Indonesia kembali diguncang oleh aksi bom bunuh diri yang dilakukan di kantor Mapolrestabes Medan pada Selasa, 12 November 2019.
Kejadian bom bunuh diri kali ini merupakan aksi yang cukup berani karena dilakukan justru di tempat yang seharusnya aman karena banyak aparat keamanan (polisi) yang sedang berjaga, yang seharusnya bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat sipil yang berada di kantor tersebut.
Pemilihan target pengeboman di kantor-kantor polisi sebenarnya bukanlah barang baru. Perubahan target serangan dari far enemy (musuh jauh, yaitu orang-orang asing atau hal-hal yang mencerminkan kelompok atau masyarakat atau simbol-simbol kapitalisme) menjadi near enemy(tentara/polisi atau pemerintah) sudah terjadi sejak 2009.
Perubahan target sasaran ini mulai terasa ketika penangkapan terhadap kelompok pelaku kekerasan ekstrem oleh Densus 88 dirasakan mencederai kemanusiaan dan keberadaan kelompok kekerasan tersebut.
Perubahan target ini tidak hanya berlaku bagi kelompok pelaku kekerasan ekstrem yang muncul pada masa awal pasca-Reformasi, yaitu Jamaah Islamiyah dan kelompok sempalannya, tetapi juga oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK) dan kelompok sempalannya, yang kesemuanya berafiliasi ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).
Perubahan target sasaran ini mulai terasa ketika penangkapan terhadap kelompok pelaku kekerasan ekstrem oleh Densus 88 dirasakan mencederai kemanusiaan dan keberadaan kelompok kekerasan tersebut.
Sekalipun kedua kelompok ini selalu berseberangan dalam hal ideologi, mereka memiliki "musuh bersama" (common enemy) yang sama, yaitu polisi. Walhasil, serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh banyak anggota kelompok radikal seperti yang dilakukan oleh kelompok JAD atau JAK ditargetkan kepada polisi.
Kasus serangan bom bunuh diri yang dilakukan di Markas Polrestabes Surabaya dan bom Kampung Melayu tahun lalu, misalnya, ditargetkan kepada kantor polisi dan anggota polisi yang sedang bertugas saat itu.
Ojol dan strategi kelompok teroris
Tidak berbeda dengan kasus serangan di Polsek Cirebon, juga mempunyai target yang sama. Dan kini, kasus bom bunuh diri di Medan juga lagi-lagi menyasar kantor polisi. Ini memberikan sinyal bahwa polisi harus lebih berhati-hati dan lebih teliti dalam memeriksa siapa pun yang masuk ke dalam kantor mereka, karena kantor polisi adalah target dari serangan kelompok kekerasan ekstrem.
Penggunaan metal detektor mungkin bisa diterapkan mengingat pemeriksaan manual terhadap pelaku bom Medan membuktikan bahwa pemeriksaan seperti ini tidaklah cukup dan oleh karena itu peralatan canggih yang bisa mendeteksi bahan peledak sangat diperlukan.
Driver Legend Indonesia, yaitu kelompok pegiat profesi ojek online(ojol) Indonesia, yang merupakan gabungan dari Gojek dan Grab, langsung menyikapi aksi bom bunuh diri di Medan ini dengan mengeluarkan pernyataan sikap dan mengutuk aksi ini kekerasan ini, pada 14 November 2019. Pernyataan sikap ini untuk mengklarifikasi dan menegaskan bahwa tidak ada dan tidak akan pernah ada korelasi antara pengemudi ojol Indonesia dan segala bentuk aksi terorisme.
Para pengemudi ojol ini menyatakan bahwa mereka masyarakat yang mencintai Tanah Air. Mereka juga menolak keras berbagai bentuk kekerasan, radikalisme, terorisme, dan vandalisme yang mengganggu keamanan serta stabilitas nasional, terlebih lagi yang membawa-bawa pengemudi ojol sebagai subyek yang tidak sebagaimana mestinya.
Aksi ini dikhawatirkan berdampak pada munculnya ketakutan pelanggan pada sopir ojol karena aksi bom Medan mencitrakan bahwa sopir ojol adalah teroris dan berafiliasi ke kelompok teroris.
Penggunaan atribut ojek untuk menutupi rencana aksi kelompok ekstrem merupakan metode baru. Kelompok kekerasan ekstrem menggunakan berbagai metode dalam menjalankan aksinya, baik dalam hal pelaku kekerasan, metode aksi ataupun atribut yang digunakan saat aksi tersebut. Sebut saja kasus Bom Thamrin, aksi yang dilakukan secara terbuka oleh pelaku kekerasan ekstrem ini tidak menggunakan simbol-simbol identitas agama.
Pelaku malah menggunakan pakaian kasual, yaitu celana jeans, kaus dan topi. Masyarakat terhenyak dengan "penampilan teroris" itu.
Sunakin alias Afif, salah seorang pelaku bom Thamrin yang tewas, dalam aksinya sendiri tersebut justru mematahkan persepsi masyarakat bahwa teroris identik dengan simbol-simbol identitas agama tertentu. Begitu pun kasus bom Medan, yang menggunakan atribut ojek, membuat masyarakat terenyak.
Bukan saja atribut yang digunakan adalah atribut ojek, moda transportasi yang menjadi favorit masyarakat saat ini, tetapi juga menunjukkan bahwa pelaku kekerasan ekstrem atau teroris tidak melulu bercirikan simbol-simbol identitas agama tertentu.
Saya jadi ingat kalimat yang diucapkan seorang mantan narapidana teroris: "Kalau mereka masih menggunakan pakaian yang menunjukkan identitas agama, kalian enggak perlu takut. Justru yang harus dikhawatirkan adalah ketika mereka sudah berganti pakaian, menggunakan pakaian biasa layaknya masyarakat umum, itu tandanya mereka akan beraksi".
Penggunaan atribut ojek dalam kasus bom bunuh diri Medan adalah salah satu strategi yang digunakan oleh kelompok teroris untuk mengelabui pihak aparat. Ojek yang menjadi moda transportasi favorit masyarakat, khususnya masyarakat urban, tidak akan membuat aparat curiga, sama dengan ketidakcurigaan aparat ketika bom bunuh diri dibawa oleh perempuan atau anak-anak (remaja).
Penggunaan atribut ini adalah bagian dari strategi menutupi identitas pelaku dan strategi mengacaukan perhatian aparat. Dan terbukti, sekalipun aparat sesungguhnya mencurigai pelaku yang menggunakan atribut ojek tersebut, tetapi pelaku masih bisa masuk dan melakukan rencana aksinya.
Hampir semua aksi kekerasan bom bunuh diri yang dilakukan oleh para lelaki baik dewasa maupun remaja sulit diidentifikasi karena mereka menggunakan pakaian yang tidak berbeda dari masyarakat lain sehingga tidak mudah untuk dikenal.
Jaringan perempuan dalam aksi kekerasan ekstrem
Hal yang menarik dari aksi bom bunuh diri Medan ini adalah keterlibatan istri pelaku dan rencana aksi yang akan dilakukan oleh sang istri. Tidak tanggung-tanggung, Bali menjadi sasaran target aksi kekerasan yang akan dilakukannya.
Melihat keberanian sang istri, muncul banyak hal yang pantas untuk dipertanyakan. Pertama, apakah si istri akan melakukan aksinya ini sendirian (lone wolf)? Kedua, siapa yang memotivasi sang istri untuk berani melakukan aksi ini?
Ketiga, bila aksi ini menggunakan bom bunuh diri, apakah sang istri memiliki kemampuan dalam merakit bom, siapa yang mengajarinya, dari mana bahan-bahan untuk pembuatan bom ini dia dapatkan dan siapa yang mendanai pembuatan bom ini?
Keempat, apakah sang istri berencana untuk melakukan aksi teror di Bali karena murni keinginannya sendiri atau sang istri adalah korban cuci otak pihak lain, dalam hal ini guru atau teman online-nya?
Dari berita yang diterbitkan oleh sebuah portal berita pada 14 November 2019, dituliskan bahwa sang istri terpapar lebih dulu dari suaminya sebagai pelaku bom Medan. Hal ini berarti sang istri sudah mengalami proses radikalisasi, baik lewat media sosial ataupun komunikasi personal dengan seseorang dari kelompok jaringan radikal.
Berita itu menuliskan bahwa sang istri menjalin komunikasi dengan salah satu narapidana teroris (napiter) perempuan yang saat ini masih berada di Lapas Kelas 2 Wanita di Medan. Sang istri sering mengunjungi sang napiter wanita ini di lapasnya dan kemungkinan rencana aksi itu digagas bersama si napiter wanita itu dari balik jeruji besi saat beberapa kali dia melakukan kunjungan.
Ada pelajaran penting yang bisa ditarik dari fenomena ini. Bagaimana seseorang yang berada di balik jeruji besi bisa berkoordinasi untuk melakukan aksi kekerasan ekstrem.
Apakah sang napiter wanita ini yang memberikan kanal-kanal kepada si istri untuk berjaringan dengan kelompok radikal yang dikenal oleh sang napiter perempuan? Apakah sang napiter perempuan ini yang membantu rencana aksi si istri. Bila sang napiter wanita menjadi "mentor" bagi si istri, kita tidak lagi bisa memandang para pelaku kekerasan ekstrem perempuan ini dengan sebelah mata.
Ada pelajaran penting yang bisa ditarik dari fenomena ini. Bagaimana seseorang yang berada di balik jeruji besi bisa berkoordinasi untuk melakukan aksi kekerasan ekstrem.
Fenomena ini menunjukan bahwa perempuan pun mampu melakukan peran yang juga militan dan sebagai perancang aksi kekerasan. Selama ini, peran perempuan hanya sebatas sebagai pelaku, belum sebagai penggagas atau perencana aksi kekerasan itu sendiri.
Jika sang napiter perempuan yang masih menjalani hukumannya di lapas menjadi "otak" untuk rencana aksi teror di Bali, peran perempuan kini sudah sejajar dengan kaum lelaki, mereka tidak hanya berperan sebagai pelaku, tetapi bisa menjadi master mind bagi aksi kekerasan ekstrem.
Meningkatnya peran perempuan ini merupakan fenomena yang menarik untuk dipelajari. Sebab, sekalipun mungkin mereka belum masuk dalam struktur organisasi kelompok kekerasan ekstrem, kemampuan mereka tidak bisa lagi dianggap remeh. Ini jadi tantangan baru bagi semua pihak, baik bagi pemerintah maupun masyarakat sipil yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan ekstrem (terorisme).
Fenomena ini juga memberikan pembelajaran berharga bagi upaya deradikalisasi di dalam lapas karena pemerintah dan masyarakat sipil sepertinya harus melakukan perubahan pendekatan dalam program deradikalisasi di lapas.
Pemerintah dan masyarakat sipil harus mencari pola pendekatan lain agar pendekatan deradikalisasi dalam lapas tidak hanya memutus (dis-engage)pelaku teror dari kekerasan ekstrem, tetapi juga mengubah pola pikir mereka untuk berhenti melakukan aksi kekerasan itu apapun alasan pembenarannya.
Fenomena ini juga memberikan pembelajaran berharga bagi upaya deradikalisasi di dalam lapas karena pemerintah dan masyarakat sipil sepertinya harus melakukan perubahan pendekatan dalam program deradikalisasi di lapas.
Ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan juga masyarakat sipil yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan ekstrem karena aksi terorisme adalah extra judicial crime, karena itu negara dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menghentikan aksi ini. Jika aksi-aksi kekerasan ini tidak ditangani segera, akan banyak lagi masyarakat dan aparat yang menjadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar