Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 November 2019

CATATAN TIMUR TENGAH: Tersia-siakannya Satu Dekade Generasi Muda Arab (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas

Berita media internasional tentang isu Timur Tengah sampai saat ini masih didominasi oleh aksi unjuk rasa di Irak dan Lebanon melawan pemerintah berkinerja buruk di dua negara tersebut.

Para pengunjuk rasa di dua negara Arab itu didominasi generasi muda dengan rentang usia 18 tahun hingga 30 tahun. Mereka kehilangan harapan masa depan di tengah terus memburuknya kondisi ekonomi Irak dan Lebanon saat ini yang menutup pintu lapangan kerja bagi mereka.

Pengamat politik asal Mesir, Abdel Moneim Said, dalam artikelnya di harian Asharq Al Awsat edisi 1 Mei 2019 menyebut, telah tersia-siakannya generasi muda Arab selama satu dekade.

Satu dekade terakhir ini (2010-2019), adalah dekade yang sangat tidak menggembirakan bagi bangsa Arab, terutama generasi mudanya. Berbicara generasi muda, tentu adalah generasi milenial yang berusia 23 tahun hingga 38 tahun atau lahir antara 1981 dan 1996. Padahal generasi muda adalah pilar bagi masa depan sebuah negara.

AP PHOTO/HUSSEIN MALLA

Para pelajar Lebanon melakukan demonstrasi menentang pemerintahan di Beirut, Jumat (8/11/2019).

Generasi milenial Arab selama hampir 10 tahun terakhir ini menyaksikan langsung dan bahkan pelaku langsung guncangan-guncangan di dunia Arab, seperti musim semi Arab tahun 2010-2011 yang memicu perang saudara di beberapa negara Arab, seperti Suriah, Libya, dan Yaman.

Perang saudara tersebut telah membawa korban tewas ratusan ribu rakyat, kehancuran kota-kota di Suriah, Libya, dan Yaman, serta terjadi eksodus jutaan pengungsi warga Suriah ke negara-negara tetangga.

Perang saudara di Libya dan Suriah berkecamuk hampir 10 tahun, dari tahun 2011 sampai saat ini. Maka hampir satu dekade, telah tersia-sia usia emas generasi muda Libya dan Suriah yang seharusnya usia produktif untuk bangsa dan negaranya. Ironisnya, belum ada titik terang kapan perang saudara di kedua negara itu akan berakhir. Tentu akan semakin banyak generasi muda Suriah dan Libya yang akan menjadi korban perang dan semakin menatap masa depan yang gelap.

Perang saudara di Yaman juga terus berkecamuk dari tahun 2015 sampai sekarang. Maka, nasib dan masa depan generasi muda Yaman tentu tidak lebih baik dari generasi muda Suriah dan Libya. Perang Yaman pun tidak ada titik terang pula akan bisa berakhir dalam waktu dekat. Pada gilirannya, generasi muda Yaman juga ikut menyongsong masa depan yang tidak menentu.

AP PHOTO/HADI MIZBAN

Pemrotes bergegas menyelamatkan rekannya yang terluka dalam unjuk rasa di Baghdad, Irak, Sabtu (5/10/2019). Gelombang unjuk rasa sejak pekan lalu telah membawa negara itu ke dalam ancaman instabilitas. Lebih dari 100 orang meninggal dalam unjuk rasa.

Gerakan Musim Semi Arab pun secara mengejutkan terus berlanjut hingga tahun 2019 yang melanda Aljazair, Sudan, Irak, dan Lebanon. Ironisnya motif musim semi Arab tahun 2010-2011 dan 2019 adalah sama, yaitu menolak kultur diktator dan korupsi, serta gagalnya pembangunan ekonomi di dunia Arab sehingga terjadi rendahnya pertumbuhan yang menyebabkan membengkaknya angka pengangguran di kalangan generasi muda akibat gagalnya pemerintah menciptakan lapangan kerja.

Akibat sangat buruknya lingkungan politik dan ekonomi di duni Arab, maka tidak ada pilihan lain bagi generasi milenial Arab, kecuali melakukan perlawanan dengan menggelar aksi unjuk rasa melawan pemerintahan buruk. Para pengunjuk rasa di Irak dan Lebanon saat ini, serta sebelumnya di Aljazair, Sudan, Mesir, Tunisia, Libya, Yaman, dan Suriah rata-rata dari generasi milenial dengan rentang usia dari 18 tahun hingga 29 tahun.

Menurut pakar ekonomi asal Mesir, Mahmoud Mohieldin yang kini menjadi salah satu direktur Bank Dunia di Washington DC, AS, akibat konflik dan perang di Timur Tengah dan Afrika Utara, maka jumlah kaum miskin di dunia Arab terus bertambah secara signifikan.

Jumlah orang miskin di Timur Tengah dan Afrika Utara mencapai 9,5 juta jiwa pada 2013, kemudian bertambah menjadi 18,6 juta jiwa pada 2015. Kaum sangat miskin di Timur Tengah dan Afrika Utara dengan pendapatan hanya 2 dollar AS per hari, mencapai sekitar 2,6 % pada 2013, dan kemudian bertambah menjadi 5% pada 2015.

AFP/AAREF WATAD

Seorang anak Suriah yang melarikan diri bersama keluarganya dari perdesaan utara Hama memegang sebuah buku di halaman sekolah darurat Zuhur al-Mustaqbal atau Bunga-bunga Masa Depan di Kamp Al-Jeneinah, Atme, di Provinsi Idlib Utara. Foto diambil pada 1 Oktober 2018.

Menurut Mohieldin, pertumbuhan ekonomi di dunia Arab sangat rendah, yakni kurang dari 2 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang rendah, lanjut Mohieldin, tidak cukup untuk melahirkan peluang kerja yang menuntut terciptanya 10 juta peluang kerja setiap tahunnya.

Mohieldin menandaskan, pertumbuhan ekonomi yang rendah berpotensi memicu kerusuhan sosial bagi negara yang memiliki hutang besar dan selalu defisit anggaran belanjanya. Hal itu terjadi pada Lebanon saat ini yang dilanda aksi unjuk rasa sejak 17 Oktober lalu sebagai protes atas buruknya kondisi sosial dan ekonomi di negara itu.

Seperti diketahui, ekonomi Lebanon mendekati krisis dengan utang nasional mencapai 150 persen dari produk domestik bruto (PDB), dan cadangan devisa anjlok 30 persen yang kini hanya tersisa 10 miliar dollar AS. Hal ini membuat pemerintah Lebanon sulit melansir proyek yang menciptakan lapangan kerja.

Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit melansir, separuh penduduk di dunia Arab saat ini kurang dari usia 24 tahun atau kategori generasi milenial dan generasi Z. Ia menyebut, masa depan generasi itu dalam bahaya jika tidak segera menciptakan program kolektif negara-negara Arab melalui institusi Liga Arab dalam upaya mewujudkan lingkungan kondusif untuk pembangunan ekonomi.

REUTERS/RODI SAID

Anggota kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan keluarga mereka berjalan beriringan saat mereka menyerah di Desa Baghouz, Provinsi Deir Al Zor, Suriah, 12 Maret 2019.

Aboul Gheit menambahkan, generasi muda di dunia Arab telah tersia-siakan selama 10 tahun terakhir ini akibat konflik dan perang di kawasan itu, serta akan semakin panjang daftar generasi muda yang memiliki masa depan gelap, jika tidak segera tercipta lingkungan kondusif untuk menggenjot pembangunan ekonomi.

Menurut Aboul Gheith, ironisnya dunia Arab kini tidak memiliki strategi terpadu dan kolektif sehingga mudah disusupi kekuatan asing, seperti Iran, Turki, dan Israel. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masa depan generasi mudanya.

Para pakar juga sangat mengkhawatirkan, jika generasi muda Arab terus menghadapi masa depan gelap dan akhirnya putus asa, maka bisa jadi mereka berpaling ke dunia radikalisme.

Karena itu banyak pengamat mengatakan, masa depan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pasca-tewasnya pemimpin dan pendiri NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, tidak akan surut selama lingkungan ekonomi dan politik di Timur Tengah menyuburkan benih-benih NIIS, seperti kultur diktator dan terus terpuruknya kondisi ekonomi.

Kompas, 22 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger