Presiden Joko Widodo akhirnya "merestui" kehendak DPR merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua menteri telah ditunjuk mewakili.
Persetujuan Presiden Jokowi diwujudkan dalam surat presiden. Rabu 11 September 2019, 19 hari sebelum DPR berakhir masa jabatannya. Undang-undang memberikan waktu 60 hari kepada Presiden untuk mengkaji sebelum menyatakan sikap terhadap rancangan UU inisiatif DPR. Namun, sehari setelah Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyampaikan sikap pemerintah menyetujui revisi terbatas, Presiden Jokowi langsung berkirim surat kepada DPR. Dua menteri yang ditunjuk adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin.
Putusan Jokowi mengecewakan aktivis antikorupsi dan akademisi di luar parlemen yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Surat presiden itu juga kontras dengan janji Presiden Jokowi pada masa kampanye. Dalam kampanye, 26 Juni 2014, Jokowi mengatakan, "Ke depan, KPK perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, perkiraan saya lebih kurang sepuluh kali." Dalam kampanye presiden 2019, Jokowi menegaskan, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang bisa meruntuhkan sendi perekonomian dan membawa dampak pada pemiskinan struktural. Oleh karena itulah KPK harus diperkuat.
Membaca revisi UU KPK yang disusun politisi DPR, semangat melemahkan KPK kentara. Elite politik boleh jadi mengalami memori kegetiran ketika KPK menangkap ketua umum parpol, menangkap anggota DPRD, menangkap hakim, jaksa, polisi, dan pengusaha. Memori sosial itulah yang kini mewujud ketika kotak pandora revisi itu dibuka. Independensi KPK dilumpuhkan. Dewan Pengawas yang dipilih DPR memegang kekuasaan luar biasa. Penyadapan, penyitaan, penggeledahan, harus mendapatkan izin Dewan Pengawas. Sementara penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan.
Dengan substansi seperti itu, pihak yang mengatakan revisi UU KPK untuk memperkuat KPK jelas melecehkan akal sehat masyarakat. Tak diberikannya hak menghentikan penyidikan pada KPK sebenarnya sudah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengatakan, tak diberikannya hak menghentikan penyidikan kepada KPK adalah konstitusional. MK mengatakan, jika KPK tidak cukup bukti setelah tersangka ditetapkan, KPK tetap harus membawa ke pengadilan dan menuntut bebas. Harus disadari, penghentian penyidikan merupakan lahan untuk transaksi perkara.
Kita mendorong Presiden Jokowi yang dikelilingi aktivis antikorupsi melihat lebih detail pasal dalam revisi yang jelas-jelas akan membunuh KPK dan mau menyelamatkan KPK. Jika memang di balik layar, pemerintah dan DPR sebenarnya bersepakat mengamputasi KPK dengan pimpinan baru, biarlah sejarah mencatat. KPK bakal dilumpuhkan sama dengan komisi antikorupsi yang lain. Dan itu terjadi pada era Presiden Jokowi, sosok yang dikenal bersih, tetapi mendapatkan masukan yang kurang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar