Justru di tiga komponen utama inilah titik lemah pembinaan olahraga prestasi di Indonesia. Bibit unggul tidak sulit ditemukan, tetapi kita lemah membina bibit-bibit unggul itu secara berkelanjutan. Kalaupun ada, upaya pembinaan itu tidak konsisten dan sporadis.

KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Para peserta mengikuti Audisi Umum Beasiswa Bulutangkis 2019 di GOR Satria, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (8/9/2019). Audisi bulu tangkis dari PB Djarum ini dinilai penting mewadahi bakat anak-anak serta demi regenerasi atlet muda Indonesia.

Begitu pula dengan sarana dan prasarana latihan. Bukan perkara mudah mendapatkan tempat latihan yang baik dan memadai bagi atlet yang diproyeksikan bisa meraih prestasi di Asian Games, apalagi Olimpiade. Kalaupun ada sarana dan prasarana, jumlahnya amat terbatas.

Pelatih pun kondisinya mirip. Hampir tak terhitung berapa jumlah pelatih asing yang melatih di Indonesia. Mereka melatih hampir di setiap cabang olahraga. Hanya di cabang-cabang tertentu, seperti bulu tangkis, kita punya banyak pelatih berkelas dunia.

Di saat kita memperingati Hari Olahraga Nasional yang jatuh pada 9 September, rasanya layak kita merenung: mengapa prestasi olahraga sulit terangkat? Dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Kamis (5/9/2019), Indonesia dikalahkan oleh musuh bebuyutan, Malaysia, 2-3. Kekalahan ini disebabkan banyak faktor, termasuk usia rata-rata pemain kita lebih tua dari pemain Malaysia.

Hampir semua pemain kelelahan pada babak kedua dan bahkan bek Ricky Saputra mengalami cedera. Alberto Beto Goncalves sudah berusia di atas 38 tahun. Kenyataan ini menunjukkan fisik pemain kita ketinggalan dan regenerasi pemain tidak berjalan.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para pemain Tim Nasional Malaysia bersuka cita seusai peluit panjang babak kedua berakhir laga Indonesia melawan Malaysia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Malaysia mengalahkan Indonesia dengan skor 3-2. Indonesia masih harus menghadapi Thailand, Vietnam, dan Uni Emirat Arab dalam satu grup yaitu grup G dalam kualifikasi ini.

Padahal, sepak bola adalah olahraga terpopuler yang sudah layak dijual, selain bulu tangkis. Hampir di setiap pertandingan sepak bola di Tanah Air, baik di tingkat lokal maupun nasional, selalu ramai penonton.

Untuk olahraga populer pun ternyata kita tak bisa memunculkan prestasi membanggakan. Bagaimana dengan prestasi cabang olahraga tidak populer, kita akan terbata-bata mengingat prestasi cabang itu di tingkat Asia.

Beruntung kita punya atlet seperti Lalu Muhammad Zohri, yang bisa menorehkan rekor nasional baru di nomor 100 meter putra. Atau punya Eko Yuli Irawan, 30 tahun, yang meski dari sisi usia mestinya harus digantikan ternyata masih bisa berprestasi di tingkat Asia.

Untuk beranjak dari status tidak "ke mana-mana" ini, kita bisa mengidentifikasi persoalan keolahragaan terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Sebetulnya, kita pernah punya peta jalan pembinaan olahraga prestasi, yang dulu digawangi Satlak Prima. Apakah sistem ini masih akan dipakai atau kita mau mengenalkan sistem pembinaan olahraga yang lain.

Terlalu lama kita terlena dengan bakat atau fanatisme penonton untuk meraih prestasi. Sudah waktunya kita merencanakan prestasi olahraga yang hasilnya bisa diprediksi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO