Kesal
Setelah peranti itu mati, saya diam di sofa. Perasaan saya masih diliputi kekesalan yang sangat. Saya kesal karena di saat merasakan serunya jalan cerita, tiba-tiba harus berakhir secara tak terduga. Dengan perasaan yang masih kesal itu, saya berkata dalam hati. "Kayak gini kali ya, perasaan orang itu kalau lagi merasa sehat-sehatnya terus divonis dokter dengan penyakit yang mematikan."
Mungkin seperti ini perasaan seorang pengusaha ketika usahanya sedang berjalan baik-baik saja, kemudian tiba-tiba sebuah problem muncul entah itu karena faktor luar atau dari dalam, yang membuat usahanya itu bangkrut. Mungkin begini rasanya ketika seorang ibu atau orangtua yang melihat anaknya di pagi hari masih sehat walafiat, tiba-tiba menerima berita bahwa anaknya meninggal dunia karena kecelakaan atau bunuh diri di siang hari.
Mungkin kesalnya setengah mati bagi pasangan yang hubungan pernikahannya berjalan dengan baik bertahun lamanya, tetapi tiba-tiba dikagetkan dengan sebuah perselingkuhan yang tak diketahui telah berlangsung selama usia pernikahan itu.
Mungkin sekarang saya bisa membayangkan kesalnya atau kagetnya perasaan teman saya ketika di suatu hari memergoki suaminya berpacaran dengan sesama pria. Mungkin begitu kesalnya perasaan seseorang ketika pertemanan yang bertahun lamanya berjalan dengan begitu menyenangkan, tiba-tiba harus hilang karena perbedaan cara pandang politik.
Di siang itu, sejuta kata mungkin berseliweran di kepala saya. Saya dapat membayangkan betapa mengesalkannya kehilangan sesuatu atau seseorang di puncak kesenangan sebuah pertemanan, di puncak kebahagiaan sebuah pernikahan atau kesendirian, dan di puncak ketenangan sebuah perjalanan.
Setelah sejuta kata mungkin berhenti berseliweran di kepala, saya melanjutkan berdialog dengan diri saya sendiri seperti biasanya. Dialog yang terjadi itu untuk mengakali bagaimana caranya untuk melupakan kekesalan yang terjadi.
Dialog yang dibuat itu untuk membuat kejadian yang mengesalkan tersebut dapat dianggap sah terjadi. Dialog yang hanya punya satu tujuan untuk meredamkan rasa kesal itu.
3, 2, dan 5
Maka saya mulai meyakinkan diri saya sendiri untuk tidak kesal karena peristiwa semacam cerita saya di atas itu selalu akan terjadi selama kehidupan ini berlangsung. Ada pelangi setelah hujan, ada kedamaian setelah huru-hara, ada kebencian setelah percintaan, ada kecemburuan setelah ada asmara, ada akhir setelah awal, ada sehat setelah sakit, ada penerimaan setelah penolakan, ada kematian setelah hidup.
Saya manggut-manggut mendengar dialog saya sendiri. Saya sangat mengerti semua yang saya tuliskan di atas karena memang demikianlah kehidupan yang saya lihat dan alami sendiri. Saya tak bisa mengelak bahwa kekesalan itu terjadi.
Saya tak bisa meniadakan kekesalan, saya tak bisa meniadakan kekagetan yang disodorkan kehidupan. Saya tak bisa selalu mengontrol situasi yang memungkinkan kesenangan saya tak dirampas di puncak kenikmatan.
Karena pengorbanan dan usaha yang saya buat untuk memiliki perusahaan yang sukses, memiliki hubungan asmara yang sehat dan kalau bisa langgeng, mencintai anak-anak saya tanpa meminta imbalan, memelihara pertemanan dan hubungan agar tak terjadi friksi yang berarti, tak menjamin bahwa semuanya tak akan dirampas kehidupan secara tiba-tiba.
Pengorbanan saya untuk memelihara agar ginjal hasil transplantasi saya bisa baik bertahun lamanya, ternyata tak menjamin apa-apa karena beberapa minggu lalu, hasil CT Scan saya menunjukkan adanya pembengkakan pada ginjal itu.
Kelegawaan saya untuk menerima berita itu dari mulut seorang dokter juga tak membuat kehidupan itu berhenti menambahkan pembengkakan di tempat lain, yang sampai tulisan ini Anda baca, tak seorang pun dari dua dokter yang saya datangi tahu mengapa itu terjadi.
Semua itu terjadi secara tiba-tiba di tengah saya sedang menikmati kehidupan profesional yang menantang, kehidupan personal yang membahagiakan. Sampai saya berpikir bahwa kehidupan itu mungkin tak memiliki belas kasihan.
Bahwa kehidupan tak berhitung dengan cara saya berhitung. Kalau saya sudah dapat 3 penyakit, maka kehidupan akan merasa iba untuk tidak memberikan tambahan 2 penyakit lagi. Ternyata tidak. Ternyata saya keliru besar. Kehidupan seolah tak peduli dengan angka 3, 2, dan 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar