsung, padat karya pelatihan (cash for training atau kartu prakerja).

Peningkatan konsumsi akan mendorong produksi dalam jangka pendek. Akibatnya, investasi juga meningkat. Hal lain adalah manfaatkan potensi pariwisata. Pariwisata memiliki efek pengganda (multiplier) yang tinggi.

Kedua, saya tak melihat banyak ruang bagi kebijakan moneter. Jika BI menaikkan bunga, untuk menjaga stabilitas rupiah, perekonomian akan semakin terpuruk. Lebih baik kita menerima rupiah yang sedikit lemah untuk menjaga daya saing ekspor kita. Toh mata uang negara lain, termasuk China, juga mengalami depresiasi terhadap dollar AS. Yang perlu dijaga adalah volatilitas yang berlebihan, bukan menjaga tingkat dari nilai tukar (pegging the level).

Apakah ada ruang untuk menurunkan bunga? Tergantung kondisi defisit transaksi berjalan kita, inflasi, dan tingkat bunga The Fed. Fischer, di Astana, meragukan bahwa The Fed akan menurunkan bunga tahun ini karena situasi ekonomi di AS masih relatif kuat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Janet Yellen, mantan unsur pimpinan The Fed, ketika bertemu untuk mendiskusikan situasi ekonomi global, April lalu di Washington DC. Jika Yellen dan Fischer benar, tak banyak ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga. Apalagi defisit perdagangan Indonesia masih relatif besar.

Meski demikian, menurut saya, jika ekonomi AS memburuk akibat perang dagang, ada ruang bagi The Fed untuk menurunkan tingkat bunga. Dalam kondisi ini ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga.

Ketiga, krisis adalah kesempatan. Perang dagang akan memaksa investor untuk merelokasikan investasi dari China ke negara lain agar bisa mengakses pasar AS. Tengok saja penanaman modal asing (PMA) di Vietnam meningkat untuk produk elektronik.

Begitu juga Thailand dalam hal otomotif dan Bangladesh untuk pakaian jadi. Indonesia harus memanfaatkan ini dengan menarik PMA masuk ke Indonesia. Percepat revisi daftar negatif investasi, percepat revisi UU Ketenagakerjaan soal pesangon. Permudah peraturan dan jaga konsistensi aturan antarlembaga pemerintah dan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal perizinan.

Keempat, saya menduga, ketegangan antara AS dan China lebih dari sekadar soal perdagangan. Ia akan menyebar ke soal lain, termasuk persaingan soal teknologi digital. Ini masalah rivalitas dua raksasa ekonomi dunia. Karena itu, ia akan berlangsung panjang. Itu sebabnya, kebijakan jangka pendek harus dikombinasikan dengan kebijakan jangka menengah, seperti diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor dan meningkatkan produktivitas. Manfaatkan perdagangan intra-industri ASEAN dan Asia Timur.

Ini memang tak akan mampu menggantikan volume perdagangan global. Namun, volumenya cukup signifikan. Dalam situasi seperti ini, kerja sama regional yang terbuka (open regionalism) harus ditekankan. Ini memang bukan masa yang mudah. Kita tak tahu persis bagaimana dunia harus ditulis hari ini.

Perubahan begitu cepat. Ketidakpastian begitu pasti. Kita gelisah karena tak mampu menjinakkan ketidaktahuan. Ketidakpastian memang mengganggu. Namun, kita tahu: tak ada jawaban tunggal untuk hidup yang gamang ini.