Pameran buku tahunan yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sejak 1980 tersebut semula bernama Indonesia Book Fair. Sejak 2014 hingga kini, pameran buku itu bernama Indonesia International Book Fair (IIBF) dengan mengundang sejumlah negara sebagai peserta pameran.
Tahun ini IIBF diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada 4-8 September 2019 dan diikuti 40 penerbit dalam negeri serta penerbit dari 20 negara.
Pameran buku di tengah euforia penggunaan gadget di semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, tentu harus diapresiasi karena tantangannya tidaklah mudah. Gadget dengan segala kelebihannya, seperti praktis, murah, dan informasi yang disajikan beragam serta tak terbatas, bisa menurunkan minat masyarakat untuk membaca buku.
Untunglah kekhawatiran itu tidak seluruhnya benar. Berdasarkan data Gramedia, jaringan toko buku terbesar se-Indonesia, tahun 2018 misalnya, Gramedia bisa menjual 34,7 juta buku. Jumlah ini meningkat dari tahun 2017 sebanyak 29,7 juta buku dan tahun 2016 sebanyak 18,6 juta buku.
Perpustakaan Nasional mencatat, judul buku yang diterbitkan setiap tahun fluktuatif dan menjadi tantangan. Tahun 2016, misalnya, diterbitkan 57.090 judul buku, tahun 2017 memang turun menjadi 47.506 judul buku, tetapi tahun 2018 melonjak menjadi 68.290 judul buku.
Seperti dikatakan Ketua Ikapi Rosidayati Rozalina, pada IIBF 2019 buku fiksi dan buku anak-anak masih menjadi andalan. Meskipun demikian, kategori nonfiksi, termasuk tulisan-tulisan akademik, mulai digarap serius.
Apa pun kategorinya, upaya promosi dan penjualan buku-buku ini harus kita hargai karena Indonesia masih menghadapi tantangan dalam soal minat baca di kalangan pelajar. Berdasarkan tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA), siswa Indonesia masih lemah dalam kemampuan membaca. Akibatnya, mereka sulit memahami dan menganalisis teks yang serius serta padat informasi.
Di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi persoalan buta aksara usia 15-59 tahun yang jumlahnya 2,06 persen dari total penduduk atau sekitar 3,4 juta orang.
Menghadapi persoalan ini, semua pihak sudah selayaknya bekerja sama untuk meningkatkan minat baca dan daya baca masyarakat. Misalnya, pemerintah mempertimbangkan keringanan pajak untuk penulis dan harga kertas. Penerbit bisa menekan harga buku dan tidak hanya melakukan pameran besar di Jakarta. Sementara keluarga bisa berperan dengan menanamkan kegemaran membaca pada anak sejak dini disertai contoh nyata dari orangtua.
Semua pihak harus menyadari, membaca bukanlah sekadar kewajiban akademik, tetapi investasi yang sangat penting bagi masa depan anak serta kemajuan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar