Harapan Lima Tahun
Ibarat membangun rumah, keutuhannya tergantung dari lengkap dan sempurnanya unsur bangunan. Dimulai dari fondasi yang kuat, tiang, hingga atap, sebagai satu-kesatuan.
Keberhasilan pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo tidak cukup dengan kabinet yang diisi sosok yang mumpuni, tetapi juga lingkungan yang mendukung sasaran program. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif ibaratnya adalah bangunan kokoh dalam mencapai tujuan. Iramanya harus merupakan orkestrasi yang harmonis.
Namun, saya tidak dapat mengerti mengapa tidak ada kebijakan yang cukup keras dalam upaya pemberantasan korupsi. Apakah itu dianggap remeh untuk menciptakan keadilan dan menyejahterakan rakyat?
Judul Tajuk Rencana Kompas, 17/10/2019, cukup mewakili suara hati rakyat banyak: "Korupsi Itu Memuakkan". Tajuk Rencana ini sangat sayang kalau tidak disebarluaskan. Saya cuplik saja beberapa ungkapan.
"Elite bangsa sedang sakit; adanya kelompok konservatif dan oligarki yang hidup dari ekonomi korupsi; keterbelahan elite dengan massa; korupsi ancaman serius bagi republik; dan skandal korupsi berkepanjangan yang membuat rakyat frustrasi".
Di halaman yang sama ada opini dengan judul mengena: "Paradoks Narasi Lingkungan", yang menunjukkan adanya berbagai paradoks dalam kebijakan pemerintah.
Reaksi masyarakat berupa ketidakpuasan serta ketidakpercayaan bukanlah indikator positif bagi keberhasilan program pemerintah. Belum lagi benturan-benturan sosial, bencana alam, gangguan lingkungan, seperti kebakaran hutan akibat ulah manusia, dan melesetnya pemanfaatan infrastruktur tertentu. Semua ini akan menambah beban pemerintah dalam eksekusi program.
Yang tepat adalah, kebijakan dan program pemerintah yang fokus pada 260 juta masa depan rakyat. Lima tahun adalah waktu yang sangat pendek. Maka, ketimbang sibuk membangun ibu kota baru yang indah dalam konsep, tetapi belum tentu membahagiakan sebagian besar rakyat, sebaiknya kabinet mengutamakan pembangunan sumber daya manusia untuk menciptakan bangsa yang jujur, bersih, antikorupsi, sekaligus punya etos dan komitmen untuk membangun masyarakat adil dan makmur.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, ,Setiabudi, Jakarta 12970
Tampil Sederhana
Hari Minggu, 17 November 2019, Kapolri minta semua jajarannya, anggota Polri di seluruh Indonesia, untuk tampil sederhana.
Sebagai warga biasa, saya setuju sekali dengan seruan tersebut. Bahkan, sebenarnya saya melihat selama ini atribut/pakaian Polri tidak berlebihan, bahkan sederhana. Akan tetapi, justru dalam kesederhanaan itu, saya sebagai warga yang selalu mendambakan perlindungan polisi merasa aman dan terlindungi.
Saya bangga sekali dengan atribut Polri, dari petnya sampai pakaian seragam resminya, dan berharap tidak ada kekacauan dalam berpakaian. Mengapa demikian? Karena, pet dan seragam polisi membuat sosok mereka menjadi rapi dan berwibawa.
Meski demikian, kadang saya masih menjumpai penggunaan pakaian yang tidak semestinya. Sering terjadi baju bagian atas dikeluarkan, bisa dilihat di tayangan televisi, menggantung, dan menutupi ikat pinggang anggota. Kalau tidak salah, aturannya adalah baju bagian atas harus dimasukkan. Yang berarti sabuk polisi kelihatan.
Saya berharap ada ketaatan asas dalam berpakaian dan mempergunakan atribut kepolisian. Dengan demikian, mereka akan tampak menonjol, tegak berwibawa, anggun, dan gagah dalam atribut yang ditetapkan.
Gunakanlah atribut di tiap kesempatan, jangan berubah oleh kekuatan sesaat. Percayalah bahwa atribut Anda cakap dan baik serta berwibawa sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selamat bertugas.
Bambang Hidayat, Pasirmuncang, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar