Pekerjaan rumah hidup di daerah rawan bencana adalah berlatih menghadapi setiap ancaman ben- cana yang bisa muncul, seperti gempa, tsunami, dan likuefaksi.
Pilihan lain ada, yaitu mengosongkan wilayah yang rawan bencana tadi. Pilihan terakhir ternyata bukan yang kita ambil karena kita—dengan sengaja atau tidak—banyak membangun berbagai sarana dan prasarana di wilayah yang rentan bencana, khususnya di daerah pesisir.
Kerisauan atas masalah ini dikatakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada lokakarya "Penguatan Rantai Peringatan Tsunami ke Infrastruktur Vital" di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jakarta, Rabu (20/11/2019). Menurut Menhub, Indonesia memiliki banyak infrastruktur vital di pesisir, terutama pelabuhan dan bandara. Oleh karena tingginya investasi di dua sektor ini, kita perlu memperhitungkan risiko bencananya.
Sempat tebersit pertanyaan, bukankah sewaktu merencanakan pembangunan infrastruktur itu semestinya memperhitungkan potensi bencana pula? Bahwa pembangunan terus dilanjutkan kita percaya tentu sudah ada studi kelayakan yang menjamin keselamatan infrastruktur yang dibangun. Sebagai contoh Bandara Internasional Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo sejak awal diketahui rentan tsunami. Namun, pelaksana proyek telah melakukan mitigasi bencana sehingga membangun bandara yang bisa menahan gempa berskala 8,8 dan tsunami hingga ketinggian 10 meter.
Sering kali faktor komersial muncul dominan. Kita punya visi pembangunan tol laut, maka tak terelakkan banyak infrastruktur laut yang dibangun. Kita banyak juga membangun infrastruktur udara untuk meningkatkan konektivitas Nusantara. Tugas kita selanjutnya mengamankan infrastruktur vital itu dari bencana. Mitigasi atau simulasi untuk mengurangi dampak diperlukan. Namun, yang juga tak kalah penting adalah lembaga, seperti BMKG memperkuat rantai peringatan dini, dari pusat ke infrastruktur kritis.
Peran BMKG besar. Sebagaimana dikemukakan oleh kepala badan ini, Dwikorita Karnawati, sepanjang 59.531 kilometer garis pantai di 249 kota di Indonesia berada di zona rentan tsunami. Selain itu, juga ada 3,7 juta jiwa penduduk yang tinggal di kawasan ini. Meski kerentanan tinggi, pembangunan bisa dilaksanakan di kawasan ini, asal mitigasi digiatkan.
Sejumlah ahli mengingatkan, mungkin peralatan peringatan dini yang ada belum mencukupi, atau taksiran risiko lebih rendah dibandingkan dengan risiko riil. Memang, saat belum ada bencana, taksiran bisa bersifat minimal. Maklum membuat taksiran besar terkait pula dengan biaya. Semua sudah kita bangun. Menjadi kewajiban kita untuk mengamankannya, jika perlu dengan cara yang berlebih, daripada kecolongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar