Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 22 Januari 2020

SERANGAN JENDERAL SOLEIMANI Kecerdasan Buatan Memudahkan Spionase dan Sekaligus Menakutkan (2) - Simon Saragih


HANDINING

Simon Saragih, wartawan senior Kompas

"Sangat signifikan, akurat. Informasi yang kami kumpulkan menunjukkandrone sudah terbang siaga, menunggu laju mobil," kata seorang pemimpin terdepan Hashd al-Shaabi kepada MEE. Dia berbicara tentang pesawat nirawak MQ-9 Reaper yang menyerang pejabat Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani, dan rombongan.

"Kami sudah tahu Amerika Serikat memburu mereka sejak lama, tetapi tidak berhasil. Jelas bahwa Amerika telah merekrut sejumlah orang yang dekat dengan target untuk mengikuti pergerakan dan bisa memastikan lokasi dan saat mereka hendak diserang," kata seorang pemimpin paramiliter.

"Pimpinan faksi-faksi bersenjata kini khawatir karena tidak tahu sejauh mana AS telah melakukan infiltrasi pada pergerakan mereka serta tidak tahu apa yang terjadi berikutnya," lanjutnya.

NBC News menguatkan semua keterangan tersebut. CIA tahu persis jet pembawa Soleimani menuju Baghdad, ibu kota Irak dengan dominasi militer AS, juga negara dan udaranya. Para personel militer AS di lokasi rawan atau strategis dipersenjatai dengan empat rudal Hellfire.

REUTERS/U.S. AIR FORCE/SENIOR AIRMAN CORY D. PAYNE

Pesawat nirawak atau drone MQ-9 Reaper terbang di atas markas angkatan udara AS di Nevada, AS, 25 Juni 2015. Pesawat semacam itu yang menembak dan membunuh pejabat Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani, Jumat (3/1/2020).

Pakar intelijen dengan spesialisasi sinyal mempertajam akurasi lokasi lewat telepon seluler yang dipakai. Bertahun-tahun hasil pemetaan dan pemantauan topografi dari satelit telah tersedia di layar-layar komputer yang mengoperasikan drone MQ-9 Reaper.

Markas US Central Command di Qatar, pelaksana operasi, tidak memiliki keraguan siapa penumpang di mobil. Pada layar di markas itu, pemantau bisa melihat serangan dari udara. Ini operasi yang luar biasa secara teknis dan intelijen. Dan, tampaknya akan menjadi hal rutin, taktik seperti itu untuk dijalankan.

NBC menulis, sasaran serangan menunjukkan hal terbaru, bagaimana AS semakin mahir memburu dan menyerang, khususnya di kawasan bermasalah di Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika. Ini preseden dalam 20 tahun terakhir ketika CIA berhasil melacak, tetapi tidak mampu menyerang Osama bin Laden.
"Kurang dari satu generasi, kami beranjak dari sesuatu yang tidak lazim, bahkan mungkin mirip sains fiksi, ke titik di mana hal itu menjadi kebiasaan baru," kata Peter Singer, seorang pakar tentang peperangan masa depan di New America Foundation. "Bahkan, pemimpin dan publik tercengang."

AP/KANTOR PEMIMPIN TERTINGGI IRAN

Dalam foto tanggal 18 September 2016 ini, pejabat Garda Revolusi, Jenderal Qassem Soleimani (tengah), menghadiri pertemuan di Teheran, Iran.

Laksamana Yamamoto

Pelajaran untuk mendalami serangan pasti tidak dimulai dalam 20 tahun terakhir saja. Serangan terhadap Soleimani juga bukan hal baru. Serangan oleh AS terhadap petinggi militer negara musuh sudah terjadi pada Perang Dunia II.

AS pernah menyerang pesawat pengebom yang menerbangkan Laksamana Isoroku Yamamoto, Panglima Armada Perang Jepang, di Pasifik Selatan. Yamamoto dikenal saat itu sebagai petinggi militer terdepan Jepang, mengotaki serangan kejutan Pearl Harbor (Hawaii) yang berujung dengan kekalahan Angkatan Laut AS pada 1942.

Yamamoto kemudian pada April 1943 merencanakan serangan terhadap pasukan sekutu di Guadalcanal, Kepulauan Solomon. Dia ingin membalas kekalahan Jepang, yang terpaksa mundur dari Guadalcanal.

Untuk itu, pada 18 April 1943 Yamamoto merencanakan kunjungan ke pangkalan udara Jepang di Bougainville dan bagian utara Kepulauan Salomon. Rincian kunjungan ini disebar lewat frekuensi radio kepada pimpinan militer Jepang di kawasan pada 13 April. Informasi itu memiliki kode yang hanya bisa dipahami Angkatan Laut Jepang. Hanya saja informasi itu disadap beberapa stasiun radio sekutu. Hanya butuh 18 jam memecahkan makna kode-kode lewat markas di Pearl Harbor (Hawaii) dan di Washington.

REPRO/KARTONO RYADI

Angkatan Udara Kerajaan Jepang membombardir Pearl Harbor, yang memicu perang di Pasifik pada Desember 1941. Banyak siswa Jepang dibuat tidak tahu apa-apa tentang kejahatan perang Jepang dalam Perang Dunia II.

Kemudian diketahui rincian informasi, seperti Yamamoto akan terbang dengan pengebom Mitsubishi G4M diiringi enam pesawat tempur A6M Zero. Mereka akan mendarat di Ballale, sebuah pulau di selatan Bougainville, pada pukul delapan pagi waktu Tokyo, 18 April 1943.

Pejabat Armada Pasifik, Edwin T Layton, memberikan keterangan kepada Laksamana Chester Nimitz pada pagi hari 14 April. Pulau Ballale mudah dijangkau pesawat tempur AS yang bermarkas di Guadalcanal.

Layton mengenang, Nimitz tidak segera setuju berdasarkan etika. Hanya saja Nimitz diyakinkan bahwa melumpuhkan Yamamoto akan berefek mementahkan nyali pasukan Jepang. "Anda paham, Laksamana Nimitz, serupa jika mereka menembakmu, tak akan ada yang bisa menggantikanmu," demikian Layton menguatkan Nimitz.

Bujukan meluluhkan Nimitz yang kemudian memerintahkan panglima Pasifik Selatan untuk memburu pesawat yang membawa Yamamoto. Presiden Franklin D Roosevelt dikatakan mengizinkan penyergapan Yamamoto walau tidak ada bukti resmi. Tugas penyerangan diserahkan ke US Army Air Force, 339th Fighter Squadron. Pasukan ini memiliki pesawat tempur bermesin ganda, Lockheed P-38 Lightnings, dan mampu menunaikan tugas tersebut.

U.S. NAVY PHOTO/RELEASED

Kapal penjelajah kelas berat milik Angkatan Laut AS, USS Indianapolis (CA-35), tengah berada di perairan Pearl Harbor, Hawaii, pada 1937. Kapal ini tenggelam pada 30 Juli 1945 setelah ditorpedo kapal selam Jepang di kawasan perairan sekitar Laut Filipina di pengujung Perang Dunia II.

Ballale sejauh 340 mil (547 kilometer) dari Guadalcanal. Hanya saja pesawat tempur AS harus berputar menghindari deteksi radar. Jarak penerbangan totalnya 1.000 mil (1.609 km) jika harus berputar itu. Mayor John W Mitchell, Komandan 339th, memilih para pilot P-38 untuk melakukan misi. Empat pesawat bertugas menyerang G4M yang membawa Yamamoto dan pasukan Zeros AS menjadi tameng.

Para pilot pun menerbangkan pesawat P-38 pada pukul 07.15 pagi. Mereka terbang rendah di atas permukaan laut, kurang dari 30 kaki (9 meter). Ini untuk menghindari pantauan radar musuh dan tidak harus dengan rute berputar. Tim tiba di selatan Bougainville pada pukul 09.34 pagi. Tak lama kemudian, konvoi pesawat Jepang terlihat menurun menuju Ballale. Letnan Rex T Barber, pilot P-38s, menembak mesin kanan dan tangki GM4. Yamamoto dan rombongan gugur.

Peperangan berubah total

Dari waktu ke waktu, modifikasi serangan dengan peningkatan kualitas dilakukan. Modifikasi dengan tujuan efektif dan sedikit korban. Itulah yang didalami AS. "Target serangan seperti yang menimpa Soleimani menggambarkan perubahan mendasar peperangan," kata Anthony Cordesman, yang mendalami kecenderungan militer di Center for Strategic and International Studies, Washington.

REUTERS/AIRMAN 1ST CLASS MICHAEL SHOEMAKER/USAF/HANDOUT

Operator pesawat drone MQ-9 Reaper sedang berlatih di stasiun kontrol darat di Pangkalan AU Holloman, New Mexico, AS, 3 Oktober 2012. Pesawat drone semacam itu yang dikendalikan dari Qatar menembak dan membunuh pejabat Garda Revolusi Iran Jenderal Qassem Soleimani, Jumat (3/1/2020), di luar Bandara Baghdad.

"Ini menuntut kecerdasan, pengawasan, dan upaya pengintaian yang sangat intensif. Pada dasarnya tidak ada negara lain di dunia yang dapat menandingi. Upaya mencapai hal itu berbiaya sangat mahal, menyita banyak waktu, dan memerlukan berbagai keahlian," katanya.

Memindahkan pikiran manusia ke dalam pesawat nirawak. Ini memungkinkan manusia, lewat pesawat nirawak, menyerang dari atas tanpa terdengar dan tidak terlacak. Kecerdasan buatan ini sebaliknya, membuat penyerang leluasa menjalankan rencana. Lepas dari jenis serangan ini, etis atau tidak, yang menjadi perdebatan setelah serangan AS terhadap Jenderal Soleimani.

Pelacakan jadwal dan rute perjalanan Soleimani memerlukan kesaksamaan.  Mengetahui di mana persisnya dia berada adalah gambaran dunia intelijen. Kemudian, dilanjutkan dengan menyerangnya tanpa mengorbankan banyak orang. "Namun, ini tugas yang pelik, bisa terjadi juga banyak kesalahan," kata seorang mantan operasi khusus yang paham apa yang terjadi.

Drone yang mengiringi mengeluarkan bunyi yang tidak mudah didengar. Tidak akan dirasakan oleh sasaran dan orang di bawahnya bahwa di atas mereka sedang ada pesawat nirawak penyerang.

REUTERS/JOSH SMITH

Pasukan Angkatan Udara Amerika Serikat mempersiapkan pesawat drone MQ-9 Reaper di pangkalan udara Kandahar, Afghanistan, 9 Maret 2016. Pesawat drone yang semacam itu yang dikendalikan dari Qatar menembak dan membunuh pejabat Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani, Jumat (3/1/2020), di luar Bandara Baghdad.

Apakah serangan ini mematikan perlawanan Iran dan negara-negara lain yang menjadi korban? Para pejabat intelijen tidak yakin dengan hal itu. "Jika saya seorang Dubes AS, saya tidak akan mengendarai mobil saya di masa datang," kata seorang pejabat.

Soleimani, orang yang rendah hati dan peduli pada perjuangan hakiki. Dia pernah berkomunikasi dengan Jenderal Petraeus, Komandan Pasukan AS di Irak, pada 2008. Petraeus berujar, serangan terhadap Soleimani tidak menjamin ketenangan, tetapi justru serangan balasan.

Kompas, 21 Januari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger