Pada prinsipnya, negara-negara di dunia memperingati HANI sebagai ungkapan keprihatinan dan mengingatkan kembali bahaya laten narkoba. Bahaya laten narkoba ini wajib diwaspadai. Sebab, inilah ancaman potensial bagi masyarakat dunia, terutama generasi muda milenial sebagai tumpuan harapan bangsa pada masa depan. Ancaman itu tak main- main. Coba saja simak hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap kelompok pelajar dan mahasiswa tahun 2018. Kelompok anak muda ini yang menggunakan narkoba sudah mencapai 2.297.492 orang.

Inilah bukti bahwa perkembangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba tak pernah habis dan kian mengkhawatirkan. Saat ini narkoba dapat menjangkau ke mana pun. Di semua tempat, siapa pun bisa terpapar. Tak memandang usia, profesi atau latar belakang pendidikan sekalipun.

Narkoba terkini yang dikonsumsi tak hanya terbatas pada jenisnya yang klasik maupun populer, seperti ganja, heroin, kokain, atau jenis amphetamine type simultan (ATS) semisal sabu, ekstasi, yaba (sabu model baru) yang sudah beredar lama di tengah masyarakat. Jenis narkoba bertambah. Kini telah hadir narkoba jenis baru. Biasanya disebut dengan new psychoactive substances (NPS).

Di seluruh dunia, jumlah NPS sekitar 800 jenis. Di Indonesia telah ditemukan 71 narkoba jenis baru. Peredarannya menggurita di tengah masyarakat. Beberapa jenis NPS ini jauh lebih berbahaya dan memiliki efek berlipat ganda ketimbang jenis narkoba klasik dan populer.

Jurus global tanggulangi

Kebijaksanaan global dalam menanggulangi kejahatan narkoba mengacu pada tiga konvensi PBB: UN Convention on Drugs 1961, UN Convention on Psycotropic 1962, dan UN Convention Against Narcotics and Psycotropic Substance 1988. Jika dicermati ketiga konvensi ini terlihat bahwa penanggulangan kejahatan narkoba dititikberatkan pada pendekatan keseimbangan antara pasokan atau ketersediaan (supply) dan permintaan/kebutuhan (demand).

Pasokan atau ketersediaan biasanya ditangani dengan upaya pemberantasan melalui penegakan hukum. Hukum ditegakkan dalam hal mengungkap dan memutus jaringan peredaran serta perdagangan gelap narkoba. Caranya dengan segala daya dan upaya mencari, menemukan, menyita, menangkap atau menahan, serta mengawalnya ke proses peradilan hingga mendapatkan hukuman berat. Permintaan atau kebutuhan diatasi lewat pencegahan. Caranya melalui kampanye, pemberdayaan, edukasi atau penyuluhan ke setiap lapisan masyarakat.

Namun, ketiga konvensi itu juga cenderung lebih menekankan pada penegakan hukum dengan memberikan sanksi berat terhadap pelaku kejahatan narkoba. Baik sebagai pengguna maupun pengedar. Begitu pula UU No 35/2009 tentang Narkotika yang kita miliki. Pada umumnya, UU ini berbicara masalah pemberantasan dalam penegakan hukum yang muaranya pada penghukuman (punishment). Sementara upaya pencegahan dalam UU itu sangat sedikit diatur, bahkan hampir tidak ada.

Itulah sebabnya, kebijaksanaan BNN seolah-olah lebih condong ke penindakan. Para penegak hukum juga kelihatannya lebih senang memenjarakan tersangka yang terlibat penyalahgunaan narkoba ketimbang mengirimnya ke tempat rehabilitasi. Di tempat rehabilitasi inilah dapat diperoleh perawatan, pengobatan, dan pemulihan dari jeratan bahaya narkoba.

Menghukum pelaku

Dalam konteks penghukuman dan rehabilitasi itu muncul dua pendapat berbeda. Pertama, pengguna/pecandu yang tertangkap dengan barang bukti cukup selanjutnya diproses, disidik sampai dapat vonis di pengadilan. Ini sesuai Pasal 127 UU Narkotika, yakni siapa yang menggunakan untuk diri sendiri diancam empat tahun penjara. Kedua, jika mereka bukan pengedar atau tak terlibat jaringan, cukup dikirim ke tempat rehabilitasi. Di satu sisi, pengguna/ pecandu dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan, tetapi di sisi lain pengguna/pecandu sebagai korban, bukan pelaku kejahatan, punya hak untuk direhabilitasi atau diberikan perawatan medis. Dari dua pandangan ini, pecandu/pengguna dapat dihukum ataupun direhabilitasi.

Belakangan muncul ide dekriminalisasi terhadap pengguna maupun pecandu. Artinya, ketentuan yang menganggap pengguna/pecandu sebagai kriminal ditiadakan. Sehingga tak perlu melalui proses hukum tapi bisa langsung dapat perawatan (rehabilitasi). Pendapat ini mengacu pada pandangan bahwa kejahatan narkoba adalah victimless crime, kejahatan yang tak menimbulkan korban, melainkan korbannya dia sendiri.

Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 54 UU Narkotika bahwa pecandu wajib menjalani rehabilitasi. Pendapat ini banyak kelemahannya. Karena itulah penyidik tak dapat memetakan secara maksimal keterkaitan pengguna dengan sumber narkoba yang digunakan. Termasuk pula tak dapat mengidentifikasi secara tepat peran dan kedudukan yang bersangkutan apakah hanya sekadar pengguna atau pengedar.

Di samping itu juga sangat rawan perubahan penyimpangan status tersangka dari pengguna jadi pengedar atau dari pengedar jadi pengguna, dan tak memberikan efek jera. Di pihak lain ada keberatan dari sebagian masyarakat yang menganggap uang negara dipakai untuk mengobati orang-orang yang "brengsek". Sementara itu, bagi orang yang baik-baik kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Pendapat lain menilai istilah dekriminalisasi tak tepat digunakan. Lebih baik diganti istilah depenalisasi yang artinya para pecandu/pengguna tetap dapat hukuman melalui sidang pengadilan. Tapi vonis yang dijatuhkan tak harus dengan hukuman penjara, melainkan dapat diganti sanksi sosial, kerja paksa dan rehabilitasi dalam jangka waktu tertentu tak boleh meninggalkan tempat dan tak boleh dikunjungi atau denda sesuai tingkat kesalahannya.

Hal ini barangkali dapat juga bermanfaat untuk mengurangi jumlah tahanan di lapas yang konon lebih dari 60 persen diisi narapidana kasus narkoba.

Kedua pendapat di atas masing-masing punya argumentasi kuat. Tanpa terkecuali juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tapi sepanjang sejarah tak ada satu orang pun mau disalahkan. Termasuk setiap negara di dunia menganggap bahwa negara dan warganya adalah korban dari sindikat dan penyalahgunaan narkoba.

Meski begitu, yang jadi fokus kita saat ini adalah upaya tanpa henti bersama instansi terkait dan seluruh lapisan masyarakat agar menyelamatkan dan melindungi negara dari ancaman bahaya laten narkoba. Sehingga masyarakat pun mampu menghindari dan melawan penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang. Khususnya generasi muda calon pemimpin masa depan. Momentum HANI ini selain menyampaikan keprihatinan kepada korban yang berjatuhan, harus juga dimaknai sebagai evaluasi dari berbagai ikhtiar yang telah dilakukan dalam memperkuat kerja sama nasional maupun global. Tekad mewujudkan masyarakat milenial yang sehat, cerdas dan mampu bersaing harus direalisasikan untuk Indonesia bersinar, bersih dari narkoba.