Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 September 2019

”Sekolah Menjadi Ibu”//Bangun Industri Bahan Baku (Surat Pembaca Kompas)


"Sekolah Menjadi Ibu"

Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, 16 Agustus lalu, lima tahun ke depan akan menekankan pembangunan sumber daya manusia atau SDM sejak anak dalam kandungan.

Tulisan opini Menkeu Sri Mulyani Indrawati, "Menuju Indonesia Maju melalui SDM Unggul" (Kompas, 19/8/19), menegaskan dukungan ketersediaan anggaran. Dana Rp 385 triliun untuk mengatasi kemiskinan, Rp 29,1 triliun untuk program Keluarga Harapan, dan Rp 28,2 triliun untuk Kartu Sembako bagi 15,6 juta penduduk miskin.

Benar, di mata kesehatan, membangun SDM suatu bangsa dimulai sejak anak dalam kandungan. Untuk itu, dibutuhkan orangtua yang tahu cara merawat kehamilan, persalinan sehat, serta membesarkan anak secara benar, sebagai bentuk pendidikan perdana di rumah.

Lebih dari 10 tahun saya mengerjakan penyuluhan pranikah secara pribadi lewat semiloka "Sekolah Menjadi Ibu" di pelbagai kota. Modul saya sudah menjadi buku Sehat Pranikah yang saya bagikan kepada calon ibu.

"Sekolah Menjadi Ibu" terinspirasi oleh surat-surat konsultasi di media massa, yang menunjukkan ibu-ibu muda, bahkan yang sudah sarjana, kurang memadai pengetahuannya menjadi ibu. Padahal, saya percaya bangsa akan unggul apabila ibunya unggul. Namun, ayah ibu pintar saja belum cukup bila kehamilan kurang gizi, persalinan bermasalah, atau pola pengasuhan salah.

Setelah lahir, lima tahun pertama adalah masa perkembangan psikoseksual anak. Anak yang dibesarkan dengan pukulan, kelak suka memukul. Sekolah perdana berperan penting dalam pendidikan karakter. Maka, pendidikan semasa PAUD menjadi penting.

Sekolah perdana ikut menentukan karakter anak. Jepang menyisihkan waktu tiga tahun pertama sekolah untuk pendidikan budi pekerti dan tata krama. Sikap hormat, menghargai orang lain, dan hidup berdisiplin terbukti tercipta di Jepang.

Modul "Sekolah Menjadi Ibu" yang menjadi materi semiloka siap saya hibahkan untuk program Keluarga Harapan. Semoga hal itu bisa berkontribusi untuk membangun generasi unggul. Di balik sukses anak, ada seorang ibu yang hebat. Ibu yang hebat itu diciptakan.

Dr HANDRAWAN NADESUL
Jl Metro Alam I – Pondok Indah, Jakarta 12310

Bangun Industri Bahan Baku

Pendapat pengajar Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, di harian Kompas, Selasa (30/7/2019), sangat tepat. Bahwa Indonesia harus memberi perhatian lebih pada investasi di bidang bahan baku.

Penyebab defisit transaksi berjalan Indonesia adalah impor bahan baku. Sama seperti pembangunan infrastruktur secara masif, Indonesia juga harus membangun industri bahan baku secara masif.

India adalah salah satu contoh negara berkembang yang berhasil membangun industri bahan bakunya sehingga tidak bergantung pada negara lain.

China bahkan sudah lebih dulu melepaskan diri dari ketergantungan bahan baku dengan membangun industri bahan baku yang dimulai dari industri rumahan.

Mengapa kita tidak mencontoh negara-negara itu?

Untuk membangun industri bahan baku secara masif, kita bisa memulai dengan membuat bahan baku vitamin yang dibutuhkan setiap manusia. Membuat bahan baku vitamin akan diserap oleh lebih dari 200 juta rakyat Indonesia.

Saya yakin sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak hanya mampu membuat vitamin, tetapi juga berbagai bahan baku farmasi lain.

Bila SDM Indonesia belum siap, Indonesia bisa potong kompas dengan membuat kebijakan yang mewajibkan investasi industri bahan baku di Indonesia diberi insentif, subsidi, dan bentuk-bentuk lain sehingga segera tumbuh.

Dengan bahan baku sendiri, defisit akan berkurang.

Fonny Halimin
Jembatan Item,

Jakarta Barat

Kompas, 10 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger