Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 14 Desember 2019

ANALISIS LUAR NEGERI: Sembilan Tahun Lalu di Tunisia (tTRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Sembilan tahun lalu, Jumat 17 Desember 2010, Tunisia menjadi tempat lahir gerakan perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Gerakan ini—yang kemudian lebih populer disebut sebagai Revolusi Musim Semi (Arab Spring) ada yang menyebut sebagai Kebangkitan Arab (Arab Awakening) ada juga menyebut sebagai Revolusi Martabat—telah menginspirasi gerakan serupa di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Inilah revolusi di kawasan tersebut sejak Revolusi Iran pada tahun 1979 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Shah Iran dan lahirnya Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini.

Tidak ada yang pernah menduga bahwa apa yang dilakukan seorang pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan dan sayur mayur di Sidi Bouzid, Tunisia Tengah, Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi atau Mohamed Bouazizi, telah mengobarkan api perlawanan rakyat di sejumlah negara untuk melawan penguasa yang dianggap mengkhianati rakyat.

Dikuasai oleh keputusasaan dan semangat untuk memprotes perlakuan pihak berwenang yang dirasakan tidak manusiawi, Mohamed Bouazizi, membakar diri. Bouazizi bukan seorang revolusioner dan tidak memiliki niat untuk mengobarkan revolusi. Ia tidak memiliki agenda politik sama sekali. Apalagi memiliki agenda untuk mengubah institusi yang ada di negerinya. Bouazizi "hanyalah" seorang pemuda berusia 26 tahun, pedagang kaki lima, yang merasakan sulit dan kerasnya hidup, yang orangtuanya sudah berumur.

AFP PHOTO/TUNISIA PRESIDENCY

Rombongan kepresidenan Tunisia, di antaranya Presiden Zine el-Abidine Ben Ali (kedua dari kiri), menengok Mohamed Bouazizi, di RS Ben Arous, dekat Tunis, pada 28 Desember 2010. Bouazizi membakar dirinya untuk memprotes pengangguran di negerinya. Akibat lukanya, Bouazizi meninggal pada 4 Januari 2011.

Akan tetapi, yang dilakukan pada hari Jumat itu, membakar diri di depan balai kota, telah menggugah dan menggerakkan hati—mula-mula—orang sekampungnya, kemudian sekotanya, dan akhirnya senegaranya untuk melawan penguasa yang korup, yang mengkhianati rakyat, yang mementingkan diri sendiri, keluarganya, dan kelompoknya.

Tindakan bakar diri yang dilakukan Bouazizi tak pelak lagi adalah sebuah pernyataan yang tegas, mengejutkan sekaligus mengerikan dan yang kemudian bergema dalam hati generasi muda di negerinya, yang merasakan bahwa jalan politik dan harapan ekonomi bagi mereka tertutup. Menggerakkan generasi yang hidup di bawah sistem tirani (Adeed Dawisha, 2013).

Gerakan perlawanan, demonstrasi tanpa dikomando mula-mula pecah di Sidi Bouzid; lalu merambet ke kota-kota sekitar; kemudian ke kota-kota di Tunisia Tengah. Hari-hari berikutnya kaum muda yang tak punya pekerjaan karena memang teramat sulit mencari pekerjaan, bergabung turun ke jalan; disusul para mahasiswa, para anggota serikat buruh, para pengacara, dan akhirnya kaum profesional pun ikut bergabung turun ke jalan melawan penguasa dan pemerintah.

Inilah gerakan murni dari rakyat. Gerakan tanpa pemimpin. Mereka bergerak karena kemarahan. Marah kepada pemerintah, kepada penguasa yang korup. Oleh karena ini gerakan rakyat tanpa pemimpin, sulit bagi penguasa untuk menindak tegas, menangkapi para pemimpinnya. Kalau aparat keamanan—polisi atau tentara—menembak massa, berarti mereka menembak mungkin saudara-saudaranya sendiri, atau bahkan anak-anaknya sendiri. Tetapi, korban tetap ada.

AFP PHOTO/FETHI BELAID

Demonstran dan juga pengacara-pengacara Tunisia berunjuk rasa di depan Kementerian Dalam Negeri Tunisia di jalan raya Habib Bourguiba, Tunis, Jumat (14/1/2011), saat Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali (74) menyampaikan pidato. Ben Ali mengatakan tak akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden setelah masa jabatannya berakhir pada 2014.

Semula, Bouazizi membakar diri sebagai bentuk protes karena diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat keamanan: digusur, dipalak, dipukul, dan dagangannya diporak-porandakan. Bouazizi protes karena diperlakukan tidak adil.

Aksi protes Bouazizi seakan mewakili perasaan para pedagang kaki lima lainnya, orang-orang lainnya, rakyat secara umum yang hidupnya dari waktu ke waktu dikuasai kesusahan dan kesulitan. Pada akhirnya, tujuan gerakan pun adalah untuk menyingkirkan penguasa yang otoritarian dan korup.

Tak Bisa Menghindar

Ketika dunia dilanda gerakan demokratisasi pada tahun 1970-an, pemerintah otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara, sebagian besar tetap menolak proses demokratisasi. Periode ini oleh Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), disebut sebagai gelombang ketiga demokratisasi yang dimulai di Eropa Selatan pada pertengahan 1970-an. Dari Eropa Selatan, menyebar ke Amerika Selatan pada awal 1980-an dan mencapai Asia Timur, Tenggara dan Selatan pada akhir 1980-an.

Akhir tahun 1980-an, dunia menyaksikan kebangkitan transisi dari pemerintahan otoriter komunis di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, serta kecenderungan menuju demokrasi di Amerika Tengah dan Afrika Selatan. Akan tetapi, gelombang ini tidak mencapai Timur Tengah. Faktanya, wilayah ini secara politik kurang bebas dibandingkan wilayah lain. (Freedom of the World 2011: The Authoritarian Challenge to Democracy, 22 Juli, 2011).

Caterina Perlini dalam Democracy in the Middle East: External Strategies and Domestic Politics (2015) menulis, selama pertengahan dan akhir 1980-an, sejumlah negara di Timur Tengah melancarkan liberalisasi politik dan demokratisasi. Ini sebagian akibat dari meningkatnya perbedaan pendapat dengan para pemimpin otoriter yang menyebabkan kerusuhan besar yang bertentangan dengan tatanan politik yang sudah mapan.

AP PHOTO/BEN CURTIS

Pengunjuk rasa propemerintah (bawah) bentrok dengan pengunjuk rasa antipemerintah di Lapangan Tahrir, Kairo, Mesir, yang merupakan tempat berkumpulnya pengunjuk rasa antipemerintah, Rabu (2/2/2011).

Tekanan domestik ini menyebabkan kemajuan politik di negara-negara seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Yaman, dan Jordania. Setiap negara ini mengalami peningkatan aktivitas politik, khususnya melalui pemilihan yang menunjukkan adanya transparansi. Namun, negara-negara yang meliberalisasi sistem politik mereka tetap mempertahankan pembatasan pada partisipasi dan kompetisi politik, dengan ini membatasi oposisi dan menjaga kelangsungan hidup rezim yang ada.

Bahkan, ada sejumlah besar kemunduran. Aljazair misalnya. Upaya kemajuan demokrasi pada tahun awal 1990-an, terhambat, karena militer kembali berkuasa setelah pemilu dimenangi oleh Front Keselamatan Islam (FIS).  FIS merebut 188 dari 430 kursi di parlemen, sementara Front Pembebasan Nasional (FLN) yang berkuasa hanya 15 kursi.

Kemenangan FIS ini yang mendorong militer bergerak dan mengambil alih kekuasaan. Di Mesir misalnya, pemilihan parlemen tahun 2005 dipuji sebagai tanda utama keberhasilan demokrasi. Namun, pluralisme terbatas yang menandai pemilu 2005 memburuk, memberi jalan bagi penindasan yang meluas, penumpasan oposisi, dan penipuan selama pemungutan suara 2010.

Akan tetapi, apa yang terjadi di Tunisia (2010)—yang kemudian disusul sejumlah negara lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara—adalah sebuah keniscayaan dari perkembangan zaman. Demonstrasi, protes yang bermula di Tunisia semua memprotes ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, kemudian berubah dengan mengusung slogan "rakyat menuntut pergantian rezim". Tujuan mereka adalah untuk membangun masyarakat demokratis dengan menyingkirkan pemerintah otokratis.

Menurut Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), gelombang demokratisasi itu ditandai oleh fase pertama yakni munculnya reformis. Para reformis menuntut perubahan dari rezim otokratis dan tirani menjadi pemerintahan yang demokratis dan transparan. Fase ini mendorong masyarakat untuk menyuarakan hak-hak mereka melalui protes, yang akan mengarah pada revolusi melawan pemerintah yang ada.

REUTERS/ALI HASHISHO

Para pengunjuk rasa membentangkan bendera Lebanon dalam demonstrasi antipemerintah di Beirut, Lebanon, Senin (21/10/2019).

Dan, negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara pun tidak bisa menghindar dari tuntutan zaman.

Jasa Bouazizi

Dalam kasus Tunisia, siapa reformis itu? Apakah Bouazizi? Barangkali, meskipun Bouazizi tidak memiliki pemikiran atau ide reformasi, ide revolusioner, atau agenda politik, tetapi tindakannya di luar kewajaran—bakar diri sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan—adalah sebuah bentuk dari pembaharuan (reformasi) perlawanan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Gerakan rakyat tanpa pemimpin, dimulai bulan Desember 2010, di Tunisia kemudian berevolusi untuk menggulingkan rezim pemerintahan Zine al-Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa sejak 1987; sebuah rezim yang otokratis dan korup. Apa yang terjadi, kemudian, di Mesir mulai 25 Januari 2011 juga tidak jauh berbeda.

Apa yang terjadi di Tunisia dan juga di Mesir kemudian, memberikan gambaran bahwa apa yang terjadi tidak mengikuti pola reformasi ekonomi dulu lalu disusul dengan demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan juga Mesir, kiranya gerakan demokrasi yang pertama dilakukan dengan menyingkirkan rezim otoritarian dan korup, baru kemudian pembangunan ekonomi, yang hingga kini belum banyak memberikan hasil seperti diharapkan rakyat.

Memang, apa yang terjadi di Tunisia, misalnya, revolusi yang terjadi jauh dari komplet. Selama beberapa tahun Tunisia masih menghadapi kerusuhan-kerusuhan sporadis dan suksesi kabinet interim yang tak stabil. Meskipun demikian, hingga kini Tunisia sebagai penyulut demokratisasi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, memberikan harapan yang lebih menjanjikan dibandingkan negara-negara lain, apalagi dibandingkan Suriah dan Libya.

Di negara-negara lain yang disapu Revolusi Musim Semi, hingga kini kerap kali muncul gerakan konter-revolusi dan kekerasan, tetapi Tunisia berusaha tetap memegang teguh amanat revolusi yakni demokratisasi. Pemilihan presiden berlangsung damai dan tampaknya sebagian besar bebas dan adil. Meskipun perlu tetap waspada agar politik konsensus yang seslama ini dipegang untuk menyelamatkan negara tetap bisa jalan dan terus disepakati.

AP PHOTO/MOSA'AB ELSHAMY

Surat kabar Al-Shorouk memasang foto kandidat presiden Tunisia, Kais Saied (kanan) dan Nabil Karoui, di halaman depan harian itu, Senin (16/9/2019).

Hal itu penting. Sebab, ada tanda-tanda penurunan tajam dalam kepercayaan publik pada lembaga-lembaga politik: kepercayaan di Parlemen telah turun hingga 14 persen, dan kepercayaan pada partai-partai politik hanya 9 persen, menurut survei Barometer Arab baru-baru ini.

Persoalan lain adalah pembangunan ekonomi. Dua tahun lalu, 2017, karena buruknya situasi ekonomi, banyak orang Tunisia yang meninggalkan negerinya, menyeberangi Laut Mediterania masuk Eropa. Menurut pemerintah Italia, sekitar 8.000 orang Tunisia pada tahun 2017 masuk ke negeri itu.

Akan tetapi, apa pun yang terjadi sekarang ini, sulit dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh Mohammad Bouazizi telah mengubah wajah dan peta, tidak hanya Tunisia, tetapi juga negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Yang dilakukan Bouazizi telah menebarkan benih demokratisasi di kawasan itu. Meskipun, ada negara—Suriah dan Libya, misalnya—yang tergelincir ke kondisi negara gagal.

Kompas, 14 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger