Mendidik SDM Berintegritas
Saat diwawancarai Budiman Tanuredjo, Presiden Jokowi sepintas menyinggung bahwa dalam membangun SDM sebaiknya dimulai dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti membentuk sosok yang berintegritas.
Integritas berakar dari bahasa Latin, integer, yang bermakna 'menyeluruh'. Dalam keseharian, integritas mencerminkan perilaku yang jujur, konsisten, serta teguh berpegang kepada prinsip, nilai moral, dan etika.
Beretika artinya dalam bertindak selalu berbasis pada nilai moral, termasuk saat berdiskusi. Menyampaikan argumen juga sopan dan menyejukkan.
Maka, menyimak acara talk show di sebuah stasiun televisi swasta, saya hanya dapat mengelus dada. Terlihat nyata, pendidikan formal dan kedudukan tinggi tidak otomatis menjadikan seseorang berperilaku beretika.
Peristiwanya memang berlangsung sebulan lalu, tetapi hati rasanya masih sesak. Seorang Emil Salim, guru besar, profesional, serta ikut berperan membangun perekonomian dan lingkungan Indonesia, dilecehkan oleh lawan bicaranya: seorang muda yang menyandang atribut "wakil rakyat". Anak muda itu menunjukkan sikap yang jauh dari tata krama ataupun argumentasi bermutu.
Tidak heran jika reaksi di media sosial demikian luas. Hal ini menunjukkan, sebagian besar anggota masyarakat yang melek media sosial masih memiliki nurani.
Prof Emil Salim meninggalkan rekam jejak yang jelas: karya dan integritas. Ia menguasai ilmu ekonomi berkelanjutan, paham lingkungan, politik, dan mengabdi dengan budi yang luhur. Senior yang terhormat ini harus berhadapan dengan keangkuhan seseorang, yang bahkan belum membuktikan apa pun terkait atributnya. Istilah anak zaman now adalah tidak "level".
Di pengujung acara, keangkuhan serta kedangkalan ditunjukkan lagi dengan menolak berjabat tangan dengan Prof Emil Salim. Ia lupa bahwa sebenarnya dirinya semakin merendahkan diri sendiri. Syukurlah penonton yang masih muda-muda menyorakinya, pertanda mereka masih memiliki nurani dan etika yang lebih luhur.
Pembangunan SDM memang seperti kata Yudi Latif, tidak semudah membangun jalan tol. Pemerintah harus bekerja keras mewujudkannya.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Setiabudi, Jakarta Selatan 12970
Kali Sunter
Bersama ini, saya menyampaikan unek-unek saya kepada yang terhormat: Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Timur, Wali Kota Bekasi, Rektor Universitas Krisnadwipayana, Camat Makasar, Camat Pondok Gede, dan Lurah Cipinang Melayu.
Mudah-mudahan saja unek-unek saya dibaca sebelum hujan besar sering turun. Saya hanya bisa menyampaikan ini melalui surat, mengambil sedikit uang pensiun saya untuk prangko.
Beberapa minggu terakhir, sebagai warga Kelurahan Jati Cempaka yang setiap hari olahraga jalan kaki di Kampus Universitas Krisnadwipayana (Unkris), yang di belakangnya mengalir Kali Sunter, melihat hal yang tidak biasa.
Kali Sunter yang dinormalisasi 10 tahun lalu sampai tahun 2017 masih teratur dikeruk, membuat aliran lancar, meskipun selalu saja menimbulkan banjir di Kelurahan Cipinang Melayu.
Kali itu saat ini menyempit di beberapa titik karena di setiap belokan terbentuk delta-delta sangat besar. Kalau ini terjadi dulu, orang bahkan bisa membangun rumah di atas delta itu. Saya hitung, antara batas kiri Kampus Unkris dan batas kanan terdapat tujuh delta besar. Jalan air pun menyempit. Belum lagi yang ke arah Binalindung dan ke arah Radar di pinggiran tol.
Tanpa mengurangi tanggung jawab saya sebagai warga, saya meminta tanggung jawab pihak terkait untuk mengatasi persoalan ini. Jangan sampai terlambat, baru ribut setelah terjadi bencana.
Nasrul Idris
Jl Gondangdia Baru,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar