Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 Desember 2019

LAPORAN AKHIR TAHUN: Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Jender Semakin Berat (YOVITA ARIKA)


AFP/SANJAY KANOJIA

Buruh perempuan India bekerja di proyek infrastruktur di Allahabad, 30 April 2018. Sebagian besar perempuan pekerja, bekerja di sektor informal.

Hasil kajian pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 di kawasan Asia dan Pasifik yang dipaparkan dalam konferensi di Bangkok, Thailand, pada 27-29 November 2019 menunjukkan sejumlah kemajuan dalam upaya pemberdayaan perempuan, tetapi belum merata dan lambat.

Kesenjangan dalam pendidikan dasar telah teratasi, angka kematian ibu melahirkan juga jauh berkurang. Namun, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, partisipasi perempuan di bidang ekonomi dan politik pun masih rendah.

Secara regional, angka kematian ibu melahirkan di Asia dan Pasifik telah turun dari 342 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 1995 menjadi 211 pada 2017. Namun, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, berkisar 37-68 persen, di atas rata-rata global yang sekitar 33 persen.

Keterwakilan perempuan di bidang politik meski lebih dari dua kali lipat sejak 1995, tetapi tingkat partisipasi perempuan di parlemen hanya 18 persen atau hanya tumbuh 2 persen dalam 25 tahun.

Kondisi di Indonesia di empat masalah prioritas itu pun serupa. Saat ini semua anak laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan sama untuk bersekolah. Angka kematian ibu melahirkan juga turun dari 373 pada 1995 menjadi 305 pada 2015 (Supas, 2015). Angka ini telah melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PJMN) 2015-2019 sebanyak 306 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Lampung Taufiqurrahman Rahim memeriksa kondisi Erni (31) pasca kematian anak di dalam kandungannya, di RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung Sabtu (3/10/2015). Lampung merupakan salah satu provinsi dengan Angka Kematian Ibu melahirkan tertinggi. M

Partisipasi perempuan di bidang ekonomi maupun politik di Indonesia juga rendah. Data Profil Perempuan Indonesia 2018 menyebut, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan baru 50,89 persen, cenderung stagnan 10 tahun terakhir, itu pun sebagian besar di sektor informal (61,37 persen). Bandingkan dengan TPAK laki-laki yang mencapai 82,51 persen.

Meski angka partisipasi sekolah laki-laki dan perempuan sudah setara hingga tingkat perguruan tinggi, masalah struktural yang masih langgeng di masyarakat membuat partisipasi perempuan di pasar kerja rendah. Masih ada konsep kodrat bahwa tugas pengasuhan dan urusan domestik terutama jadi tanggung jawab perempuan.

Perempuan pekerja yang berkeluarga juga memiliki beban ganda karena ukuran sukses yang ditetapkan pada mereka tidak hanya sukses di bidang karier, tetapi juga harus sukses di urusan domestik. Tak sedikit perempuan  berhenti bekerja demi mengurus rumah tangga. Data menunjukkan 53,37 persen perempuan yang mengurus rumah tangga, pernah bekerja.

Masih timpang

Dari segi upah juga masih timpang. Upah pekerja perempuan hanya 77,13 persen upah pekerja laki-laki (Sakernas, 2017). Regulasi pemerintah yang bias jender mempunyai andil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya, menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Buruh perempuan Jawa Barat ikut berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (23/12/2019).  

Dampaknya, di banyak perusahaan, karyawan perempuan dianggap tidak mempunyai tanggungan meski dia berkeluarga dan mempunyai anak. Padahal sekitar 15,17 persen dari 131,48 juta perempuan adalah kepala keluarga (BPS, 2018).

Partisipasi perempuan di bidang politik juga baru sekitar 17,30 persen, masih jauh dari target 30 persen. Itu juga menunjukkan pelibatan perempuan dalam level pengambilan keputusan atau penetapan regulasi masih kecil. Padahal, makin banyak perempuan di level pengambilan keputusan, menumbuhkan harapan akan lahirnya kebijakan berorientasi pada terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender.

Mungkin jika lebih banyak perempuan jadi anggota DPR, dorongan untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga akan lebih kuat. Penundaan RUU itu juga menunjukkan pembentukan undang-undang belum mempertimbangkan kondisi kerentanan perempuan.

Padahal, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi, dan terus terjadi. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 (BPS, 2018), 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun (sekitar 28 juta) pernah mengalami kekerasan.

Komnas Perempuan, dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019, menyebutkan kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan meningkat 14 persen, yaitu dari 348.466 kasus pada 2017 menjadi 406.178 kasus pada 2018. Namun peningkatan ini bisa juga karena semakin banyak korban atau masyarakat yang berani melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan.

ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA

Warga membubuhkan tanda tangan saat aksi Menolak Kekerasan Terhadap Perempuan di Solo, Jawa Tengah, Minggu (9/12/2018). Aksi iniuntuk mendorong pemerintah serta DPR  segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual karena akan memberikan perlindungan terhadap perempuan dan mengurangi angka kekerasan seksual.

Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan cermin dari budaya ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap perempuan. Ini menjadi tantangan utama untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender. Mengubah pola pikir dan norma yang diskriminatif terhadap perempuan menjadi kunci.

Dunia berubah

Namun, perubahan dan perkembangan yang cepat akhir-akhir ini, seperti disrupsi teknologi dan perubahan iklim, membuat tantangan untuk mencapai kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan semakin berat.

Wakil Direktur Esekutif UN Women Anita Bhatia dalam pidato penutupan Konferensi Asia Pasifik Beijing+25 Review di Gedung PBB Regional Asia dan Pasifik di Bangkok, mengatakan, perubahan lingkungan dan disrupsi teknologi telah berdampak negatif pada hak dan kemampuan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.

Perubahan lingkungan dan disrupsi teknologi telah berdampak negatif pada hak dan kemampuan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.

Tren otomasi pekerjaan di era 4.0 bisa menggusur jenis pekerjaan administratif yang sebagian besar pekerjanya adalah perempuan. Peningkatan kapasitas dan kemampuan manajerial yang tak tergantikan oleh teknologi jadi solusi untuk bertahan di tengah tren otomasi pekerjaan. Upaya tak mudah di tengah masih adanya beban ganda yang ditumpukan kepada perempuan pekerja.

KOMPAS/NINA SUSILO

Pekerja Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI) merakit bagian-bagian truk. Otomatisasi digunakan, tetapi para pekerja terampil menyesuaikan dan mengecek pemasangan bagian-bagian truk. 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berdampak pada munculnya kasus-kasus baru kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat, kasus kejahatan siber berbasis jender meningkat, dari 65 kasus pada 2017 menjadi 97 kasus pada 2018.

Ancaman lainnya adalah perubahan iklim karena perempuan lebih banyak menanggung risiko terhadap perubahan iklim. Tanggung jawab perempuan sebagai pengurus sumber daya alam dan rumah tangga membuat mereka harus berusaha lebih saat terjadi gagal panen, kelangkaan air akibat perubahan iklim.

Pekerjaan rumah sangat banyak dan tidak ringan. Seperti dikatakan Danty Anwar, Staf Ahli Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kemitraan dan koordinasi antar pihak terkait diperlukan demi mencapai kesetaraan jender. Kerja sama dan koordinasi lintas bidang diperlukan untuk membangun kesadaran jender bersama.

Kompas, 27 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger