KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Bertempat di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (30/8/2019), Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas terkait kondisi di Papua. Presiden meminta jajaranya untuk mengambil tindakan tegas terhadap siapapun yang melanggar hukum.

Nyaris delapan tahun lalu, Dr Neles K Tebay Pr, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur di Abepura, Papua, mengingatkan pemerintah tentang pentingnya mendengarkan warga lokal Papua. Dalam artikel berjudul "Mendengarkan Harapan Orang Papua", Neles yang sejak 2009 hingga meninggal, April lalu, secara mandiri melalui Jaringan Damai Papua, mendorong lahirnya komunikasi konstruktif, dialog damai dalam menyelesaikan persoalan Papua. Kalau ada konflik vertikal atau horizontal, komunikasi konstruktif menjadi cara bermartabat untuk menyelesaikannya.

Penataan Papua dengan hati merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan orang Papua. Penataan Papua dapat diawali dengan dialog Jakarta-Papua yang melibatkan kedua pihak (Kompas, 13/9/2011). Dalam dialog pasti ada kesetaraan, keterbukaan, dan kepercayaan dari mereka yang berdialog.

Sebagai lelaki Papua, Neles yang lahir di Kabupaten Dogiyai pasti memahami benar karakter dan sikap dasar warga Papua. Konflik yang berujung pada kerusuhan massal di Papua atau Papua Barat bukan hanya bersifat vertikal—warga berhadapan dengan aparatur negara dengan berlatar belakang kepentingan politik, sosial, ekonomi, atau budaya—melainkan juga konflik horizontal. Konflik yang kini bergulir menjadi "bola salju" kerusuhan massal di Papua juga berawal dari gesekan antarwarga di luar tanah Papua pula.

Dalam berbagai konflik terkait Papua, aroma kepentingan pihak lain memang terasa. Namun, hingga kini, wacana yang menguat untuk menyelesaikan persoalan Papua, termasuk dari kalangan internasional, adalah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindakan anarkistis, seperti diingatkan Presiden Joko Widodo, justru merugikan warga Papua sendiri.

Presiden juga berniat mengundang kepala suku, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan siapa pun yang memahami Papua untuk berdialog. Tindakan hukum terhadap mereka yang melanggar, termasuk yang memicu konflik yang meluas kali ini, juga telah dilakukan secara terbuka dan berkeadilan.

Namun, yang mendesak segera dilakukan pemerintah adalah mendengarkan harapan warga Papua dan diteruskan dengan dialog bagi solusi damai.

Presiden Jokowi sebenarnya memiliki momentum yang kuat untuk mewujudkan dialog bagi Papua damai karena pada Pemilu 2019 mendapatkan kepercayaan besar dari rakyat Papua. Dari 3.333.065 suara sah di Papua, pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin meraih 3.021.713 suara, atau lebih dari 90,6 persen. Raihan yang mirip pun terjadi di Papua Barat. Jokowi bisa memimpin langsung dialog itu sebab rakyat Papua menaruh kepercayaan besar kepadanya.