Presiden Jokowi telah menyampaikan lima prioritas pembangunan nasional untuk periode pemerintahan 2019- 2024 dalam pidato kenegaraan beberapa waktu lalu. Lima prioritas itu pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, reformasi birokrasi, mempermudah perizinan untuk investasi dan memperbaiki manajemen APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Kelima prioritas ini menurut penulis sangat tepat dan memberikan keseimbangan antara pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia dan pembangunan kelembagaan birokrasi. Khusus untuk prioritas reformasi birokrasi (RB), apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan? Tulisan ini akan menguraikan orkestrasi prioritas program RB 2020-2019.
Tugas utama dari setiap pemerintahan terpilih adalah memastikan bahwa kebijakan dan pelayanan publik dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Karena itu, agenda reformasi administrasi publik (atau lebih dikenal reformasi birokrasi), seperti disampaikan Presiden Jokowi, harus menjadi prioritas strategis pemerintah untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat, sekaligus memperkuat daya saing bangsa. Kualitas birokrasi juga akan meningkatkan beberapa indikator pembangunan sosial ekonomi.
Tugas utama dari setiap pemerintahan terpilih adalah memastikan bahwa kebijakan dan pelayanan publik dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Indikator Tata Kelola Pemerintahan Global (Global Governance Index) Indonesia sejak tahun 2006 hingga kini sejatinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Semua Indikator masih berada di bawah nilai 60. Efektivitas pemerintahan dan kontrol terhadap korupsi mengalami perbaikan, meskipun sangat lambat. Saat ini indeks efektivitas pemerintahan Indonesia adalah 59,13 dibandingkan 2006 sebesar 42,44. Demikian pula indeks kontrol terhadap korupsi saat ini adalah 46,15 dibandingkan tahun 2006 sebesar 20,49.
Indeks Daya Saing Global Indonesia, meskipun rankingnya naik tetapi tidak secara signifkan, tidak stabil dan masih berada di bawah negara-negara ASEAN. Tahun lalu indeks daya saing Indonesia berada di rangking 45, tahun ini turun di ranking 50. Kenaikan signifikan terjadi dalam indikator kemudahan berusaha (ease of doing bussines), dari ranking 115 pada 2006, menjadi ranking 72 pada 2018. Data-data itu mengindikasikan kualitas birokrasi di Indonesia masih jauh dari kondisi kecukupan dan perlu segera mendapatkan komitmen serius.
Empat agenda utama
Ada empat agenda besar reformasi birokrasi yang harus dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Pertama, reformasi regulasi (regulatory reform) yang berfokus pada penataan berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Problem dasar peningkatan daya saing Indonesia adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih, disharmoni dan terlalu banyak (over regulated). Setiap sektor memiliki peraturan menteri baik yang dimandatkan oleh undang-undang, peraturan pemerintah maupun yang berupa pelaksanaan tugas pokok menteri, yang menimbulkan kerumitan, birokratisasi, berbelit-belit, kelambanan serta ego sektoral antar-kementerian.
Pada sisi lainnya, secara vertikal banyak sekali peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang dibuat setelah proses desentralisasi tahun 1999. Catatan Kementerian Dalam Negeri saat ini ada sekitar 30.000 perda, dan 25 persen di antaranya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Problem dasar peningkatan daya saing Indonesia adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih, disharmoni dan terlalu banyak (over regulated).
Bagaimana melakukan reformasi regulasi atas berbagai peraturan perundang-undangan tersebut? Rencana pemerintah membentuk Badan Regulasi Nasional perlu didukung. Lembaga ini merupakan penggabungan berbagai lembaga yang saat ini berfungsi dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Deputi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Lembaga ini harus diberikan wewenang untuk mengharmonisasikan proses penyusunan peraturan perundang-undangan; lalu berdasarkan kajian melakukan revisi dan pembatalan pasal dalam peraturan menteri; serta mengusulkan perubahan peraturan pemerintah. Untuk membuat peraturan yang terintegrasi dalam satu sasaran strategis pembangunan, misalnya peningkatan lapangan kerja dan penguatan daya saing, maka Omnibus Law dapat diberlakukan. Dalam proses review, lembaga ini dapat melibatkan perguruan tinggi, pebisnis, media dan kelompok masyarakat.
Kedua, reformasi struktural (structural reform) yang berkaitan dengan perubahan desain struktur organisasi dan proses bisnis pemerintahan. Desain struktur organisasi birokrasi Indonesia saat ini mengalami dua gangguan besar: (1) tidak berkaitan dengan pencapaian kinerja pemerintahan, (2) sangat hierarkis, gemuk dan sentralistis. Reformasi struktur organisasi setidaknya harus menyelesaikan dua persoalan dasar ini. Desain struktur organisasi kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah harus berdasarkan indikator dan target kinerja yang dibebankan kepada masing-masing unit. Dengan cara ini banyak unit organisasi yang mungkin tak memiliki peran dalam pencapaian kinerja organisasi dan dapat segera dibubarkan. Selain tercapainya kinerja, organisasi seperti ini juga bisa mengefisiensikan anggaran yang tak diperlukan.
Ketiga, reformasi budaya (cultural reform) yang berkaitan dengan perubahan nilai dasar, cetak pikir dan perilaku Aparatur Sipil Negara (ASN). Belajar dari Korea, Jepang, China dan Singapura, perubahan budaya menjadi fondasi terpenting dalam birokrasi. Perlu dikembangkan nilai dasar utama birokrasi seperti antikorupsi, tanggung jawab dan kerja sama. Nilai ini tentu saja harus diinternalisasikan mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam sistem birokrasi formal, nilai ini sudah harus dimulai dari Diklat Prajabatan dan dilaksanakan melalui role model birokrasi.
Belajar dari Korea, Jepang, China dan Singapura, perubahan budaya menjadi fondasi terpenting dalam birokrasi. Perlu dikembangkan nilai dasar utama birokrasi seperti antikorupsi, tanggung jawab dan kerja sama.
Setiap pimpinan harus dapat memberikan teladan kepada bawahan, dibentuk agen-agen perubahan dan agen integritas, pelaksanaan kode etik dan kode perilaku, pelaksanaan whistle blower system, serta penegakan sistem reward dan punishment yang jelas. Perubahan budaya memang tidak bisa berlangsung cepat dan sekali jadi, tetapi pemerintah dan seluruh ASN harus sudah memulainya saat ini juga.
Keempat, transformasi digital (digital transformation) yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi (IT), komunikasi dan teknologi robotik (artificial intelligent). Integrasi berbagai reformasi birokrasi akan diikat dengan kemajuan IT, komunikasi dan pemakaian intelijensia buatan. Teknologi akan mengintegrasikan secara vertikal dan horizontal hubungan struktural dan fungsional serta memangkas proses bisnis secara horizontal. Teknologi juga akan memaksa perubahan interaksi perilaku interaksi antar-unit dan antar orang di organisasi pemerintah, maupun antara pemerintah dengan masyarakat.
Untuk keperluan transformasi digital, Presiden Jokowi harus menetapkan beberapa program prioritas (flagships) pemerintahan berbasis elektronik. Mengantisipasi perubahan generasi Y dan Z yang lebih senang bekerja di rumah dan berbasis output, pemerintah sudah harus menyediakan fasilitas dan infrastruktur kerja jarak jauh, waktu kerja yang fleksibel, dan ukuran kinerja yang lebih jelas kepada setiap pegawai. Dalam 5-10 tahun yang akan datang, para pegawai ASN akan lebih banyak bekerja di rumah, rapat-rapat dilakukan dengan video conference, dan para pegawai pelaksana pelayanan publik akan digantikan dengan robot (robotic agents).
Teknologi akan mengintegrasikan secara vertikal dan horizontal hubungan struktural dan fungsional serta memangkas proses bisnis secara horizontal.
Kepemimpinan perubahan
Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi diperlukan kepemimpinan dan komitmen kolektif. Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) memimpin dan memutuskan kebijakan strategis dan program RB seperti deregulasi, debirokratisasi, transformasi budaya dan transformasi digital. Menteri PANRB mengkoordinasikan dan melaksanakan program RB di kementerian dan lembaga. Setiap menteri harus memahami esensi dan substansi RB, memerintahkan dan mengawal secara langsung berbagai program perubahan di setiap kementerian. Menteri Dalam Negeri bekerja sama dengan MenPANRB mengkoordinasikan pelaksanaan RB di provinsi dan kabupaten/kota. Setiap gubernur/bupati dan walikota harus memahami dan memimpin secara langsung berbagai perubahan fundamental di birokrasi.
Berbagai kemajuan dan hambatan dalam pelaksanaan program RB harus dibahas bersama dengan wapres secara periodik dan segera mendapatkan keputusan untuk ditindaklanjuti oleh para menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati dan walikota. Sekretariat Wapres untuk KPRBN harus mengawal berbagai pelaksanaan keputusan yang sudah disepakati serta melaporkan kemajuannya dalam sidang berikutnya. Selain itu, indikator capaian program RB juga harus dapat diukur dalam kurun waktu tertentu, misalnya tingkat efisiensi anggaran dan efektivitas pemerintahan, kemudahan izin memulai usaha, kontrol terhadap korupsi, tingkat daya saing, serta kualitas pelayanan publik. Berbagai indikator ini harus terus-menerus diukur dan dievaluasi serta dicarikan berbagai solusinya secara cepat.
Berbagai perubahan itu harus dilakukan secara komprehensif dan bersungguh-sungguh dengan desain yang jelas serta batas waktu yang terukur. Pemerintah harus melakukan sekarang, karena jika tidak dimulai pada periode ini, maka tidak akan selesai pada periode berikutnya. Semoga.
Berbagai kemajuan dan hambatan dalam pelaksanaan program RB harus dibahas bersama dengan wapres secara periodik dan segera mendapatkan keputusan untuk ditindaklanjuti oleh para menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati dan walikota.
(Eko Prasojo, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI)
Kompas, 28 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar