Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 November 2019

ARTIKEL OPINI: Komodifikasi Radikalisme (AINUR ROFI Q AL AMIN)


Saat ini terjadi era tebar jala gagasan di "lautan" media sosial. Artinya, gagasan disebar lewat medsos bak jala di lautan. Potensi tangkapan pasti lebih banyak walau tidak semua ikan masuk perangkap jala.

Generasi milenial potensial terperangkap dalam jala gagasan, apa pun gagasannya. Era tebar jala gagasan adalah lahan subur untuk menyemai radikalisme.

Pengemban panji radikalisme menyadari hal itu sehingga terlibat ikut "kontestasi" di dunia maya. Tidak aneh jika pada 2019 ini ditemukan fenomena baru, yakni ikrar kesetiaan atau baiat kelompok radikal secara online.

Kenyataan radikalisme yang mengatasnamakan agama adalah berbahaya sudah dimaklumi. Potensi bahayanya akan semakin besar pada saat gagasan itu berkelindan dengan fenomena populisme Islam. Radikalisme yang menunggangi populisme Islam dan disebarkan di dunia maya bertemu dalam "bejana" firehose of falsehood. Maka, daya pikat dan daya "destruksinya" lebih kuat dan masif.

Dalam kondisi demikian, dunia maya melahirkan fakta aneh, ganjil, dan tak masuk akal, tetapi nyata. Fakta tak masuk akal itu antara lain matinya kepakaran seseorang, seperti ditulis Tom Nichols dalam bukunya, The Death of Expertise (2017). Fenomena "pengebirian" keahlian seseorang yang diakui otoritas keilmuannya, yang dilakukan oleh bukan pakar petualang di medsos. Kasus penolakan imunisasi adalah buktinya.

Terkait dengan radikalisme agama dan matinya kepakaran dapat dicontohkan fenomena ustaz dadakan yang selalu bicara khilafah, jihad, hijrah, dan sejenisnya. Mereka malah lebih diakui otoritasnya daripada ulama yang telah belajar di kampus agama otoritatif atau pesantren karena kekuatan penggunaan medsos.

Fenomena bernuansa "tipuan" ini mirip nubuat Nabi Muhammad tentang apa yang disebut ruwaibidlah, yakni munculnya seseorang yang bodoh, tetapi percaya diri bicara apa pun di muka umum dan absurdnya dipercaya orang lain.

Pada saat demikian, muncul fenomena kematian kebenaran. The death of truth dalam tulisan Michiko Kakutani (2018) sebenarnya mengkaji matinya kebenaran dikaitkan dengan pernyataan-pernyataan Donald Trump. Sekalipun demikian, fenomena di atas juga ditemui di negara lain. Matinya kebenaran karena kebenaran terkubur, tidak berharga atau tidak dihargai lagi. Bisa jadi karena diragukan bahwa hal itu hakikatnya adalah benar akibat arus kuat firehose of falsehood yang menggiring opini. Dalam aras demikian, radikalisme agama juga bisa ikut "berkontestasi" dengan
misinya atau dijadikan wahana kelompok yang memanfaatkannya.

Komodifikasi radikalisme

Di antara problem politik yang sudah lama dibincangkan adalah komodifikasi agama untuk kepentingan politik dan bisnis. Namun, ada sisi lain yang saya sebut komodifikasi radikalisme. Radikalisme dikomodifikasi dan dikapitalisasi.

Santer terdengar bahwa di antara elite ada yang memelihara kelompok radikal untuk kepentingan politiknya. Di tingkat global, baru-baru ini Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuduh Abu Bakar al-Baghdadi "buatan" Amerika. Trump (2016), juga menuduh Obama menciptakan NIIS.

Dalam tingkat nasional, salah satunya adalah keberadaan ormas yang dimanfaatkan elite politik. Ian Douglas Wilson, penulis buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, misalnya, menceritakan tentang Front Pembela Islam (FPI) sekitar tahun 1998/1999. FPI saat itu dirangkul oleh beberapa elite dari TNI dalam konteks Pamswakarsa. Di sini aparat memelihara sekaligus bermain api dengan radikalisme.

Komodifikasi radikalisme juga terjadi saat Pemilihan Presiden 2019 ini. Ormas-ormas yang selalu mendengungkan muatan agama selama pilpres "digunakan" beberapa elite politisi untuk membantu memenangkan pilpres.

Bentuk lain dari komodifikasi dan kapitalisasi radikalisme adalah kemungkinan pemanfaatan isu radikalisme. Tujuannya, antara lain, adalah untuk keberlanjutan "proyek" yang mereka tangani. Perilaku "industrialisasi" radikalisme seperti ini tentu tercela, berbahaya, dan naif.

Tidak kalah naifnya saat terjadi tindakan terorisme di Indonesia, lalu muncul beberapa spekulasi, seperti asumsi bahwa negara ikut terlibat. Kalau asumsi itu bisa dibuktikan bahwa kasus-kasus bom bunuh diri adalah buatan negara, tentu akan membantu mengurai dan memperjelassisik melik terorisme yang terjadi pada era reformasi. Walakin, kalau hanya asumsi semata yang kemudian viral dan memengaruhi opini publik, hal itu juga bisa berisiko negatif. Teroris untung dan secara tidak sadar kita ikut terlibat menyemai, memelihara, dan membela kelompok teroris.

Pada prinsipnya, upaya komodifikasi dan kapitalisasi radikalisme dan terorisme adalah tidak bijak, emosional, dan wujud dari pendek nalar. Masih banyak isu lain yang bisa dikapitalisasi untuk kepentingan politik yang positif. Mengapitalisasi dan mengomodifikasi radikalisme, dampaknya dapat menggoyahkan sendi-sendi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berakibat mundur ke belakang pada saat generasi milenial sedang menatap ke depan.

Ainur Rofi Q Al Amin, Dosen Politik Islam Ushuluddin UINSA dan Pengasuh Al Hadi 2 PP. Bahrul Ulum Tambakberas

Kompas, 28 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger