Artikel M Nurhasim (LIPI) di rubrik opini (Kompas, 13/11/2019) bagus. Ilustrasinya, berupa karikatur, juga "pas". Nurhasim kritis dan tajam, tetapi kecamannya membangun.
Pendapatnya didasarkan pada data kuantitatif dan pertimbangan rasional. Ia mengontraskan negarawan dengan otokrat (auto = sendiri, kratein = memerintah) yang sombong dan tidak mendengarkan suara rakyat.
Ia juga membedakan antara kabinet kerja dan kabinet kompromi. Koalisi partai-partai pendukung pemerintah, yang di parlemen hanya menyisakan tiga partai di luar pemerintah, disebutnya "koalisis turah" yang , menurut saya, setali tiga uang dengan koalisi eksesif.
Peneliti LIPI itu terkesan menyayangkan tiadanya "cermat periksa dan imbang neraca" (check and balance) serta khawatir, jangan-jangan kita sedang menghadapi resesi demokrasi.
Hebat, tetapi kualat
Di jagat pewayangan ada "narendra gung binatara" (raja agung bagaikan dewa). Itulah Prabu Pandu Dewanata, raja Astinapura yang sakti mandraguna. Sayang, Sri Baginda Prabu Pandu termakan hoaksnya Patih (-dalam), Sengkuni, yang melaporkan bahwa Patih(-luar) Gandamana menyerang delegasi muhibah dari Kerajaan Pringgadani dan gugur dalam peperangan.
Prabu Pandu, yang sebelumnya telah mewanti-wanti Gandamana agar menerima delegasi Pringgadani itu dengan baik-baik selaku duta negara sahabat, marah besar. Gandamana (yang dikiranya sudah almarhum) dipersalahkan dan Sengkuni diangkatnya menjadi satu-satunya mahapatih, baik untuk urusan pemerintahan dalam negeri, maupun untuk urusan luar negeri dan pertahanan negara.
Sebenarnya Gandamana tidak tewas. Dia dijebak sehingga tercemplung ke dalam luweng (lubang perangkap), lalu ditimbun dengan batu-batu besar dan urukan tanah. Namun, kemudian dia ditolong oleh Raden Yamawidura, adinda Prabu Pandu, yang menyuruh putra Prabu Pandu, Bratasena, untuk membongkar tumpukan batu yang menutupi lubang jebakan itu.
Gandamana marah besar. Ia kembali ke Astina. Kemarahannya kian meluap ketika didapatninya Sengkuni sedang berusaha memerkosa istri Gandamana. Sengkuni dihajar hingga babak bundas. Wajahnya yang tampan dan perawakannya yang tegap-kuat menjadi cacat dan jelek.
Melihat semuanya itu, Prabu Pandu Dewanata tetap menyalahkan Gandamana. Sang Raja kukuh berpegang pada prinsip "Sabda Pandita Ratu"; sabda dan titah raja tak boleh diubah dan Gandamana tetap dinyatakan bersalah.
Tindakan Gandamana menghajar Sengkuni juga salah sebab Sengkuni adalah seorang mahapatih dan di Astina yang berwenang menjatuhkan pidana hanya Sri Baginda Prabu Pandu Dewanata. Gandamana diusir, lalu ia kembali ke negeri asalnya, Cempala Radya, yang diperintah kakanda iparnya sendiri, Prabu Drupada.
Sebagai akibat insiden di tapal-batas dalam lakon "Gandamana Luweng" itu terjadilah perang tanding antara Prabu Pandu Dewanata dan raja Pringgadani, Prabu Tremboko. Itulah Lakon "Perang Pamoksa". Prabu Tremboko, yang sudah tak berdaya, kalah dan rebah di tanah, dan diinjak-injak tanpa belas kasihan oleh Prabu Pandu, meskipun sudah tewas ternyata masih memegang keris pusakanya, Kanjeng Kiai Kalanadah.
Terkena kualat karena ulahnya yang awamanusiawi (dehumanizing) itu, injakan kaki Prabu Pandu menancapkan keris Kalanadah di telapak kakinya; ujungnya masuk sampai ke dalam betisnya. Prabu Pandu pingsan dan harus dipapah kembali ke keraton Astina. Raja Astina itu gering (sakit) dan akhirnya mangkat.
Karena keras kepalanya, mau sok sabda brahmana raja danbèr-budi bawalaksana, Prabu Pandu Dewanata, raja yang sakti mandraguna tetapi kelewat angkuh itu, dibanjut dewa, dicabut nyawanya oleh Sang Hyang Yamadipati atas perintah Sang Hyang Jagad Girinata, lalu dilemparkan ke dalam kawah Candradimuka untuk menjalani hukuman siksaannya.
Lakon "Gandamana Luweng" dan "Perang Pamoksa" itu mengandung ajaran agar kita jangan mentang-mentang sangat kuat dan berkuasa luar biasa, lalu bersikap serta bertindak "sepaling" (ekstrem), main copot seperti yang dilakukan Prabu Pandu terhadap Gandamana.
Doa selamat
Kembali ke "Negarawan dan Demokrasi"-nya Nurhasim, kita bisa mengikuti contoh Nurhasim dan berani bersikap kritis, atau memilih mencari aman saja. Di kalangan orang Jawa mencari aman itu dilakukan dengan berdoa; "sluman, slumun, slamet".
Sesuai dengan ujaran Sancho Panza pengikut setia Don Quixote dalam novel Miguel de Cervantes (1547–1616), Don Quixote de La Mancha (1605/1615) sebagai wong cilik (rakyat kecil) lebih baik kita diam saja, tidak usah lantang meneriakkan kritikan. Jadi, "Seluman, selumun, selamat. Mulut yang tertutup rapat tidak kemasukan lalat" (a closed mouth catches no flies). Tetapi, ini bukan sikap cendekiawan-cum-nasionalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar