Kekhawatiran aktivis korupsi dan sejumlah tokoh bangsa akan masa depan pemberantasan korupsi sangatlah bisa dipahami.
Bangsa ini tampaknya sedang berada di persimpangan jalan. Akankah bangsa ini tetap pada komitmen reformasi dengan pendekatan progresif untuk memberantas korupsi dengan mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai ujung tombak atau mau berdamai dengan praktik korupsi?
Gejala pelambatan pemberantasan korupsi mulai tampak dari sejumlah indikasi. Pertama, tidak kunjung terungkapnya pelaku penyiram air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Presiden Joko Widodo tampaknya juga tak sepenuhnya punya daya untuk mengungkap kasus itu, selain hanya melakoni politik mengulur-ulur waktu dari pembentukan tim ke tim yang lain.
Indikator kedua adalah kenekatan parlemen, tentunya atas dukungan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, memasukkan korupsi sebagai tindak pidana dalam Rancangan KUHP. Ancaman hukuman korupsi dalam Rancangan KUHP pun diperingan dibandingkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Indikator ketiga pada level paradigmatis. Sebagaimana dikatakan anggota DPR dari PKS, Nasir Djamil, seperti dikutip Kompas, 31 Agustus 2019. Nasir mengatakan, "Korupsi adalah kejahatan keuangan sehingga fokusnya adalah pengembalian uang negara." Jika paradigma Nasir itu diterima pembuat undang-undang, berarti telah terjadi pergeseran paradigmatis soal korupsi dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) menjadi kejahatan keuangan belaka.
Indikator keempat adalah formasi calon pimpinan KPK yang akan diajukan Panitia Seleksi kepada Presiden Joko Widodo pada Senin 2 September 2019. Kritik terhadap sosok capim yang diloloskan pansel wajar saja karena sejumlah capim memang kontroversial dan merupakan sosok yang bisa dibaca membawa agenda tertentu.
Simak saja pendapat capim KPK yang tidak akan mengusut korupsi di kepolisian maupun kejaksaan daripada ribut antarlembaga. Cara pikir demikian tentunya tidak tepat. Memberantas korupsi tentunya akan menimbulkan konflik antara KPK dan individu atau lembaga. Simak juga pandangan capim yang menilai tujuan KPK telah melenceng.
Perlawanan politik terhadap KPK tentunya tak bisa dilepaskan dari kecenderungan KPK melakukan festivalisasi pemberantasan korupsi dan progresivitas dalam memberantas korupsi. Penyidik-penyidik KPK dibaca punya target politik untuk membangun konstruksi hukum kasus korupsi lama. Sementara ada beberapa kasus korupsi yang justru digantung dan tidak jelas ujungnya.
Pada tahap inilah komitmen Presiden Jokowi akan diuji. Dikelilingi sejumlah aktivis antikorupsi di sekitar Presiden, kita yakin Presiden Jokowi masih punya komitmen memberantas korupsi. Namun, jika Presiden salah langkah, pemberantasan korupsi akan memasuki masa kegelapan. Dan, jika itu terjadi, reformasi akan bergerak mundur.
Kompas, 2 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar