ARSIP PRIBADI

AGUSTINE DWIPUTRI

Kemarahan itu emosi yang normal dan sehat. Setiap orang pernah merasakannya. Seperti emosi lainnya, marah mengandung pesan dan memberi tahu bahwa suatu situasi telah mengecewakan, tidak adil, atau mengancam. Kemarahan perlu disiasati dengan baik.

Kemarahan bisa menjadi hal yang baik, dapat memberi cara untuk mengungkapkan berbagai perasaan negatif, atau memotivasi kita untuk menemukan solusi. Tanpa perasaan marah, kita tidak akan mengambil sikap menentang ketidakadilan.

Kemarahan adalah tanda bahaya internal yang memberitahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam diri. Namun, kemarahan yang berlebihan dapat menyebabkan masalah. Menurut Jeanne Segal dan Melinda Smith (2019), jika reaksi otomatis Anda terhadap amarah meledak, pesan itu tidak pernah memiliki kesempatan untuk disampaikan.

Jadi, meskipun sangat normal untuk merasa marah ketika Anda dianiaya atau diperlakukan salah, kemarahan menjadi masalah ketika Anda mengekspresikannya dengan cara yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Kemarahan kronis yang muncul sepanjang waktu atau tidak terkendali dapat memiliki konsekuensi serius bagi hubungan dengan orang lain, kesehatan fisik, karier, dan keadaan pikiran Anda.

Mitos dan fakta

Segal dan Smith (2019) juga menyebutkan beberapa keyakinan yang tidak benar dan fakta sesungguhnya seputar kemarahan.
Mitos: saya seharusnya tidak "menahan" amarah saya adalah sehat untuk melampiaskan dan mengeluarkannya.

Fakta: meskipun benar bahwa menekan dan mengabaikan amarah adalah tidak sehat, ventilasi pun tidak lebih baik. Kemarahan bukanlah sesuatu yang harus dilepaskan dengan cara yang agresif. Bahkan, ledakan dan omelan hanya menyulut dan memperkuat isu amarah Anda.

Mitos: kemarahan, agresi, dan intimidasi membantu saya mendapatkan rasa hormat dan memperoleh apa yang saya inginkan.

Fakta: rasa hormat bukan berasal dari mengintimidasi orang lain. Orang mungkin takut pada Anda, tetapi mereka tidak akan menghormati jika Anda tidak bisa mengendalikan diri atau menangani perbedaan sudut pandang. Orang lain akan lebih bersedia mendengarkan dan mengakomodasi kebutuhan Anda jika Anda berkomunikasi dengan cara yang menghargai dia.

Mitos: saya tidak bisa membantu diri sendiri. Kemarahan bukanlah sesuatu yang bisa saya kendalikan.

Fakta: anda tidak selalu bisa mengendalikan situasi di mana Anda berada atau bagaimana perasaan Anda, tetapi Anda bisa mengendalikan bagaimana mengekspresikan kemarahan. Anda pun dapat mengomunikasikan perasaan tanpa kasar secara verbal atau fisik. Bahkan, jika seseorang mengganggu, Anda selalu punya pilihan tentang bagaimana meresponsnya.

Emosi sekunder

Kimberly Pratt (2014) menjelaskan bahwa banyak orang tidak menyadari bahwa kemarahan merupakan emosi sekunder. Apa artinya ini? Biasanya, salah satu emosi primer, seperti rasa malu, takut, sedih, dan perasaan diabaikan, dapat ditemukan di balik emosi marah. Ketakutan mencakup hal-hal, seperti kecemasan dan kekhawatiran, sementara kesedihan berasal dari pengalaman kehilangan, kekecewaan, atau keputusasaan.

Merasa takut dan sedih membuat tidak nyaman bagi kebanyakan orang, rasa ini membuat Anda merasa rentan dan sering kali tidak terkendali. Oleh karena itu, orang cenderung menghindari perasaan ini. Sebagai salah satu mekanisme untuk menghindari perasaan tersebut, kadang seseorang secara tidak sadar beralih ke kemarahan.

Berbeda dengan ketakutan dan kesedihan, kemarahan dapat memberikan gelombang energi dan membuat Anda merasa lebih bertanggung jawab daripada merasa tidak berdaya. Jadi, pada dasarnya amarah bisa menjadi sarana untuk menciptakan rasa mampu mengontrol dan kekuatan dalam menghadapi kerentanan dan ketidakpastian.

Sebagai contoh, ketika kemarahan muncul pada suami-istri, ternyata di baliknya ada rasa takut ditinggalkan. Kondisi ini merupakan kombinasi dari rasa takut dan kehilangan antisipatif yang dapat memicu kemarahan. Ketika Anda kekurangan informasi yang cukup dan pasti terhadap keberlangsungan suatu hubungan perkawinan, juga dapat memicu kemarahan. Sebab, ketidakpastian menyentuh sesuatu "yang tidak diketahui", yang cenderung menakutkan bagi kebanyakan orang.

Bahkan, kebosanan dapat menimbulkan kemarahan atau kekesalan karena ada perasaan kehilangan atau ketakutan yang samar terkait dengan pengalaman tidak terlibat pada sesuatu yang menstimulasi atau produktif.

Sementara itu, memiliki "rasa kontrol" berkait dengan kesejahteraan emosional yang lebih kuat serta keinginan berlebihan untuk kontrol hanya mengarah pada penderitaan batin. Sebab, tidak mungkin kita selalu dapat memegang kendali, terutama terhadap perilaku orang lain.

Menghadapi kemarahan

Jika Anda merasa marah, baik dalam kadar ringan maupun kuat, Pratt (2014) menyarankan, berhentilah sejenak untuk memeriksa diri dan cobalah mengidentifikasi emosi primer yang mendorong kemarahan itu. Jika sulit untuk melihat apa pun selain kemarahan, mulailah dengan menjelajahi pikiran Anda karena itulah yang memicu semua emosi.

Ingatlah bahwa perubahan dari emosi primer, seperti ketakutan atau kesedihan, ke kemarahan biasanya cukup cepat dan tidak disadari. Merasa marah bisa menjadi kebiasaan yang sudah mendarah daging bagi Anda. Itu berarti butuh lebih banyak waktu untuk mengidentifikasi pikiran dan perasaan yang lebih dalam di baliknya.

Bekerja dengan rasa takut, kesedihan, atau keduanya akan mengembangkan cara yang lebih terampil untuk menghadapi kemarahan Anda. Misalnya, Anda mungkin mendapati kesedihan yang belum terselesaikan atau menyadari bahwa Anda merasa takut terhadap hasil tertentu. Semua perolehan dari penjajakan ini merupakan data yang positif karena melibatkan cara mengatasi kebutuhan yang lebih mendalam daripada kemarahan itu sendiri.

Dengan mengidentifikasi emosi primer, Anda dapat lebih mudah menentukan tindakan terbaik untuk menyelesaikan masalah Anda. Misalnya, Anda dapat mengetahui apakah tindakan orang lain benar-benar tidak adil atau hanya merupakan pukulan bagi ego Anda.

Membela ketidakadilan, seperti melindungi diri sendiri atau orang lain agar tidak dimanfaatkan atau dirugikan, itu rasional. Namun, memilih untuk berdebat dengan seseorang atas sesuatu yang sepele lebih untuk mempertahankan ego adalah pemborosan energi yang sebenarnya dapat digunakan secara lebih bijak.

Singkatnya, bekerja dengan emosi primer yang mendasarinya adalah cara untuk mengurangi kebiasaan marah, menyuburkan lebih banyak kedamaian batin, dan memfasilitasi tindakan yang bijaksana. Ini adalah satu perspektif dari banyak pandangan lain dalam mengelola kemarahan. Selamat mencoba.


Kompas, 24 Agustus 2019