Pernyataan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Senin silam ibarat kata "membunuh" proses perdamaian Timur Tengah, atau sekurang-kurangnya semakin menjauhkan terciptanya perdamaian di sana. Ini berarti, juga semakin menjauhkan perdamaian dunia.
Pompeo mengatakan, AS tidak lagi menganggap pembangunan permukiman sipil Israel di tanah Palestina (Tepi Barat) sebagai melanggar hukum internasional. Dengan kata lain, AS mendukung kebijakan Israel membangun permukiman sipil di wilayah Palestina.
Tentu saja, ini merupakan perubahan kebijakan AS terhadap masalah permukiman; sekaligus menegaskan dukungan AS terhadap Israel memperluas wilayahnya, yang konsekuensinya adalah menghancurkan, atau bahkan membunuh, proses perdamaian serta solusi dua negara.
Oleh karena itu, sangat wajar dan sangat bisa diterima kalau Vatikan, misalnya, berpendapat bahwa kebijakan AS itu mengancam dan semakin merusak proses perdamaian Israel-Palestina. Selain itu juga merusak stabilitas kawasan yang memang sudah rapuh. Indonesia pun kiranya juga memiliki sikap yang sama dengan Vatikan: menghormati dan mengakui hak milik rakyat Palestina dan mendorong untuk diimplementasikan.
Sekarang ini, di Tepi Barat, sudah ada sekitar 130 permukiman dukungan pemerintah dan 100 permukiman tidak resmi. Di wilayah tersebut tinggal sekitar 400.000 warga Israel di Tepi Barat, di antara sekitar 2,9 juta warga Palestina (Bloomberg, 11 April 2019).
Permukiman itu dibangun sejak berakhir Perang Enam Hari 1967. Sementara Kesepakatan Perdamaian Oslo 1993 secara tegas menyatakan didirikannya negara Palestina di Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Tetapi, Kesepakatan Oslo tidak melarang pembangunan permukiman dan oleh karena itu, Pemerintah Israel terus berusaha membangun.
Kebijakan AS
Kebijakan semua Pemerintah Israel sejak tahun 1967 terkait dengan pembangunan permukiman di wilayah pendudukan—yang diduduki sejak akhir Perang 1967, yakni Tepi Barat, Gaza, dan Golan—oleh sebagian besar pemerintah dunia dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Hal itu ditegaskan dalam Konvensi Geneva Keempat yang berkait dengan Perlindungan Orang Sipil di Saat Perang, 12 Agustus 1949. Pada tahun 2004, Pengadilan Internasional menegaskan hal itu.
Pemerintah AS mendukung apa yang dinyatakan dalam Konvensi Geneva itu. Presiden AS Lyndon B Johnson, sebelum mengakhiri masa jabatannya, 10 September 1968, menyatakan, "Pemerintah Arab harus meyakinkan Israel dan komunitas dunia bahwa mereka telah meninggalkan ide untuk menghancurkan Israel. Tetapi sebaliknya, Israel harus meyakinkan tetangga Arabnya dan komunitas dunia bahwa Israel tidak memiliki desain ekspansionis di wilayah mereka."
Di zaman pemerintahan Richard Nixon, Deputi Penasihat Hukum Kementerian Luar Negeri George H Aldrich (April 1973) menyatakan "Israel, sebagai occupant (pendatang yang menduduki) wilayah yang direbut selama Perang 1967, terikat oleh Konvensi Geneva Keempat, yang untuk melindungi warga sipil, tetapi Israel menolak untuk menerapkan konvensi tersebut."
Sebelumnya, September 1971, Wakil Tetap AS di PBB George Bush, dalam perdebatan di Dewan Keamanan mengenai Resolusi 298, mengatakan, "Kami menyesalkan kegagalan Israel melaksanakan kewajibannya menurut Konvensi Geneva Keempat, juga tindakannya yang bertentangan dengan konvensi dan semangat konvensi ini" (Francis Anthony Boyle,Palestine, Palestinians and International Law, 2013).
Sikap yang sama dilanjutkan oleh pemerintah Presiden Gerald Ford. Dan, Presiden Jimmy Carter pun dalam tanya jawab dengan para wakil Asosiasi Pers Yahudi Amerika, 13 Juni 1980, mengatakan, "Kami menganggap permukiman ini bertentangan dengan Konvensi Geneva, bahwa wilayah yang diduduki tidak boleh diubah oleh pembangunan permukiman permanen oleh kekuatan pendudukan" (Boudreault, Jody, Naughton, Emma, Salaam, Yasser, eds. U.S. Official Statements: Israeli Settlements, the Fourth Geneva Convention, 1993).
Dua bulan sebelumnya, 12 April 1980, Carter sangat jelas dan tegas mengatakan, "…Posisi kami mengenai permukiman sangat jelas. Kami tidak berpikir mereka legal, dan mereka jelas merupakan penghalang bagi perdamaian. Pemerintah Israel, bagaimanapun, merasa bahwa mereka memiliki hak untuk permukiman tersebut…."
Namun, pada 22 Februari 1981, sikap AS berubah. Ketika itu, Presiden Ronald Reagan menyatakan, kebijakan permukiman Yahudi itu "tidak ilegal". Reagan mengatakan, "… Dan, saya tidak pernah menyebut mereka ilegal, seperti beberapa orang. Tetapi saya mengatakan bahwa saya pikir mereka tidak membantu karena jelas proses perdamaian … harus melibatkan perubahan teritorial dengan imbalan perbatasan yang aman dan damai" (Ronald Reagan, Public Papers of the Presidents of the United States: Ronald Reagan, 1984).
Sikap Presiden George HW Bush sama seperti ketika ia menjadi Wakil Tetap AS di PBB. Dalam pernyataannya tentang permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, yang disampaikan di Palm Spring, California, 3 Maret 1990, Bush mengatakan, "Posisi saya adalah bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat menyatakan, kami tidak percaya harus ada permukiman baru di Tepi Barat atau di Jerusalem Timur. Dan itulah pandangan kami yang sangat kuat" (Yehuda Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict: A Documentary Record, 1992).
Dalam Surat Jaminan AS kepada Palestina berkait hasil Konferensi Perdamaian Madrid, 24 Oktober 1991, pemerintah Bush menyatakan, "Amerika Serikat percaya bahwa tidak ada pihak yang harus mengambil tindakan sepihak yang berupaya menentukan masalah, yang hanya dapat dicapai melalui negosiasi. Dalam hal ini Amerika Serikat telah menentang, dan akan terus menentang, aktivitas permukiman di wilayah-wilayah yang diduduki pada tahun 1967 yang tetap menjadi hambatan bagi perdamaian" (Robert Satloff, Approaching Peace American Interests in Israeli Palestinian Final Status Talks, 1994).
Kebijakan pemerintahan Bill Clinton pun tetap menentang pembangunan permukiman Yahudi. Menlu Warren Christopher dalam salah satu petikan suratnya kepada PM Benjamin Netanyahu (14 Desember 1996) menyatakan, "Kami menulis kepada Anda karena kami prihatin bahwa tindakan sepihak, seperti perluasan permukiman, akan sangat kontraproduktif terhadap tujuan solusi yang dinegosiasikan, dan, jika dilakukan, dapat menghentikan kemajuan yang dibuat oleh proses perdamaian selama dua dekade terakhir. Hasil tragis seperti itu akan mengancam keamanan Israel, Palestina, negara-negara Arab yang bersahabat, dan merusak kepentingan AS di Timur Tengah" (The New York Times, 16 Desember 1996).
Clinton pun, dalam pidato perpisahan kepada Timur Tengah, 7 Januari 2001, menegaskan sikapnya, "Rakyat Israel juga harus mengerti itu … pembangunan permukiman dan jalan pintas di jantung wilayah yang sudah mereka ketahui suatu hari nanti akan menjadi bagian dari negara Palestina adalah tidak konsisten dengan komitmen Oslo bahwa kedua belah pihak menegosiasikan kompromi" (President Bill Clinton, Transcript of Clinton's remarks to the Israel Policy Forum gala, CNN, 8 Januari 2001).
Pengganti Bill Clinton, yakni George W Bush, pun memiliki sikap dan kebijakan yang sama dengan para pendahulunya, termasuk dengan ayahnya, George HW Bush, tentang permukiman Yahudi di wilayah penduduk (Steven Erlanger, Bush presses Israel on illegal outposts, NY Times, 4 Januari 2008).
Barack Obama semakin menegaskan sikap AS terkait pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Dalam konferensi pers bersama PM Israel Benjamin Netanyahu pada 18 Mei 2009, Obama mengatakan, "(Pembangunan) Permukiman harus dihentikan agar kita bisa maju. Pembangunan permukiman adalah isu yang sulit. Saya tahu itu, tetapi ini adalah sesuatu yang penting dan harus ditangani" (Michele Kelemen, Obama, Netanyahu Focus On Middle East, Iran, NPR, 18 Mei 2009).
Tidak sampai sebulan kemudian, 4 Juni 2009, Obama di Kairo, Mesir, mengatakan, "Amerika Serikat tidak menerima legitimasi (pembangunan) permukiman Israel yang berkelanjutan. Pembangunan permukiman ini melanggar perjanjian sebelumnya dan merusak upaya untuk mencapai perdamaian. Sudah saatnya (pembangunan) permukiman ini berhenti" (Jesse Lee, The President's Speech in Cairo: New Beginnings, The White House, President Barack Obama, 4 Juni 2009). Kebijakan Obama itu diulang lagi oleh para pejabat AS: Menlu Hillary Clinton, Menlu John Kerry, dan para pejabat lainnya.
Semakin jauh
Sampai di sini sangat jelas bahwa Pemerintah AS—baik dari Partai Republik maupun Demokrat—sejak tahun 1967, kecuali di zaman Ronald Reagan, semua menentang pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Karena itu, kalau sekarang Donald Trump mengambil kebijakan yang berbeda, ini merupakan keputusan yang membalikkan dekade kebijakan AS.
Kebijakan Trump, selama ini memang, tidak berimbang. Artinya, sangat menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Trump, pada 2018, telah memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Ia juga memaksa misi diplomatik Palestina di Washington ditutup serta memangkas dana ke badan PBB untuk bantuan Palestina.
Sebelumnya, pemerintah Trump pada 25 Maret 2019 juga mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan (yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Enam Hari, 1967). Dengan keputusan tersebut, berarti Trump mendukung keputusan Knesset (Parlemen Israel) yang pada 14 Desember 1981 meratifikasi UU Dataran Tinggi Golan, yang secara sepihak mengesahkan bahwa Golan sebagai wilayah Israel, tetapi tidak diakui PBB dan masyarakat internasional.
Kebijakan-kebijakan Trump itu menegaskan langkah terbaru dalam kebijakan pro-Israel yang secara efektif dapat menghancurkan harapan solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Bagaimana mungkin solusi dua negara akan tercapai kalau Israel—didukung AS—melakukan langkah-langkah sepihak berkait dengan perluasan wilayah dengan mengambil wilayah Palestina? Bukankah masalah perbatasan adalah salah satu dari sekurang-kurangnya lima persoalan—keamanan, pengungsi, air, dan Jerusalem—yang menjadi penghambat tercapainya kesepakatan damai antara Israel dan Palestina?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar