Ritual rutin dan repetitif jelang kontestasi politik adalah dengung kegaduhan serpihan-serpihan pemikiran tanpa paradigma yang jelas dan komprehensif. Reproduksi liturgi politik terjadi pula jelang Pemilihan Kepala Daerah 2020. Publik disuguhi dua pilihan: pilkada langsung atau pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Wacana hitam putih yang dikotomis hanya akan melestarikan sesat arah dan kesemrawutan tata kelola pilkada.
Debat publik berkembang setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan tekadnya mengevaluasi pilkada langsung, yang kemudian diikuti lontaran gagasan ke jantung persoalan, yakni pilkada asimetris. Gayung bersambut. Beberapa partai mendukung ide itu. Dukungan kekuatan politik mempunyai signifikansi. Pasalnya, meski gagasan itu sudah berkembang di kalangan masyarakat sipil, tanpa dukungan politik akan menguap.
Percakapan pilkada asimetris wajib membicarakan saudara sulungnya, desentralisasi asimetris (otonomi daerah tak seragam). Hal pertama mengenai desain dan prosedur pilkada, sedangkan hal kedua terkait tata kelola pemerintahan lokal.
Urgensi agenda tata kelola desentralisasi asimetris menjadi keniscayaan karena bangsa Indonesia sangat beragam. Realitas itu membuat tata kelola pemerintahan daerah dan pilkada tak memungkinkan didesain secara seragam.
Mengingat semua komponen bangsa sepakat rancang bangun negara adalah negara kesatuan, pilkada dan desentralisasi asimetris juga harus dipandu oleh pakem bentuk negara kesatuan. Tegasnya, praktik tatanan pemda asimetris wajib berkiblat pada kepentingan nasional. Dengan demikian, relasi antara pemerintah pusat dan pemda didesain komprehensif dalam kerangka utuh sistem pemerintahan nasional.
Kewenangan pemda bersumber dari pemerintah pusat. Maka, hanya dikenal satu lembaga legislatif, sedangkan DPRD bagian dari pemda. Konsekuensinya, pemerintah pusat mengontrol, bahkan dimungkinkan "melikuidasi" pemda kalau tidak melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Praktik politik selama 20 tahun terakhir memberi pelajaran yang sangat bermakna bahwa pergeseran dari pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi tidak dengan sendirinya membuat terjadinya pergeseran pemerintahan otoriter ke demokratis; serta tidak memberikan sinyal negara menjadi kuat yang disertai masyarakat sipil yang kuat pula. Melemahnya pemerintahan pusat ternyata juga tak otomatis menghasilkan demokrasi lokal yang berotot.
Akar masalahnya ialah desain organisasi kekuasaan negara tak disertai konsep serta paradigma yang komprehensif dan jelas. Penyusunan regulasi tidak menempatkan hukum sebagai katalis perubahan masyarakat dan visi mengenai tatanan politik masa mendatang. Semakin banyak produksi regulasi, semakin kusut regulasi. Pengelolaan kekuasaan yang seharusnya menghasilkan kebijakan mewujudkan kesejahteraan rakyat justru tersandera kalang kabutnya regulasi.
Pilkada asimetris adalah pilkada yang diselenggarakan dengan skema dan mekanisme yang mempertimbangkan kultur, adat istiadat, bobot demokrasi, potensi konflik, serta karakter geografis. Misalnya, pilkada di Papua dan Papua Barat sebaiknya tak diselenggarakan secara langsung. Model lain, pilkada berdasar siklus pemilihan. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan bersamaan di suatu provinsi dan jadwalnya tergantung dari siklus pemilu lokal di tiap provinsi yang tak bersamaan waktunya.
Pilkada asimetris sebagai bagian dari tata kelola kekuasaan negara dapat menjadi titik urai kekusutan pengelolaan kekuasaan politik lokal. Pilkada 2020 diharapkan jadi perangsang awal memperkuat sistem pemerintahan nasional sekaligus mewujudkan pemda yang efektif dan efisien sehingga kebijakannya sampai ke masyarakat.
Pilkada yang diselenggarakan dengan pola dan gagasan yang jelas dan komprehensif diharapkan bisa menghasilkan kepala daerah yang kompeten serta peka pada aspirasi publik sehingga menjadi pelayan masyarakat. Kepala daerah didorong mengaktualisasikan representasi kepentingan partikular di wilayahnya. Selain itu, juga mendorong pelembagaan institusi demokrasi, meningkatkan daya saing daerah sesuai keunggulan dan kearifan wilayah.
Akhirnya, pilkada bukan sekadar ritus demokrasi yang mendewakan prosedur politik untuk melegitimasi hasrat kuasa, melainkan salah satu manifestasi kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin. Oleh karena itu, Pilkada 2020 perlu dijadikan kesempatan emas membuat terobosan untuk mengurai kekusutan tata kelola pemerintahan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar