Presiden Jokowi telah memilih 34 menteri, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dan 12 wakil menteri untuk mengemban tugas kenegaraan dalam Kabinet Indonesia Maju. Secara umum pilihan menteri dan wakil sarat kompromi politik. Jokowi harus mengakomodasi berbagai kepentingan, mulai dari partai pendukung hingga lawan politik, sukarelawan, dan kalangan profesional.
Publik pun bertanya apakah Presiden menggunakan hak prerogatifnya memilih menteri atau hasil kompromi. Dalam bahasa sosiolog Karl Mannheim (1940), kekuasaan selalu terkait kepentingan ideologi, pertahanan, politik, dan bisnis.
Ada anggapan, Presiden harus melakukan konsolidasi elite karena hanya dengan persatuan elite, stabilitas politik terjaga dan pembangunan ekonomi berjalan. Jika demikian soalnya, demokrasi Indonesia hasil rekayasa elite, crafting democracy. Sejauh elite kompak, republik ini tetap terjaga.
Kementerian ESDM adalah portofolio kementerian paling strategis dan terkait hajat hidup rakyat Indonesia. Menteri ESDM Arifin Tasrif representasi kalangan "profesional". Dia berkarier lama di industri petrokimia. Namun, ia juga dikenal memiliki hubungan dekat dengan elite lintas partai dan pengusaha energi.
Menteri ESDM perlu menempatkan dirinya di tengah kelompok kepentingan yang kerap mengganggu pengambilan kebijakan strategis di sektor energi dan pertambangan.
Ada anggapan, Presiden harus melakukan konsolidasi elite karena hanya dengan persatuan elite, stabilitas politik terjaga dan pembangunan ekonomi berjalan.
Publik berharap menteri ESDM baru bukan titipan parpol atau sekelompok grup bisnis. Menteri ESDM harus bersih, memiliki kapasitas, berani melawan mafia dan kekuatan oligarki yang sudah lama membentuk kartel di sektor energi dan tambang. Kartel oligarki di ESDM adalah modus melakukan monopoli sumber daya alam mulai dari energi, tambang, sampai urusan listrik.
Arifin ditempatkan Jokowi sebagai menteri ESDM bukan sekadar untuk keefektifan dan perampingan birokrasi. Tugasnya, bagaimana mengeksekusi kebijakan strategis yang dalam hal ini mau tidak mau dia juga harus berhadapan dengan multi-kepentingan bisnis-politik dan kepentingan ideologi mengamankan pasokan energi, mengurangi defisit neraca perdagangan, menaikkan produksi minyak dan gas, serta rakyat mendapat manfaat dari pengelolaan tambang.
Pertanyaan yang muncul kemudian: bagaimana cita-cita kemandirian energi dan tambang bisa terwujud jika dalam perjalanannya menteri tidak jernih dalam menjalankan tugasnya.
Keputusan jadi lamban
Mantan Wakil Presiden Bank Dunia Joseph E Stiglitz pernah membongkar sisi gelap para eksekutif di Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam buku Globalization and Its Discontents (2002).
Stiglitz mengatakan bagaimana mungkin dua lembaga keuangan global itu bisa mengatur pembangunan dan sistem moneter global secara adil, sementara para pengambil kebijakannya berasal dari korporasi besar seperti Citi Corp dan Goldman Sach.
Ini hanya jabatan lima tahunan. Setelah usai masa bakti, mereka kembali ke tempat asal. Kebijakan mereka, menurut Stiglitz, pasti cenderung memihak komunitas bisnis dan finansial.
Apa yang dilihat Stiglitz punya kemiripan dengan Indonesia. Di negeri ini jabatan politis, seperti menteri, lebih merepresentasikan kepentingan bisnis dan politik sehingga aroma kompromi sangat kental. Berhadapan dengan berbagai kepentingan, pengambil kebijakan mudah sekali jatuh dalam risiko moral hazard dalam mengambil keputusan.
Moral hazard artinya mengeksekusi kebijakan hanya menguntungkan sebagian kelompok dan pengambilan kebijakan strategis jadi sangat lamban. Banyak contoh yang bisa jadi acuan.
Keputusan investasi blok minyak dan gas terbesar, Blok Masela (Maluku) di offshore atau onshore misalnya, butuh proses cukup lama karena terkait kepentingan kelompok bisnis global-lokal yang ingin dapat jatah dari rantai bisnis pengerjaan proyek. Ada yang ingin dapat manfaat bisnis jika dibangun di darat, seperti bisnis lahan dan petrokimia. Ada pula yang ingin dapat manfaat jika dibangun di laut, seperti proyek pipa laut.
Sempat terjadi polemik tajam antara Menteri ESDM saat itu (Sudirman Said) dan Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Dua-duanya boleh jadi merepresentasikan kepentingan kubu, baik darat maupun laut.
Tanpa komando Presiden Jokowi waktu itu, pembangunan Blok Masela menggantung. Ini membuat proses persetujuan plant of development (POD) dengan dana investasi 20 miliar dollar AS memerlukan waktu bertahun-tahun dan baru disahkan September 2019. Padahal, pengembangan Blok Masela bisa mengurangi beban impor migas yang jadi sumber utama defisit neraca perdagangan dalam era pemerintahan Jokowi.
Apa yang dilihat Stiglitz punya kemiripan dengan Indonesia. Di negeri ini jabatan politis, seperti menteri, lebih merepresentasikan kepentingan bisnis dan politik sehingga aroma kompromi sangat kental.
Renegosiasi kontrak perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia adalah contoh soal lambannya proses pengambilan keputusan karena terkait pertarungan multi-kepentingan bisnis-politik. Renegosiasi terkait divestasi, penerimaan negara, pembangunan smelter sudah berlangsung sejak era SBY (2010) dan baru tuntas di era Jokowi (2019). Pertarungan melibatkan kepentingan pemegang saham Freeport, Freeport McMoRan (AS), kepentingan mitra bisnis lokal, dan kepentingan negara.
Jika pemimpin tak tegas, kekuatan negara bisa kalah berhadapan saat dengan kepentingan pemegang saham dan mitra bisnis lokal. Renegosiasi kontrak baru tuntas saat Kementerian ESDM dipimpin Ignasius Jonan. Jonan memaksa Freeport mengonversi kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus dengan syarat divestasi 51 persen saham, pembangunan smelter jika ingin memperpanjang kontrak.
Jonan bersinergi dengan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati untuk divestasi saham Freeport. Rini, Menteri BUMN waktu itu, merespons cepat keputusan Jonan dengan cara membentuk holding tambang dipimpin PT Indonesia Asahan Alumina (Inalum) untuk membeli 51 persen saham Freeport. Dengan holding, aset BUMN tambang menjadi besar dan modal bagi Inalum dapat pinjaman senilai 5 miliar dollar AS untuk membeli Freeport. Mayoritas saham Freeport kemudian kembali dikontrol Indonesia.
Penyelesaian proses divestasi Freeport tak lepas dari komando Presiden Jokowi. Selain itu, Jonan, Rini, dan Sri Mulyani tak memiliki beban apa pun. Jokowi memilih mereka bekerja untuk negara, bukan untuk kepentingan parpol dan korporasi dari mana mereka berasal. Mereka bekerja cepat mengembalikan kedaulatan pertambangan dan berambisi agar perusahaan milik negara diandalkan.
Posisi presiden sangat penting untuk memperkuat kebijakan strategis dalam kementerian apalagi terkait blok migas dan tambang raksasa yang memiliki mata rantai panjang. Dalam periode pertama, Jokowi memiliki kehendak baik agar negara dapat untung dari divestasi. Dalam kasus Freeport, Jokowi langsung memerintahkan Indonesia harus dapat 51 persen saham Freeport. Itu sokongan politik yang membuat Jonan, Rini, dan Sri Mulyani bergerak cepat.
Renegosiasi terkait divestasi, penerimaan negara, pembangunan smelter sudah berlangsung sejak era SBY (2010) dan baru tuntas di era Jokowi (2019). Pertarungan melibatkan kepentingan pemegang saham Freeport, Freeport McMoRan (AS), kepentingan mitra bisnis lokal, dan kepentingan negara.
Kesinambungan sikap dan kebijakan
Pertanyaan berikutnya bagi menteri ESDM baru, bisakah melanjutkan proyek kedaulatan tambang yang sudah dijalankan di zaman menteri ESDM sebelumnya? Mampukah dia bersinergi dengan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkeu Sri Mulyani mengambil kebijakan strategis di sektor migas dan pertambangan?
Di sektor mineral, Arifin berhadapan dengan tugas berat menuntaskan renegosiasi kontrak dengan delapan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diberikan di zaman Orde Baru dan akan berakhir masa kontraknya beberapa tahun ke depan.
Kedelapan PKP2B itu seperti PT Kendilo Coal Indonesia (2021), KPC (2021), Multi Harapan Utama (2022), Arutmin (2022), Adaro Indonesia (2022), Kideco Jaya Agung (2023), dan Berau Coal (2025). PKP2B ini terhitung raksasa dan pemain utama di batubara Indonesia. Produksi dan cakupan luas lahannya besar.
Arutmin dan KPC memiliki kapasitas produksi batubara 100 juta ton per tahun. Sementara produksi Adaro Energi 40 juta ton. Berau Coal memiliki lahan seluas 121.589 hektar dengan produksi 24 juta ton.
Menurut aturan, PKP2B yang berakhir masa kontraknya dikembalikan ke negara. Negara kemudian memiliki wewenang memperpanjang atau tidak, serta bisa mengurangi luas lahan sesuai UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya tak memperpanjang kontrak PT Tanito Harum dan kontrak anak usaha PT Borneo Lumbung. Sementara Rini Soemarno meminta perlakuan khusus agar BUMN tambang dapat prioritas atas lahan tambang PKP2B yang diciutkan dengan pertimbangan perusahaan tambang milik negara, PT Bukit Asam, hanya mengontrol 6 persen pasar batubara domestik dan PLN butuh batubara untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik.
Ini tak mudah karena delapan PKP2B itu dikontrol konglomerat, elite parpol, dan terafiliasi dengan kekuasaan.
Keluar dari jebakan
Bisakah Arifin berkoordinasi dengan Menteri BUMN Erick Thohir? Apakah Arifin berani memaksa Menteri BUMN mengambil alih lahan tambang yang akan diciutkan PKP2B demi membesarkan perusahaan BUMN, seperti PLN? PLN kemudian membentuk unit usaha sendiri di sektor batubara dengan mendapat konsesi gratis dari lahan PKP2B yang akan diciutkan. PLN selama ini membeli batubara dari produsen batubara.
Apa salahnya PLN memiliki konsesi batubara agar menghemat banyak dana dan tak perlu mengimpor batubara untuk kebutuhan listrik jika tak mendapat kepastian pasokan dari perusahaan batubara domestik? Ini akan terealisasi jika Arifin tak tersandera multi-kepentingan. Penyelesaian renegosiasi PKP2B ini bisa jadi tolok ukur apakah Arifin bebas kepentingan.
Menteri Arifin harus bisa mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sektor ESDM agar keluar dari jebakan multi-kepentingan di sektor energi. Semua informasi terkait kebijakan strategis dibuka agar rakyat paham apa yang dilakukan Kementerian ESDM sehingga ada ruang kontrol.
Semakin tinggi budaya transparansi, semakin kecil ruang bagi kelompok kepentingan mendikte kebijakan strategis di sektor energi. Tender proyek-proyek besar dan renegosiasi dengan perusahaan-perusahaan tambang harus dibuka ke ruang publik agar tak ada manuver gelap yang membuat kepentingan negara dibajak.
Menteri Arifin harus bisa mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sektor ESDM agar keluar dari jebakan multi-kepentingan di sektor energi. Semua informasi terkait kebijakan strategis dibuka agar rakyat paham apa yang dilakukan Kementerian ESDM sehingga ada ruang kontrol.
Selebihnya, Arifin perlu membuat kebijakan inovatif agar perusahaan-perusahaan migas mampu mencari cadangan-cadangan migas baru. Sinergi dengan Kementerian BUMN perlu guna mendorong Pertamina berani berekspansi mencari lapangan minyak di luar negeri untuk menambah produksi minyak nasional dan menyelesaikan pembangunan kilang pengolahan BBM.
Arifin harus mencari strategi terbaik mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG). Caranya, mendorong perusahaan batubara yang dipelopori perusahaan batubara milik negara membangun pemrosesan batubara untuk membangun diethyl ether (DME) guna mengurangi impor LPG. Ini semua penting untuk menekan laju defisit neraca perdagangan. Akhirnya, visi Indonesia maju perlu jadi cita-cita bersama dalam rangka mewujudkan kemandirian energi dan tambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar