Nyi Pohaci jadi korban konspirasi para dewa. Ia tewas diracun karena kecantikannya yang mengalahkan para bidadari, dianggap mengguncang tatanan "kelelakian" Kahyangan. Jasadnya yang berbau harum dilemparkan begitu saja ke bumi, tetapi dari pusaranya kemudian tumbuh pohon padi.
Saya teringat sajak Chairil Anwar yang ditulis pada bulan Oktober 1942 ketika neneknya meninggal dunia. Pada sajak berjudul "Nisan" itu, Chairil menulis: //Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertakhta//. Chairil benar, bukan kematian benar yang jadi pertimbangan, tetapi kerelaan menerimanya mencerminkan kemuliaan atas kuasa Semesta.
Dalam mitologi Sunda, yang sampai kini dipedomani masyarakat "tradisional", Nyi Pohaci ibarat sumbu dari kosmologi, yang menurunkan kebudayaan agraris. Selain memberi padi, dari kepala Nyi Pohaci tumbuh pohon kelapa; dari hidung, bibir, dan telinganya muncul tanaman rempah-rempah dan sayuran; dari rambutnya menjulur rerumputan dan bebungaan yang wangi; dari payudaranya meluncur buah-buahan yang ranum dan manis; dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu; dari yoninya tumbuh pohon aren; dari pahanya menjulang berjenis-jenis pohon bambu; dan dari kakinya seperti merekah umbi-umbian.
Bukankah seluruh tanaman ini yang menopang hidup kita sampai pada era kontemporer sekarang ini? Masyarakat tradisional menyarikan jalan panjang laku empiris sebagai "pengetahuan" yang berguna bagi hidup manusia. Kebudayaan agraris disusun secara evolutif dari berbagai tumpukan pengalaman manusia dalam memecahkan persoalan hidupnya. Susunan pengetahuan yang berlapis-lapis itu kemudian dirangkai dalam mitos-mitos yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Mitologi Nyi Pohaci tak cuma disimpan dalam ingatan masyarakat "tradisional" Sunda, tetapi ia tersebar juga pada masyarakat Jawa, Bali, Melayu, Bugis, dan masyarakat Flores dalam berbagai versi. Intinya, pemuliaan terhadap kehadiran Dewi Sri (Dewi Padi) sebagai pemberi kesejahteraan dengan mengorbankan dirinya.
Pemuliaan itu kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai ritus upacara, sejak penyemaian benih sampai pascapanen padi. Dalam kepercayaan masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali, Dewi Sri bahkan "diwujudkan" dengan rangkaian padi dan distanakan (dipuja) di rumah sebagai Btari Nini (Dewi Kesuburan). Sebagian masyarakat meletakkannya di dalam lumbung padi sebagai penjaga ketersediaan pangan rumah tangga.
Ketika dasar-dasar Revolusi Hijau diletakkan oleh Norman Ernest Borlaug, seorang ilmuwan pertanian dan ahli patologi tanaman dari Amerika, dimulailah era di mana mitologi menjadi masa lalu yang "menyengsarakan". Mitologi bahkan dianggap akan menjerumuskan masyarakat dunia ke jurang kemiskinan dan kelaparan. Tanda-tanda itu sudah dimulai dengan kasus kekurangan pangan di negara-negara Amerika Latin dan Afrika.
Maka, Revolusi Hijau dimulai dengan kesadaran menggenjot produksi gandum dan beras untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, yang kian hari kian bertambah jumlahnya. Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, keduanya lembaga donor dari Amerika di mana Norman menjadi ahlinya, memulai proyek Revolusi Hijau tahun 1950 di Meksiko dan Filipina tahun 1960.
Sistem bercocok tanam "organik" yang dianut masyarakat petani keturunan Nyi Pohaci harus direvolusi dengan menerapkan: 1) Penyediaan sistem irigasi, 2) pemakaian pupuk kimia, 3) penggunaan pestisida, dan 4) penggunaan bibit unggul. Penerapan empat tindakan Revolusi Hijau ini kemudian memang berhasil meningkatkan produksi gandum di Meksiko, bahkan lima tahun berikutnya negara ini menjadi pengekspor gandum ke negara lainnya.
Di Indonesia, Revolusi Hijau diterjemahkan rezim Orde Baru dengan sebutan Bimas (Bimbingan Masyarakat), yang salah satunya menerapkan apa yang disebut dengan Lima Panca Usaha Tani (bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama).
Celakanya, revolusi yang diterapkan dengan jalan "kekerasan" di berbagai daerah itu hanya berhasil membuat Indonesia berswasembada beras selama lima tahun (1984-1989). Selebihnya kita mendapatkan kenyataan, kehidupan petani yang melarat terlilit utang pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. Tanah-tanah kehilangan kesuburan karena dipaksa berproduksi tiga kali dalam setahun.
Banyak petani terdampak residu penggunaan pestisida berlebihan. Paman saya, I Wayan Weca, dipastikan meninggal karena keracunan pestisida akibat penggunaan racun ini secara membabi buta. Selain itu, penggunaan bibit unggul dari luar negeri telah mengakibatkan punahnya ratusan bibit padi lokal yang selama ini menjadi kekayaan Nusantara.
Tentu saja yang paling mencemaskan, sistem nilai yang disarikan dari mitologi tentang Nyi Pohaci kian terdesak ke sudut-sudut peradaban. Ibu saya di kampung sudah lama tidak lagi melaksanakan ritus penghormatan kepada Sanghyang Sri di sawah.
Dulu, sejak menyemai bibit, menanam padi, menunggu padi "hamil", sampai akhirnya panen tiba, penuh dengan ritual yang berintikan mengucap puji syukur kepada kemurahan alam semesta atas kehidupan yang dilimpahkan kepada umat manusia. Nilai-nilai inilah yang gagal ditransformasi ketika proyek Revolusi Hijau lebih mengutamakan peningkatan produksi.
Keteledoran utama Orde Baru terlambat menyadari bahwa sistem penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, dan pestisida telah merebut kebebasan petani dalam menentukan pilihan bercocok tanam. Kebebasan itu direnggut oleh sistem korporasi yang lebih banyak menguntungkan para produsen, termasuk Amerika yang memproduksi benih di Los Banos, Filipina.
Pengembangan bibit-bibit padi berseri IR (International Rice)—Orde Baru mengadopsinya menjadi IR 64 dan IR 36—itulah yang sampai kini menguasai dunia bercocok tanam padi kita. Sebagai sebuah kultur menanam, dia menjadi hegemonik dan terus-menerus "membahahayakan" dunia pertanian kita, entah kini atau nanti.
Sementara itu, kita tak tahu pasti di mana kini Nyi Pohaci, yang lemah lembut, cantik jelita, pemurah, dan menebar kasih sayang, akan bersemayam. Di hati Anda atau di hulu petak-petak sawah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar