Betapapun gigihnya seseorang untuk bersikap netral di semua aspek kehidupan, tren sosial dan politik hingga gaya hidup, baik yang simpel ataupun hedonistis, termasuk selera musik, idola, dan sebagainya, pada akhirnya ia harus memahami, jika tak mau mendapati dirinya tampak naif, bahwa di medsos hal itu nyaris mustahil.  Medsos adalah sebuah medan dengan angin ribut ke seribu jurusan secara serempak dengan seribu arah mata angin.

Seseorang tak mungkin terjaga orientasi dan keseimbangan nalarnya jika dia berdiri di tengah kecamuk puting beliung dengan sikap batin ikut ke mana pun angin bertiup dengan anggapan itu paling aman: tak terjerat UU ITE, lolos dari umpatan kasar, ujaran jahanam, pertengkaran konyol "kecebong" vs "kampret" dan seterusnya. Hingga batas tertentu, boleh jadi dia "aman".

Ketika seseorang lebih jauh menjelajah belantara medsos akibat kecanduan serunya "racun" berbagai debat di medsos, hasratnya akan rasa aman tanpa sadar telah dia lupakan.

Medsos seperti WhatsApp, Facebook, Twitter, dan Instagram, sebagai platform paling populer, digunakan sebatas sarana berkomunikasi dengan sanak famili dan teman-teman dekat. Asalkan tak saling berbagi pesan-pesan yang insinuatif dan tendensius bertema sosial dan politik yang bernada hasutan, fitnah, atau informasi dusta, jaminan keamanan tingkat dasar dapat dinikmati.

KOMPAS/ HARYO DAMARDONO

Suasana kerja di Gedung MPK 21 Facebook di Menlo Park, California, Rabu (12/6/2019). Pegawai Facebook bekerja di ruang yang terbuka tanpa sekat-sekat.

Paling tidak, dia tak akan terpancing situasi konflik yang mengoyak tali silaturahmi. Dalam kenyataannya, batas itu sempit sekali. Siapa pun tak bisa lolos dari orang lain. Apalagi jika ia  tergabung kelompok percakapan WhatsApp (WAG), yang sewaktu-waktu, secara tak terkendali, mengirimkan pesan-pesan yang melanggar demarkasi "aman" itu.

Mau tak mau, setelah menerima pesan itu ia akan membaca dan secara psikologis terlibat dengan kontennya. Tanpa sadar dia akan "terjebak" untuk beropini, kendati tidak selalu terungkapkan. Dia harus memihak, apakah itu sesuai kecenderungan hati nuraninya atau sebaliknya, hingga rasa tenteramnya terusik.

Ketika seseorang lebih jauh menjelajah belantara medsos akibat kecanduan serunya "racun" berbagai debat di medsos, hasratnya akan rasa aman tanpa sadar telah dia lupakan.

Makna aman di sini bukan sekadar aman dari kenyinyiran, sinisme, dan sarkasme orang tak dikenal, konflik tak perlu, atau sanksi hukum UU ITE, melainkan terlebih-lebih aman dari pengaruh negatif yang menularkan kebiasaan atau perilaku yang tak mengindahkan adab, etika, dan moralitas. Ada yang emosinya terpancing dan terlibat pertikaian hingga ke ranah hukum.

Pemahaman tentang hakikat keberpihakan memang penting, terutama untuk mereka yang awam perihal latar belakang serta fakta dari segenap persoalan atau isu-isu yang lalu-lalang sepanjang waktu di medsos.

Ada yang lebih mengecoh ketimbang kasus-kasus semacam itu, yakni yang terjadi di lingkungan dengan karakteristik high-brow, tapi sebenarnya tak lebih dari kenyinyiran yang sama. Mereka yang terbilang "punya nama" di bidang kesenian dan intelektual dengan pengikut ribuan hingga ratusan ribu saling cela—awalnya seakan-akan perbantahan mereka demi preferensi politik atau sosial: dalam kenyataannya kerap kali tidak demikian.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Karya 30 kelompok seniman peserta lomba mural yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum DI Yogyakarta menghiasi tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Jumat (15/2/2019). Lomba tersebut digelar sebagai sarana sosialisasi Pemilu kepada masyarakat melalui media seni.

Tak sedikit pengikut atau penggemar mereka yang terhanyut oleh fanatisisme sehingga ikut-ikutan menyerang lawan sang idola tanpa menyadari bahwa yang terjadi sebenarnya tak lebih daripada perseteruan pribadi yang emosional.

Hakikat keberpihakan

Pemahaman tentang hakikat keberpihakan memang penting, terutama untuk mereka yang awam perihal latar belakang serta fakta dari segenap persoalan atau isu-isu yang lalu-lalang sepanjang waktu di medsos.  Salah satu contohnya, seorang penyair yang banyak menulis sajak-sajak cinta yang lemah lembut mengisi akunnya dengan agitasi politis nan lantam yang lebih menyerupai kesintingan ketimbang menyuarakan akal sehat atau imajinasi yang konstruktif.

Di sisi lain, seorang seniman yang amat gemar berdebat  tak dapat menghentikan cercaan pedas terhadap pribadi-pribadi tertentu secara terus-menerus. Bersama dia, para pengikutnya yang sebagian besar generasi milenial ikut-ikutan mengeroyok "musuh bersama" seakan-akan itulah "revolusi" sang panutan.

KOMPAS/SUPRIYANTO

Ilustrasi suasana kampanye di media sosial

Ada pengarang yang karya fiksinya berusaha menggambarkan emosi-emosi yang halus, di akun medsosnya mengaum garang dan mencemooh, menjajakan paham politik transnasional khas yang memperalat agama. Semua itu bagaikan konfeti warna-warni di atas kota yang riuh rendah namun lelah menyaksikan pertikaian politik sehabis pilpres yang tak kunjung selesai.

Dunia bergerak cepat, namun tak selalu didukung oleh banyak tokoh yang stagnan dengan ego dan sentimen pribadi yang menjebak diri sendiri, sekaligus mengorbankan tak sedikit pengikut mereka dari generasi yang jauh lebih muda. Khususnya di seputar isu-isu politik, suasana sengit demikian memabukkan.