Aku masih teringat sungai besar, Bani, yang bermuara di sungai mahabesar Niger, mungkin 1 kilometer lebarnya, di kota Mopti. Sungai itu membawa air—dan kehidupan—di tengah negeri-negeri yang tanpa aliran air pasti menjadi lahan kering nyaris tak berpenghuni. Yang menguasai aliran kedua sungai itu adalah suku Bozo. Di pelabuhan Mopti kita melihat perahu mereka membawa hasil pancingannya ke pasar. Ditukar dengan sorgum, untuk dimasak para wanita di pulau-pulau mungil pinggiran sungai yang menjadi pemukiman favoritnya.

Saya, seorang tubab (bule), dan Daouda, seorang dokter hewan muda, asisten ayah saya, telah mencapai Mopti dengan menumpang salah satu perahu Bozo yang hilir mudik antara Djenné—kini kota warisan dunia UNESCO—dan kota Mopti, yang merupakan pasar seluruh daerah Masina. Daouda hendak mengunjungi desa asalnya, Sangha, di kaki lereng Bandiagara, 60 kilometer dari sungai Niger.

Daouda adalah seorang Fulani, suku penggembala yang telah memperkenalkan ayat-ayat suci ke negeri-negeri antarsungai di atas. Ayat tersebut konon disalin dari kitab-kitab kuno asal Maroko yang disimpan di kota Timbuktu yang termasyhur itu, pintu Gurun Sahara, 300 km di utara. Alhmarhum ayahnya adalah seorang marabout, ahli Al Quran yang anak sulungnya telah "diminta" penjajah Perancis untuk bersekolah di Bamako, hampir 30 tahun sebelumnya. Sekarang dia kembali mengunjungi desa kelahirannya.

Sesampainya di Bandiagara, kami masih harus berjalan kaki berjam-jam. Kendaraan sangat langka waktu itu. Kami melangkah diguyur keringat. Sangha tidak jauh lagi. Sudah terlihat gubuk-gubuk tanah popolannya di kaki tebing di kejauhan.

Tiba-tiba, 100 meter ke depan, terdengar suara lantang memanjang: "Eeeh Hoo, kau dari mana, siapa kau…?" "Saya putra almarhum Mamadou Tall, sang Marabout Sangha", saut Daouda.

Suasana melengang sejenak, lalu sautan terdengar lantang kembali: "Lamaaa kau pergi, Daouda, saya Dibo, 'budak' ayah kau… syukurlah, kau kembali ke rumah akhirnya"… Acara bersaut-sautan selesai, Daouda dan Dibo saling mendekat dan berangkulan dengan erat sesuai dengan adatnya.

Lalu, sembari berjalan Daouda bertutur, di dalam bahasa Perancis: "Dibo memang 'budak' dalam adatku, leluhurnya telah takluk pada leluhur saya, satria Fulani, pada abad ke-19. Dia juga 'saudara' sekampung, teman sepemburuanku waktu kecil. Ayahnya adalah tetua Dogon, suku mayoritas di daerah ini. Orang Dogon 'lain' dari kami. Biarpun takluk, mereka tidak pernah merangkul Islam. 'Kami tidak perlu,' kata mereka. Kami sudah memiliki kebenaran Amma,' dewa utamanya. Saya masih mengenang dalih yang konon dikedepankannya: 'bukankah kebenaran bagai puncak bukit Bandiagara: ada saja beberapa lorong menuju ke sana'…. Bukankah itu toleransi adat?"

Perlukah meneruskan sambutan keluarga Daouda, pesta para keluarga "budak-budak" Dogonnya? Tidak. Cukup mengatakan betapa saya terharu membiarkan perbedaanku lentur dalam persamaan….

Tahun-tahun kemudian berlalu. Lima puluh tahun. Saya menua, kini di Indonesia. Mali pun berubah: kekeringan meluas, ternak kian ringkih. Sepeda motor menggantikan kuda dan unta. Sekolah dibuka. Buku-buku didatangkan entah dari Paris atau dari Jeddah. Jip-jip turis berbondong ke Sangha, tertarik oleh Dewa Amma dan penari sakralnya.

Lalu, apakah karena kata-kata telah berganti makna? Apakah karena para ksatria Fulani dipanggil "feodal"? Dan para "budak" Dogon dipanggil kafir? Bisa jadi. Yang pasti tanah damai kini telah menjadi tanah rusuh. Ternak orang Fulani dicuri. Datanglah berita sejumlah pemuda Fulani berkumpul dengan sang emir Amadou Koufa. Dan tiba-tiba maut menyambar: 135 kerabat Daouda dibantai kerabat Dibo.

Dan bagaimana saya kini, di Indonesia? Prihatin. Mengingat perkataan bijak sobat Bali: "Bagi kami agama bak sungai; semua berasal dari gunung untuk semua bermuara di laut," berdengung di telingaku tuturan si tetua Dogon: "kebenaran bagai puncak bukit Bandiagara: ada saja beberapa lorong menuju ke sana".