Di hadapan "tukar-menukar" pertanyaan, kesaksian, bantahan, pandangan, dan pendapat dalam kancah persidangan MK ini, sebuah pertanyaan sederhana mencuat ke permukaan. Mengapa kita hampir saja terjerembab kembali ke dalam "jurang konflik" berdarah pada Mei lalu?  Ternyata, semua kubu politik yang sedang berselisih bisa duduk melingkar di hadapan MK demi membicarakan persoalan mereka.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pihak termohon, Komisi Pemilihan Umum, menunjukkan dan menyerahkan alat bukti kepada hakim MK saat sidang sengketa perselisihan hasil pemilu Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6/2019).

"Roller coaster" politik

Indonesia dan kisah politiknya selalu "berayun-ayun" tidak menentu dan penuh bahaya. Kelas elite kita selalu menggiring bangsa ini untuk bermain-main di arenaroller coaster politik penuh risiko.

Di titik waktu tertentu, ada siklus penuh tikungan tajam. Pergerakan politik yang menukik tajam. Kemudian, persaingan antar-"klan politik" yang menanjak hingga melewati batas kemampuan mengelola ketegangan yang muncul. Lalu, berseliweran hoaks. Semuanya datang silih berganti sembari mengusik kenyamanan sosial-politik bersama.

Ada satu makna tunggal yang tidak terbantahkan. Kematangan (maturitas) demokrasi selalu ada dalam keraguan. Di titik ini, kita berhadapan dengan kenyataan telanjang ini. Politik kita tidak pernah menghadirkan cerita utuh tentang perjalanan bersama menuju pencerahan demokratik bermartabat. Sesi-sesi politik selalu disertai dengan cerita miris.

Aziz Huq dan Tom Ginsburg (2018) mengingatkan kemungkinan keruntuhan dan kemerosotan substansial demokrasi. Sesuatu yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya. Kondisi ini, lebih dari sebagiannya, niscaya merujuk pada sikap politik kelas elite dan kualitas lembaga-lembaga demokrasi.
Usaha untuk mendukung demokrasi agar bertahan hidup di satu pihak atau mengikis basis moral demokrasi di pihak lainnya senantiasa bergantung pada akurasi dan kepatutan pilihan tindakan politik kelas elite.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berjabat tangan seusai debat perdana capres-cawapres Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Tema debat yaitu hukum, hak asasi man usia, korupsi, dan terorisme.

Budaya politik
Kita juga menghadapi kenyataan lain. Mekanisme politik kita, di bawah payung demokrasi, ternyata berada di garis divergen dengan perilaku politik elite. Permainan demokrasi (democratic game) kita belum mampu menghasilkan tata laku politik yang dewasa.

Mekanisme demokrasi, yang secara niscaya memunculkan "pihak kalah" dan "pihak yang menang", tidak didukung sikap arif untuk menerima hasil akhir pertarungan politik.

Betapa rumit situasi politik kita ketika persoalan pelik ini masih menjadi bagian "laten" dari kerangka kesadaran elite politik. Pertentangan politik kemungkinan tidak akan pernah berhenti. Soalnya, mereka memiliki "energi" ekonomi-politik tidak terbatas demi meladeni seberapa lama pun "perang" politik itu berlangsung. Mereka akan menggunakan semua jalan yang "dimungkinkan" untuk mengingkari "kekalahan"—meskipun dengan menabrak semua logika akademik dan kepatutan politik.

Akurasi pelaksanaan pemilu dan Pilpres 2019, yang nyatanya cukup memuaskan publik, tidak merefleksikan "budaya politik" solid yang semestinya dipertontonkan para elite politik.

Ada keterputusan radikal dan jurang menganga antara pengetahuan politik yang mereka miliki di satu pihak dan sikap yang mereka sedang mereka perlihatkan dalam menerima hasil akhir pilpres ini. Keengganan mengakhiri pertarungan politik demi kepentingan kebangsaan adalah manifestasi rendahnya budaya politik elite.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Bangkai sejumlah mobil yang dibakar massa saat kerusuhan pada 21-22 Mei di Jalan KS Tubun, Jakarta, masih berada di lokasi kejadian , Sabtu (22/6/2019). Tepat satu bulan telah berlalu pasca kerusuhan yang berlangsung di sejumlah lokasi di Jakarta. Peristiwa tersebut diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk meningkatkan rasa cinta damai demi menjaga persatuan dan kesatuan serta menghargai perbedaan.

Alasan kekalahan
Semestinya elite politik kita menggunakan keseluruhan proses legal di MK untuk membahasakan kualitas budaya politik. Ini harus menjadi momentum merawat masa depan politik bermartabat. Perkara yang sedang berlangsung akan menjadi garis waktu terbaik dalam perspektif politik dan demokrasi ketika semua pihak memiliki kelapangan hati untuk menerima "palu" akhir MK.

Barangkali, yang paling menantang dari proses akhir di MK ini adalah bagaimana "kemenangan politik" direfleksikan sebagai pencapaian terbaik seluruh bangsa, sementara "kekalahan politik" akan menemukan sejumlah alasan fundamental yang tidak terbantahkan lagi di kemudian hari.