Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 04 Desember 2019

EPILOG: Intuisi untuk Mati (PUTU FAJAR ARCANA)


SUPRIYANTO

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas.

Intuisi para seniman cenderung mendahului perhitungan rasional. Kekuatan batinnya yang terlatih dan terolah berpuluh-puluh tahun memunculkan tingkat sensitivitas intuitif yang melebihi rata-rata manusia biasa.

Dalam beberapa tahapan, kepekaan intuisi justru bercampur dengan daya nalar, yang berujung pada kepasrahan hidup. Sewaktu mencapai usia 96 tahun (tahun 2012), pelukis Arie Smit sudah merasa bosan hidup.

Secara berkelakar ia bilang, cara mati di Indonesia terlalu lamban. Ia merasa sudah siap jika sewaktu-waktu hidupnya dipotong di tengah jalan. Toh begitu, Arie kemudian (baru) meninggal dunia pada Rabu, 23 Maret 2016, di Denpasar, Bali, tepat ketika ia (sudah) berusia 100 tahun!

Tahun 2012, saya perlu waktu dua hari menunggu untuk mendapatkan kepastian bisa bertemu dengan pelukis kelahiran Zaandam, Belanda, tahun 1916 ini. Ia menjadi tentara Belanda terakhir yang memilih memeluk kewarganegaraan Indonesia tahun 1950.

"Anda yang tinggal di sebelah itu, kan?" tanyanya waktu itu sambil berbaring di atas velbed.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Perupa Arie Smit. Foto diambil 19 September 2012.

Saya memang menginap di Villa Sanggingan Ubud, milik Sutedja Neka, salah satu kolektor dan pemilik museum di Ubud. Arie Smit tinggal di sebuah paviliun yang berdekatan dengan kamar saya. Sehari-hari saya bisa mengawasinya secara leluasa, sebelum akhirnya dia bersedia diwawancarai.

"Saya akan mati. Pasti. Sekarang sudah berangsur-angsur mati. (Tapi) Begitu cara mati di Indonesia, ya, pelan-pelan. Saya lebih suka mendadak…." kata Arie.

"Tetapi sekarang sedang sehat, kan?" Saya coba bertanya.

"Apa? Sehat?" Arie malah balik bertanya.

"Kenapa ingin mati, bosan di Bali?" kejar saya.

"Saya umur cukup. Sekarang sudah 96 tahun, tetapi cara meninggal itu begitu lamban."

"Itu karena Anda sehat berarti…."

"Ah saya tidak mau apa-apa lagi…. Tapi ini rekor, tidak pernah ada orang kulit putih yang tinggal di Bali selama saya. Saya tinggal 60 tahun, hampir tak pernah ke luar negeri. Sebab, saya senang. Pernah ke Belanda dan Italia sebentar-sebentar, tetapi selalu kembali lagi ke sini."

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Perupa Arie Smit, 19 September 2012.

Cuplikan dialog saya dengan Arie Smit itu lamat-lamat muncul dalam ingatan justru di saat bertemu dengan maestro pelukis lainnya, Jeihan Sukmantoro.

Maret 2019, seusai menjalani operasi kanker getah bening di Malaysia, Jeihan bercerita ia tidak menduga sama sekali operasinya berjalan baik.

Walau di sela ceritanya yang menggebu-gebu, ia selalu menyelipkan kalimat-kalimat bernada afirmatif, seperti,"Saya sudah merasa cukup, sudah sampai puncak, apalagi yang mau dicari, ketemunya kekosongan…." katanya.

Pada usia 81 tahun, perupa kelahiran Solo tahun 1938 ini sudah merasa diberi keleluasaan hidup oleh Yang Maha Pencipta. Dalam biografi hidupnya, Jeihan pernah mengalami saat-saat berada di tubir kematian.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Perupa Jeihan Sukmantoro, 1 Maret 2019.

Pada usia 5 tahun, ia terjatuh dari tangga dan dinyatakan meninggal dunia. "Saat mau dibawa ke kuburan, tiba-tiba saya bangun lagi," kisahnya suatu hari di Studio Jeihan, Padasuka, Bandung.

Kemudian, pada usia 71 tahun, penyakit gagal ginjal, nyaris membunuhnya. Waktu itu, ia harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu. Namun, ia kemudian mendapatkan seorang pendonor ginjal berusia 35 tahun di Singapura.

"Rambut uban saya perlahan jadi hitam, saya merasa berusia 35 tahun," katanya.

Pada Jumat, 30 November 2019, dalam usia 81 tahun, Jeihan akhirnya benar-benar menghadap Sang Khalik, yang sesungguhnya telah ia dambakan sejak lama.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN

Makam yang sudah disiapkan di halaman belakang yang nantinya akan menjadi peristirahatan terakhir jeihan. Foto diambil 16 Desember 2017.

Meski sama-sama "berkeinginan" segera mati atas dasar kesadaran keterbatasan eksistensi, Arie dan Jeihan menempuh jalan bersilang secara kultural. Sepanjang kariernya sebagai pelukis, yang mengembangkan aliran Young Artist di Desa Penestanan, Ubud, Arie mengabdikan diri untuk selalu melukis pemandangan

Pada pemandangan ia menemukan aliran spiritual yang deras dan menyentuh saraf-saraf kreativitasnya. Di dalam pohon banyan tua (sejenis beringin), Arie menggali kekuatan hidup, cara bertahan dari badai meski harus menaungi banyak makhluk lain di antara dedaunan, ranting, dan dahan-dahannya.  Burung-burung pun bisa hidup secara leluasa karena dilindungi oleh kerimbunan pohon.

Sebagai orang Barat, Arie jatuh cinta pada alam tropis yang tanpa henti memberinya cahaya. Kekuatan cahaya itulah yang ia pancarkan ke dalam jiwanya untuk terus bertahan menekuni jalan kesenian yang tidak mudah.

Pada tahapan kehadirannya di Bali tahun 1956, Arie seolah menganut dan mengamalkan ajaran pantheistik, di mana segala isi semesta selalu bermuara pada Tuhan.

ARUM TRESNANINGTYAS

Perupa Jeihan Sukmantoro (72) sedang menggambar model, 16 Desember 2009.

Di Jawa dan Bali, ajaran ini mendapatkan sublimasinya lewat prinsip sangkan paraning dumadi: dari mana kita datang ke sanalah kita akan kembali. Semesta menjadi sumber dari segala peristiwa yang terjadi dalam keseharian kita.

Meski membawa kultur Barat yang rasional, Arie menyerahkan dirinya kepada kuasa Semesta yang telah memberinya hidup panjang. Cara memandang hidup yang ketimuran ini dikenal dengan pandangan kosmosentris.

Jeihan seolah berada di kutub seberang. Sejak lama ia lebih dikenal sebagai pelukis figuratif, di mana manusia menjadi titik sentral pencariannya. Meski berupa figur-figur, lukisan-lukisannya tidak jatuh menjadi potretis.

Lewat penggambaran mata figurnya yang selalu hitam, kita diajak berkelana ke alam mistis yang tak teraba nalar sehat. Figur-figur ini secara serta-merta membuat tafsir kita buru-buru menoleh kepada pengertian yang sangat antroposentris.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN

Senyuman selalu tebersit di wajah pelukis jeihan ketika berkarya. Foto diambil 16 Dsember 2017.

Pandangan ini sesungguhnya khas cara Barat di dalam upaya memahami  eksistensi hidup. Manusia menjadi pusat dari segala perubahan yang terjadi sekitar kita dan alam "hanyalah" obyek studi yang bisa dipecahkan dengan rasionalitas.

Cara Jeihan dan Arie mencapai kualitas spiritual dalam karya-karya mereka telah menunjukkan persilangan lelaku kultural. Jeihan yang dilahirkan di Timur, tetapi mendapatkan pendidikan formal Barat di Institut Teknologi Bandung (ITB), menghasilkan karya-karya yang berpusat pada diri manusia (figuratif).

Sementara Tuan Semit (panggilan orang desa di Ubud), yang berdarah Barat, "meminjam" Timur untuk melukiskan kekagumannya kepada alam. Hasil kekaguman itu terus-menerus diduplikasi sampai berjilid-jilid jumlahnya.

Bukankah fenomena yang sama juga terjadi pada diri Jeihan Sukmantoro? Lukisan figur-figur manusia itu seperti tak pernah habis sampai akhir hayatnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pelukis Jeihan menggelar sejumlah karyanya yang dipamerkan dalam judul Sufi/Suwung di Studio Jeihan, Padasuka, Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/6/2017). Dalam pameran yang juga disertai peluncuran buku "Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya" karya Mikke Susanto ini menyajikan karya-karya Jeihan yang menyiratkan diri sufisme manusia dan ketuhanan.

Hal yang menarik, memilih jalan Timur atau Barat, Anda akan selalu tiba pada titik yang sama. Titik di mana kuasa Semesta akan merangkul Anda dan bersiap menuju alam yang tak teraba akal dan pikiran.

Jeihan dan Arie, pada titik akhir perjalanan kesenimanannya, selalu mengafirmasi diri memasuki wilayah kematian. Itulah yang membuat Jeihan selalu mengatakan,"Saya sudah merasa cukup. Saya ingin kembali kepada Tuhan," katanya. Dalam salah satu puisinya ia mengatakan: //dariMu/hamba datang/kepadaMu/hamba pulang//.


Arie berkali-kali mengatakan ingin mati, tetapi ia gelisah karena Tuhan justru memberinya umur panjang. Selama di Bali, ia belajar memahami ajaran uttpati, stiti, dan pralina.

Bahwa perjalanan eksistensi manusia di dunia dibagi dalam tahapan lahir, hidup, dan mati. Itulah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari selama Anda dititahkan mengembara ke dunia.

KATALOG PAMERAN STILL LIFE

Lukisan karya Arie smit yang berjudul "Still Life and Garden". Lukisan ini pernah dipamerkan di Galeri Raka, Desa Mas, Ubud, Bali, 30 Desember 2004 hingga 30 Januari 2005.

Tentang masa pergulatannya selama menjadi pelukis, Arie punya kelakar tentang ajaran yang harus ia telan betapa pun pahitnya sebagai orang Barat.

"Orang Bali sungguh bahagia, mereka mati dan nanti bisa mengulangi lagi dalam hidup sesudahnya. Nah, saya mati sesudahnya entah kemana," tuturnya.

Arie sesungguhnya sedang membicarakan kepercayaan akan reinkarnasi yang dalam ajaran Hindu disebut sebagai samsara. Dalam pandangan pantheistik yang dianut Jeihan, ia cuma ingin kembali kepada Zat Mahasuci yang telah menciptakannya.

Barangkali keduanya nanti bertemu dan melukis bersama dalam rangkulan penuh kasih dari Sang Penguasa Hidup…. Terciptalah lanskap warna-warni alam tropis yang cerah, penuh taburan cahaya, tetapi menyimpan misteri di dalam mata hitam para penghuninya…. Ke mana kita pergi?

Kompas, 4 Desember 2019


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger