Padahal, para pemimpin Arab Saudi selama ini menghindari penunjukan anggota kerajaan sebagai menteri energi guna mencegah "penumpukan kekuasaan" oleh keluarga mereka. Namun, tradisi tak berlaku lagi setelah akhir pekan lalu Raja Salman mencopot Khalid al-Falih dari posisi menteri energi, menggantinya dengan Pangeran Abdulaziz bin Salman.
Di Saudi, menteri energi yang mengurusi perminyakan dinilai sebagai pos paling strategis kedua setelah menteri pertahanan. Hal ini bisa terjadi karena ekonomi Saudi sangat bergantung pada komoditas tersebut. Seperti ditulis harian ini, Selasa (10/9/2019), sekitar 67 persen ekspor Saudi berasal dari sektor energi. Adapun ekspor minyak oleh Saudi merupakan yang terbesar di dunia, yakni 10 juta-12 juta barel per hari.
Beberapa analisis muncul terkait pergantian ini. Pertama, secara politik, penempatan Abdulaziz sebagai menteri energi bertujuan memperkuat kekuasaan keluarga Salman. Saudara Abdulaziz, Pangeran Mohammed bin Salman, merupakan Putra Mahkota dan selama ini de facto telah menjadi penguasa Saudi. Pangeran Mohammed menjabat pula sebagai menteri pertahanan, sementara adik kandungnya, Khalid bin Salman, menjadi wakil menteri pertahanan.
Analisis kedua, pencopotan Khalid al-Falih merupakan bagian dari upaya Pangeran Mohammed untuk memastikan rencana mengakhiri ketergantungan Saudi pada minyak bumi berjalan baik. Beberapa laporan menyebutkan, Khalid al-Falih tampak kurang mendukung rencana itu karena cenderung menunda penawaran saham perdana (IPO) Aramco, perusahaan minyak raksasa Saudi. Padahal, Pangeran Mohammed ingin segera mendapat dana segar IPO Aramco guna membiayai investasi di berbagai bidang yang mendukung diversifikasi sumber pendapatan negara.
Sejumlah langkah telah dilakukan Pangeran Mohammed untuk membuat ekonomi Saudi lebih dinamis dan ketergantungannya pada minyak berkurang. Langkah itu antara lain mendorong perempuan untuk bekerja dan memajukan industri hiburan maupun pariwisata.
Kini, setelah ditunjuk sebagai menteri energi, selain mempersiapkan IPO Aramco, Abdulaziz bertugas memimpin OPEC dan sekutunya, Rusia, dalam menahan produksi minyak guna mendorong harganya meninggalkan kisaran 60-an dollar AS per barel. Saudi selama ini terpukul dengan penurunan harga minyak. Negara itu memerlukan harga minyak 80-85 dollar AS per barel agar anggarannya lebih sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar