Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 16 Februari 2020

TEKNOLOGI: Satu Dekade Aktivisme Politik di Era Digital (ANDREAS MARYOTO)


Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Sepuluh tahun sudah aktivisme politik dengan menggunakan media sosial. Awalnya dari Timur Tengah, Facebook dan Twitter digunakan untuk membagikan informasi, menggalang massa, dan menumbangkan penguasa.

Media sosial telah mempercepat semua aksi itu sehingga dalam hitungan jam massa bisa membanjiri sebuah pertemuan atau aksi. Jauh berbeda dengan masa lalu, untuk menggarap massa dibutuhkan waktu berhari-hari hingga mereka matang untuk melakukan aksi di lapangan.

Meski demikian, kini banyak kritik terkait dengan penggunaan media sosial di dalam aktivisme. Belakangan muncul perkembangan baru, media sosial telah menjadi venue untuk perdebatan politik dan bahkan menjadi medan laga permusuhan politik.

Di Amerika Serikat, melalui sebuah survei diketahui, separuh warga terlibat dalam aktivisme politik di media sosial. Keterlibatan warganet dalam aktivisme itu terbagi dalam beberapa tindakan, seperti membuat forum dukungan, ajakan ke rekannya untuk terlibat dalam aksi, dan mencari informasi terkait dengan isu politik di platform media sosial.

Akan tetapi, di beberapa negara, perdebatan politik di media sosial telah memunculkan keterbelahan warga yang makin terlihat permanen. Keluhan lainnya, penggunaan media sosial untuk politik telah mengganggu warga dalam memperhatikan isu-isu penting.

AFP PHOTO / DANIEL LEAL-OLIVAS

Cambridge Analytica menyalahgunakan data pribadi pengguna Facebook untuk memenangkan Donald Trump pada Pilpres 2016 dengan limpahan informasi yang mengarahkan mereka mendukung Trump.

Isu yang bermunculan sebenarnya tak banyak terkait dengan hajat hidup orang banyak. Ribut isu-isu itu lebih besar dibandingkan hal-hal yang penting bagi warga, seperti penyakit, kebutuhan pangan, dan masalah lingkungan.

Kritik paling tajam juga muncul dari para aktivis yang terlibat dalam revolusi Musim Semi di Timur Tengah. Mereka mengakui bahwa media sosial mampu membuat gerakan berlangsung dengan cepat. Namun, pada akhirnya mereka sendiri tidak bisa bersatu begitu rezim tumbang.

Mereka saling bermusuhan sehingga penumpang gelap akhirnya memanfaatkan kejatuhan rezim. Mereka menyesal ternyata media sosial tak bisa menyatukan ketika mereka harusnya bersatu untuk mengendalikan perubahan. Mereka kehilangan fokus dan kehilangan arah hingga akhirnya gigit jari.

Kritik juga bermunculan ketika media sosial digunakan dalam pemilihan umum sehingga suara warga yang murni digiring oleh sebuah sistem yang dikendalikan dengan menggunakan teknologi sehingga suara warga itu berbelok.

Media sosial juga telah digunakan oleh kelompok teroris untuk mencari anggota baru dan mendidik mereka secara daring. Dengan mudah, mereka mendapatkan anggota-anggota baru dengan menggunakan materi-materi yang diunggah ke media sosial.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Warga mengakses aplikasi Telegram di ponselnya di Jakarta, Minggu (16/7/2017). Telegram merupakan salah satu media komunikasi yang umum dipakai jaringan teroris NIIS.

Hoaks dan ujaran kebencian juga menjadi fenomena baru di dunia media sosial. Orang dengan mudah dan tanpa kendali meneriakkan kabar bohong dan ujaran kebencian.

Kerusuhan di India dan Sri Lanka memperlihatkan sisi gelap media sosial. Harga yang harus dibayar mahal dengan kehadiran teknologi komunikasi ini adalah sejumlah orang meninggal sia-sia

Kabar bohong mudah dibikin dan disebar melalui media sosial. Orang hanya terperangah ketika sesama manusia saling bunuh hanya karena kabar bohong.

Lalu mau ke mana media sosial? Tidak ada yang bisa meramal. Kalangan ahli dan perusahaan teknologi pun mengakui tak mengetahui secara persis masa depan media sosial.

Penggalangan massa melalui media sosial untuk sebuah aksi politik masih terus terjadi, hoaks juga masih bermunculan, dan ujaran kebencian mudah beredar.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (11/3/2019). Hoaks yang semakin masif dinilai merugikan dan merusak proses demokrasi serta memicu rusaknya kohesi sosial di masyarakat.

Perusahaan media sosial berusaha memoderasi konten sehingga bisa mengurangi penyebaran kabar bohong dan ujaran kebencian, tetapi tetap saja masih tak bisa mencegah atau mengurangi penyebaran kabar bohong itu secara signifikan.

Beberapa tahun lalu mereka juga berkomitmen untuk melakukan berbagai pekerjaan agar bisa melindungi komunitas pengguna media sosial dari ujaran kebencian dan juga penyalahgunaan media sosial.

Mereka juga berusaha melindungi diri dari pengaruh pemerintah agar tetap netral dan tidak dipergunakan untuk kepentingan politik. Meski demikian, sekali lagi mereka tidak bisa memastikan masa depan media sosial.

Kombinasi komunikasi di media sosial dan pertemuan fisik ternyata memunculkan kekuatan yang sangat mungkin tidak terduga pada masa mendatang.

Sebuah artikel yang ditulis oleh Antonia Malchik menyebutkan, teknologi digital telah membuat akses dan konektivitas sangat mudah dan lebar tetapi menyisakan beberapa pertanyaan.

AFP PHOTO / LIONEL BONAVENTURE

Seseorang mengecek twit Barack Obama di ponselnya, 7 November 2012, sesaat setelah Obama terpilih kembali sebagai presiden AS. Obama merancang kampanyenya di media sosial dengan rinci, seperti mengumumkan kemenangannya via Twitter dan Facebook bersamaan dengan tayangan breaking news di televisi.

Media sosial sebagai produk dari teknologi digital selain memberi manfaat tetapi juga memudahkan orang menggangsir tata organisasi yang sudah dibuat orang.

Berbagai kekacauan bisa muncul karena orang dengan seenaknya menggunakan media sosial. Kita membutuhkan pegangan di sebuah era hubungan antarmanusia dengan menggunakan teknologi.

Kompas, 14  Februari‎ 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger