Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC), 2-13 Desember 2019 di Madrid, Spanyol, menjadi titik penting untuk mencegah krisis iklim agar tak menjadi petaka.
Konferensi Perubahan Iklim, bersama Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Menghambat Penggurunan, merupakan tiga amanat KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992.
Tujuan UNFCCC adalah mencegah dampak buruk aktivitas manusia terhadap perubahan iklim, yang dikenal sebagai efek rumah kaca. Seperti diketahui, sejak berlangsungnya Revolusi Industri abad ke-18, manusia mengalami ketergantungan pada energi fosil, terutama batubara dan minyak bumi.
Emisi pembakaran energi fosil meningkatkan konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya. Gas-gas inilah yang disebut gas efek rumah kaca karena seperti rumah kaca yang biasa untuk pertanian, gas-gas ini menghambat sinar matahari keluar dari atmosfer sehingga menaikkan suhu Bumi.
Dalam bukunya, Soil Not Oil, Environment Justice in an Age of Climate Crisis (2008), Vandana Zhiva mengingatkan, lingkungan menyusut saat kapital tumbuh, sementara pertumbuhan pasar tidak dapat mengatasi dampak krisisnya. Jauh sebelum itu, Direktur Environmental Protection Agency Amerika Serikat William Ruckelshaus (Business Week, 18 Juni 1990) mengatakan, alam menyediakan segala kebutuhan secara gratis asal kita bisa mengontrol nafsu kita.
Kenyataannya, konsumsi bahan bakar fosil meningkat pesat untuk listrik, transportasi, dan industri. Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebut AS, Jepang, dan Brasil sebagai penyumbang emisi paling besar. Namun, AS justru mau mundur dari Kesepakatan Paris. Poin utama kesepakatan yang berlaku sejak 2016 dan ditandatangani 195 negara itu adalah menjaga kenaikan suhu antara 1,5-2 derajat celsius.
Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris tahun 2016. Sebagai negara agraris kepulauan, Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Pemanasan global akibat kenaikan suhu bisa membuat permukaan air laut meningkat dan menenggelamkan pelbagai kawasan pesisir, sementara perubahan iklim—dampak buruk berikutnya—merusak jadwal tanam dan pertumbuhan tanaman pangan, yang akhirnya mengacaukan produksi dan ketersediaan pangan.
Indonesia selanjutnya berkomitmen mengatasi kebakaran hutan melalui penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan rehabilitasi lahan.
Sebenarnya Presiden Joko Widodo bersama Presiden Gabon, Presiden Kolombia, PM Norwegia, beserta para menteri pelbagai negara tahun 2015 telah menyepakati hutan sebagai solusi kunci perubahan iklim. Indonesia selanjutnya berkomitmen mengatasi kebakaran hutan melalui penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan rehabilitasi lahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar