Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 26 Juni 2019

Media di Tengah Perubahan Semangat Zaman (NINUK MARDIANA PAMBUDY)

Menjelang sidang perselisihan hasil pemilihan presiden pada Pemilu 2019 oleh Mahkamah Konstitusi yang dimulai Jumat (14/6/2019) muncul wacana pemerintah mungkin akan membatasi aliran data digital melalui media sosial.

DRAWING/ ILHAM KHOIRI

Ninuk Mardiana Pambudy, Pemimpin Redaksi Harian Kompas

Menjelang sidang perselisihan hasil pemilihan presiden pada Pemilu 2019 oleh Mahkamah Konstitusi yang dimulai Jumat (14/6/2019) muncul wacana pemerintah mungkin akan membatasi aliran data digital melalui media sosial.

Pembatasan tersebut tidak dilakukan setelah tidak terjadi lonjakan informasi bohong dan hasutan seputar isu persidangan perselisihan.

Sebelumnya, saat terjadi kericuhan dengan kekerasan pada 21 dan 22 Mei 2019 di beberapa tempat di Jakarta dan di satu lokasi di Pontianak, Kalimantan Barat, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilihan presiden dalam Pemilu 2019, media sosial (medsos) mengambil peran lebih besar daripada media arus utama atau media tradisional dalam mengirim kabar.

Pemerintah selama beberapa hari kemudian mengurangi aliran data digital medsos sehingga pengiriman gambar menjadi sangat lambat, sementara video hampir tidak mungkin terkirim.

Massa bergerak maju ke arah Markas Brimob di Petamburan, Jakarta Barat, Rabu (22/5/2019).

Langkah pemerintah tersebut dapat dipahami sebagai cara mencegah suasana memanas melalui pengiriman berita di medsos, apalagi jatuh korban sembilan orang meninggal, di antaranya anak remaja, beberapa terkena peluru tajam. Sampai kini pihak kepolisian masih meneliti siapa di balik penembakan tersebut.

Beberapa organisasi pembela hak asasi manusia dan kebebasan bersuara, yaitu Aliansi Jurnalis Indonesia dan Amnesti Internasional Indonesia, mengkritik langkah pemerintah memperlambat aliran data via internet. Alasannya, tindakan tersebut menghalangi kebebasan warga mendapat informasi. Harus dipisahkan antara terjadinya kekerasan yang dipicu berita bohong dan hasutan melalui medsos dan akses masyarakat mendapat informasi.

Perdebatan antara kebebasan informasi dan respons warga atas informasi di media berbasis internet (media baru, untuk membedakannya dari media arus utama, media tradisional, berbasis jurnalisme) sudah berlangsung panjang.

Media baru menjadi alat ampuh menyebarkan informasi dari sisi kecepatan dan daya jangkau. Media baru meninggalkan media arus utama yang etika jurnalistiknya mengharuskan segala informasi diverifikasi dan memberi makna atas suatu fakta yang disajikan kepada audiens.

AFP /LIONEL BONAVENTURE

Media Sosial

Kecepatan dan daya jangkau medsos itu pula yang menjangkau Juli (25), mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta. Dia tetap bergegas pada 23 Mei pagi menuju tempat teman-temannya berkumpul untuk mengikuti aksi damai menolak hasil perhitungan suara KPU yang diumumkan pada 21 Mei dini hari. Sumber informasinya medsos.

Sementara Lisa (55), yang berpendidikan S-2, sangat percaya belasan orang menjadi korban penembakan di sebuah masjid di Jakarta pada 22 Mei. Dia mengaku telah mengonfirmasi informasi itu kepada temannya melalui jaringan medsos. Kenyataannya, tidak ada korban hingga belasan orang terkena tembakan.

Media baru meninggalkan media arus utama yang etika jurnalistiknya mengharuskan segala informasi diverifikasi dan memberi makna atas suatu fakta yang disajikan kepada audiens.

"Berita palsu" menurut audiens

Hoaks yang diambil dari bahasa Inggrishoax menjadi kata yang sering diucapkan menjelang Pemilu 2019.Hoax menurut Cambridge English Dictionary 'berarti sebuah rencana membohongi seseorang'.

Kamus Merriam Webstermendefinisikan hoax sebagai 'tindakan yang ditujukan untuk melakukan muslihat'. Kedua kamus menyebutkan hoaks adalah suatu tindakan yang direncanakan untuk mengatakan kebohongan atau melakukan muslihat yang menyebabkan pihak lain memercayai tindakan atau informasi yang disampaikan.

Apabila awalnya hoaks dianggap perbuatan orang per orang atau sekelompok orang dengan tujuan menyesatkan informasi dan bahkan menyebarkan kabar bohong, belakangan masyarakat memaknai berita daring hoaks lebih luas, bahkan menyangkut berita yang diterbitkan media massa secara tidak akurat.

Laporan Reuters Institute Digital News Report 2019 yang menyurvei 74.000 orang di 37 negara, di antaranya enam negara di Asia meskipun Indonesia tidak termasuk. Hasilnya, banyak fakta baru seputar hoaks atau berita palsu (fake news).

Beberapa temuan penting dari survei tersebut dapat direfleksikan. Temuan penting adalah pemahaman audiens tentang berita palsu berbeda dari apa yang dipahami politisi dan orang media sendiri.

Bagi audiens, "berita palsu" berarti berita yang tidak akurat, judul yang sensasional dan clickbait, atau pemberitaan yang bias, atau dipuntir. Masyarakat di 37 negara yang disurvei memiliki kekhawatiran merata terhadap "berita palsu" di dalam jaringan internet (daring).

Hal lain, penggunaan medsos untuk penyampaian berita di sejumlah negara, antara lain, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Perancis, menurun padahal sebelumnya terus naik.

Penurunan ini secara khusus terjadi dalam pengiriman dan berbagi berita di Facebook. Pada saat yang sama terjadi peningkatan penggunaan aplikasi pengiriman pesan yang bersifat lebih pribadi. Aplikasi Whatsapp, misalnya, dipakai sekitar separuh pengguna informasi daring di Malaysia dan Brasil.

Tingkat kepercayaan terhadap berita daring secara umum adalah 44 persen. Sebanyak 51 persen percaya terhadap isi berita dari media yang situsnya rutin mereka gunakan, 34 persen percaya pada berita yang mereka temukan melalui mesin pencari, dan kurang dari seperempat mempercayai berita yang mereka dapatkan dari medsos.

Temuan lain menyangkut kepercayaan pada isi berita. Lebih dari separuh responden setuju, bahkan sangat setuju, ada masalah tentang berita daring antara yang berdasar fakta dan berita bohong atau berita yang dipuntir. Hal ini terjadi terutama di negara-negara yang mengalami polarisasi situasi politik, seperti Brasil, Perancis, Spanyol, dan AS. Masyarakat di negara-negara yang tidak mengalami polarisasi politik cenderung tidak bergantung pada medsos sebagai sumber berita.

Laporan 2019 Edelman Trust Barometer sejalan dengan temuan Reuters Institute. Sebanyak 73 persen dari 33.000-an responden di 27 negara, termasuk Indonesia, khawatir terhadap berita bohong dan kemungkinan berita tersebut digunakan sebagai alat. Media di sini adalah media arus utama, media yang dicari memakai mesin pencari, dan media sosial.

Di semua negara, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, kepercayaan terhadap media sosial rendah. Di kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, tingkat kepercayaan responden hanya 34 persen, sedangkan di Asia Pasifik 50 persen.

Meskipun rata-rata kepercayaan responden terhadap media rendah (di bawah 50 persen), di Indonesia 70 persen responden masih percaya pada media.

Media arus utama

Dari kedua laporan tersebut terlihat, meskipun medsos memegang peranan dalam penyampaian informasi, semakin masyarakat memiliki cukup informasi dan pengetahuan (well inform), semakin tinggi tingkat kepercayaannya pada media arus utama (daring).

Dua laporan tersebut menunjukkan, masih pentingnya peran media arus utama yang menjalankan tugas jurnalistiknya dengan baik. Peran media tradisional atau media arus utama kini berbeda dibandingkan dengan abad lalu akibat kehadiran media baru berbasis digital. Perannya sebagai penapis informasi semakin penting ketika ada kekhawatiran masyarakat tentang berita palsu.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Foto tumpukan sejumlah koran yang terbit di Jakarta, Rabu (22/5/2019). Di tengah gempuran media sosial, media arus utama saat ini masih menjadi acuan informasi bagi warga.

Media arus utama, seperti dikatakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka Blur (2010, edisi bahasa Indonesia), perannya bergeser dari penjaga pintu berita pada abad lalu. Dalam The New Digital Age (2013), Executive Chairman Google dan Direktur Ide-ide Google saat itu, Eric Schmidt dan Jared Cohen, seperti juga Kovach dan Rosenstiel, meyakini, media arus utama tetap diperlukan. Masyarakat masih akan tetap membutuhkan media arus utama karena kesetiaan dan kepercayaan selain karena kerja jurnalisme yang sungguh-sungguh.

Perkembangan terkini tersebut mengimplikasikan, peran media arus utama bergeser menjadi penapis berbagai berita di jejaring digital, memilah, dan menyajikan mana informasi yang penting dibaca audiens seraya menjelaskan duduk soal atas suatu peristiwa.

Tantangan bagi semua adalah membangun pengetahuan dan kesadaran tentang informasi, memilah berita berdasar fakta dari berita bohong atau berita yang dipuntir. Literasi informasi menjadi tanggung jawab bersama karena menyangkut bangunan modal sosial masyarakat yang sangat penting, yaitu membangun kepercayaan (social trust).

Tantangan bagi semua adalah membangun pengetahuan dan kesadaran tentang informasi, memilah berita berdasar fakta dari berita bohong atau berita yang dipuntir.

Dalam menjalani peran tersebut, media arus utama tidak dapat bekerja sendiri. Masyarakat audiens, organisasi di masyarakat, dan pemerintah berperan penting untuk memastikan media arus utama dapat tetap menyajikan informasi akurat, dapat dipercaya, tidak dipuntir, dan memberi makna atas suatu kejadian.

Kompas, 25 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger