Seiring dengan menjamurnya big cities di berbagai belahan dunia, di Indonesia tengah dibangun kawasan serupa, seperti Meikarta. Namun, pembangunan ini tersandung kasus suap di balik proses pengembangan lahannya.

Kasus tersebut sudah ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tampak KPK pun cukup hati-hati dan serius menanganinya terlihat dari lamanya memproses kasus tersebut hingga saat ini. Kasus Meikarta adalah cerminan bahwa otonomi tidak dapat terlepas dari praktik bisnis.

Pun sebaliknya, bisnis dalam skala atau konteks tertentu karena melibatkan lokasi bisnis tak dapat dilepaskan dari praktik otonomi. Ihwal Meikarta adalah puncak dari gunung es fenomena kelindan bisnis dan otonomi yang tidak harmonis.

Kelindan tersebut dapat sinergis tetapi dapat pula tidak sinergis. Celakanya jika ukurannya adalah kepentingan masyarakat luas, banyak yang tidak sinergis terlebih jika ukurannya adalah pembangunan bangsa. Untuk itu perlu dicermati agar tidak berefek negatif.

Kontekstual

Otonomi daerah membutuhkan sumber daya keuangan yang tidak kecil. Oleh karena itu, perekonomian harus berjalan dinamis di daerah, yang terwujud dalam aktivitas bisnisnya sebagai penopang berjalannya otonomi. Sebaliknya, bisnis membutuhkan tata kelola otonomi yang efisien, efektif, dan berkualitas agar dapat berkembang dan berkelanjutan.

Tata kelola kelembagaan hasil regulasi dapat dipastikan tidak dapat menjangkau persoalan kelindan otonomi dan bisnis terlalu jauh dan detail dalam hal mana yang menjadi pengendali utama. Bahkan, pengaturan secara nasional didorong pula oleh kepentingan bisnis sehingga otonomi itu menjadi kuat atau lemah dalam sebuah negara bangsa.

Dalam tataran akademik, melahirkan konsep desentralisasi ekonomi (economic decentralization) yang diluncurkan Bank Dunia, konsep yang semula tidak dikenal (Cohen dan Peterson: 2011).

Menurut konsep di atas, jika semakin terdesentralisasi, elemen lokal lebih banyak diharapkan menjadi pengendali kegiatan-kegiatan bisnis yang berjalan. Sebaliknya, jika semakin terjadi sentralistis, aktivitas bisnis lebih banyak dikendalikan dari pusat.

Di Indonesia, pada saat Soeharto berkuasa, terdapat sinyalemen bahwa dinamika bisnis seantero Republik Indonesia harus dikendalikan dari Jakarta (baca: pusat). Bahkan terdapat tekanan internasional keinginan berbisnis di Indonesia yang paling mudah melalui satu pintu di Jakarta sehingga otonomi dikecilkan. Pemerintah (pusat) turut menentukan bagaimana praktik bisnis tingkat lokal dapat berkembang atau stagnan, bahkan menurun.

Pergantian rezim antarwaktu membawa corak yang berbeda- beda. Terlebih kebijakan otonomi yang diputuskan dari rezim satu ke rezim yang lain berganti-ganti pula. Pendiri bangsa Indonesia memayungi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan bahasa yang arif dan bijak pada Pasal 18 sebelum amendemen dengan memungkinkan adanya daerah besar dan daerah kecil, kedua-duanya di samping dapat berotonomi, dapat administratif belaka dapat pula berakar dari daerah-daerah swapraja.

Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebagai turunan UUD 1945, berbagai corak dikembangkan. Bahkan, susunan struktur pemerintahan daerah pernah tumbuh sampai tiga tingkatan otonomi. Kecamatan pernah menjadi daerah otonom tingkat III pada masa tertentu. Aktivitas ekonomi lokal kala itu belum begitu tumbuh. Bisnis lokal masih didominasi kegiatan ekonomi sektor publik dari aktivitas pemerintahan daerahnya. Sangat wajar kemudian belum dapat tumbuh dengan baik.

Pada masa Soekarno, ditetapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang mengatur terkait pemerintahan daerah. Dalam undang-undang tersebut, nasakom disebut-sebut menjadi unsur pimpinan daerah yang secara hierarkis tersusun dari Jakarta. Ini artinya juga kegiatan bisnis lokal dapat dikendalikan secara nasional dari unsur nasakom tersebut.

Undang-undang tersebut kemudian digantikan oleh undang-undang masa Soeharto, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Masih menempatkan kuatnya sentralisasi dengan bersandar pada efisiensi dan efektivitas. Kelembagaan dewan perwakilan rakyat ditata sedemikian rupa baik di tingkat nasional maupun di daerah. Pemerintahan harus efisien dan efektif menurut rezim saat itu.

Sejak era kemerdekaan sampai masa Soeharto berkuasa, pembenahan sektor publik pun masih membutuhkan uluran tangan negara-negara maju. Saat itu hingga era Soeharto, ide pembangunan sangat kuat.

Paradigma untuk menata sektor publik menjadi primadona sampai-sampai menjadi buku teks dan panduan bagi kebijakan dengan jargon administrasi pembangunan yang lahir dari studi-studi pembangunan di berbagai universitas terkemuka.

Praktik bisnis dipandang efisien dan efektif jika dikendalikan dari Jakarta. Maka, wajar ide pengembangan Kota Batam pada saat Soeharto berkuasa pun meluncur dan sangat mudah dilaksanakan karena dikawal ketat oleh rezim untuk mendorong kepentingan bisnis lokal berkembang menurut kacamata rezim kala itu.

Menyusul lengsernya Orde Baru, tampak pada era Reformasi tata kelola sektor publik amat terfragmentasi, sangat multiaktor, tidak terdapat pemain tunggal yang dominan.

Tata kelola otonomi, mulai dari keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999—kemudian diganti dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan sekarang digantikan kembali oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah—menampakkan kegamangan dalam kaitan sistemik hubungan pusat-daerah, hubungan antara aspek bisnis dan otonomi, serta juga aspek hukum otonomi dan ekonomi lokal.

Bisnis lokal pun dikendalikan oleh banyak pemain. Bahkan kini tidak tanggung-tanggung otonomi dikukuhkan sampai tingkat desa dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Semula pada masa Soeharto terdapat tekanan dari berbagai pebisnis yang merasa sulit masuk karena harus melalui Soeharto sehingga yang diinginkan dalam era Reformasi adalah bahwa aktivitas bisnis menjadi lebih mudah jika dapat diputuskan di daerah. Ternyata di tingkat lokal tersebut, saat ini malah terdapat banyak aktor yang sulit dikendalikan.

Akibatnya, kolusi pebisnis dan pemain lokal yang amat banyak terpaksa dilakukan. Alih-alih, beberapa pemain ingin bypass ke Jakarta, tetapi ternyata kendala tetap harus dihadapi pula di daerah kalau bisnisnya ingin tetap lancar.

Pebisnis berhitung, mana yang paling murah untuk beraktivitas, apakah melalui Jakarta atau langsung di daerah. Ternyata di daerah yang semula disangka lebih mudah ketimbang melalui Jakarta seperti pada era Soeharto kini dirasakan sulit terkendali bahkan sampai level akar rumput.

Bukan resentralisasi

Jawabannya bukan resentralisasi seperti zaman Soeharto untuk mengatasi ketidakjelasan banyak aktor yang mengendalikan bisnis dan otonomi agar sejalan. Jawabannya adalah kejelasan visi mengenai apa yang diinginkan terhadap otonomi daerah dalam negara-bangsa yang berdampak pada kemajuan bisnis lokal dan nasional.

Diperlukan partitur untuk seorang dirigen dalam orkestrasi yang melibatkan banyaknya pemain agar iramanya tidak sumbang. Di sini perlu orkestrasi yang tepat untuk mengawinkan bisnis dan otonomi.

Bahan untuk mengembangkan partitur ke arah sana adalah dengan melihat pengalaman masa lalu dengan indikator perubahan yang jelas, posisi dibandingkan dengan berbagai negara yang relevan dengan pengalaman Indonesia, dan keinginan masa depan melakukan perubahan sesuai cita-cita kejelasan visi bangsa Indonesia akan praktik otonomi daerah.

Tampak untuk Indonesia dengan luas wilayah dan jumlah penduduk serta heterogenitas suku bangsa, perlakuan yang sama untuk setiap daerah adalah sesuatu yang harus dihindari.

Steve Leach et al (1990) mencatat di level daerah, dalam soal keterkaitan antara otonomi dan bisnis dapat memilih pola-pola: (1) birokrasi tradisional, jika sektor publiknya dominan; (2) penguatan pasar, jika pasar dominan di mana sektor publik menjadi aktor regulator saja tidak masuk menjadi pemain; (3) penguatan komunitas, jika pemain lebih banyak diandalkan kalangan masyarakat setempat, bukan pasar; dan (4) penguatan residu, jika aktivitas bisnis menguat antara pasar dan komunitas.

Di Indonesia, tampaknya kekuatan sinkronisasi pusat-daerah dan antardaerah di tangan wakil pemerintah masih tetap dibutuhkan. Di daerah-daerah yang lebih cepat pertumbuhannya perlu didorong tata kelola perkotaan yang lebih adil, akomodatif, dan aspiratif.

Terdapat kemungkinan keberadaan wakil pemerintah di beberapa daerah tidak diperlukan, sama halnya sistem pemilu langsung atau tidak langsung, bahkan dapat diangkat oleh pemerintah pusat di beberapa daerah tertentu supaya sinkron dengan bisnis lokal. Secara teoretis, terdapat perpaduan antara desentralisasi ekonomi dan desentralisasi asimetris.

Semoga kelindan bisnis dan otonomi dapat harmonis dan tidak bernada sumbang untuk kemajuan Indonesia.