Kekerasan di Sudan mengingatkan kembali betapa terjal dan berat jalan proses demokratisasi, yang harus dilalui sebuah negara, saat baru lepas dari rezim otoriter.
Demokrasi tidak bisa dibangun hanya dalam waktu satu malam. Diperlukan waktu cukup lama dan komitmen tinggi dari berbagai pihak sebelum suatu negara dapat benar-benar menjalankan demokrasi. Apa yang dialami Sudan membuktikan hal tersebut.
Setelah Presiden Sudan Omar al-Bashir dipaksa mundur oleh militer pada April lalu, kekuasaan di negara itu dipegang oleh Dewan Transisi Militer. Berkuasa sejak 1989, Omar al-Bashir dikenal sebagai penguasa yang otoriter. Ia dikenai tuduhan genosida oleh Pengadilan Kriminal Internasional pada 2010. Omar al-Bashir juga menerapkan pemerintahan tangan besi dengan memanfaatkan Badan Keamanan dan Intelijen Nasional (NISS) yang membungkam gerakan oposisi.
Demokrasi tidak bisa dibangun hanya dalam waktu satu malam.
Masyarakat tidak puas dengan berdirinya Dewan Transisi Militer. Keberadaan lembaga yang pos-posnya diisi oleh para jenderal itu dinilai justru menghambat proses transisi demokrasi. Pengalihan kekuasaan dari al-Bashir ke tangan rakyat akan terhambat, bahkan mungkin tak pernah terwujud. Oleh karena itu, meski al-Bashir telah mundur, demonstrasi terus berlangsung, terutama di Khartoum, ibu kota negara itu.
Perkembangan terakhir, dalam unjuk rasa yang digelar Asosiasi Profesional Sudan itu disebut-sebut ada lebih dari 100 orang tewas akibat kekerasan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Para pengunjuk rasa ditangkap dan ditembak. Kelompok prodemokrasi juga menolak berdialog dengan tentara, meski Dewan Transisi Militer menjanjikan pemilu dalam waktu sembilan bulan ke depan. Seruan pemogokan umum dan unjuk rasa besar-besaran pun terus disuarakan.
Sementara di luar Sudan, sejumlah negara, sebagaimana ditulis The New York Times, cemas dengan perkembangan unjuk rasa yang terjadi pasca-turunnya al-Bashir. Waspada terhadap kemiripan unjuk rasa di Sudan dengan gerakan protes Musim Semi Arab pada 2011, negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), memberikan dukungan kepada militer Sudan. Arab Saudi dan UEA dilaporkan menjanjikan bantuan 3 miliar dollar AS, sedangkan Mesir memberikan dukungan diplomatik bagi para jenderal Sudan.
Mengingat problem utama di Sudan adalah ketidakpercayaan rakyat terhadap Dewan Transisi Militer, maka menumbuhkan kembali rasa percaya itu merupakan faktor penting. Transisi kepada kekuatan sipil akan membuat proses demokratisasi berlangsung penuh legitimasi. Hubungan erat militer Sudan dengan negara-negara Arab Teluk mestinya dijalankan dengan tetap menjaga agar jangan sampai menambah ketidakpercayaan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar