Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 02 April 2020

EPILOG: Para Dokter yang Mulia (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Dokter Bernard Rieux hanya orang biasa. Ketika suatu hari kakinya tersandung bangkai tikus di ruang tunggu apartemennya, ia menganggapnya sebagai peristiwa biasa.

Tetapi saat tiba-tiba dalam beberapa hari, tikus-tikus yang hidup di gorong-gorong kota Oran mati mencapai 8.000 ekor, ia sadar bahaya telah mengintai kota kecil di pinggiran Aljazair, koloni Perancis itu.

Dokter Rieux seseorang yang realistis. Ia bukan seperti Dokter Yuri Andreyevich Zhivago yang terlibat penuh dalam kancah Revolusi Bolshevik pada tahun 1918 di Rusia.

Zhivago dalam novel Doctor Zhivago karya Boris Pasternak berada di tengah-tengah kecamuk perang saudara antara faksi Bolshevik (Lenin) dan faksi Meshevik (Karensky). Namun, kedua faksi sama-sama ingin menumbangkan kekuasaan Tsar yang absolut.

Konon penerbitan novel ini pertama kali di Belanda tahun 1958, tak lepas dari operasi Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA). Penguasa Rusia melarang penerbitan Doctor Zhivago lantaran dianggap merongrong kekuasaan.

Sesungguhnya Dokter Rieux adalah representasi pemikiran filsafat eksistensialisme yang dikembangkan Albert Camus lewat novel monumental berjudul La Peste yang kemudian diterjemahkan NH Dini menjadiSampar. Kita lebih mengenal sampar sebagai penyakit pes di Indonesia.

Ilustrasi dokter tengah memeriksa urine dan nadi pasien penyakit pes dalam kondisi masyarakat diserang wabah pes pada abad ke-15.

Penyakit ini selama berabad-abad pernah meluluhlantakkan tatanan kehidupan dunia: sejak masa Byzantium diperintah Kaisar Justinian (541-542). Tahun 1346 kemudian menyerang Eropa melalui Genoa (Italia), merembet ke Rusia dan Skandinavia.

Sejak itu Eropa terus-menerus dilanda pandemi sampar pada1665-1666 (London) dan 1720 (Perancis). Wabah menakutkan ini pun akhirnya tiba di Jawa 1911 pada masa Hindia Belanda.

Kota Oran yang sederhana dan berpemandangan pantai, dalam beberapa minggu menjadi penjara bagi seluruh penduduknya. Pihak perfek(pemerintah daerah) memutuskan melakukan lockdown untuk mencegat penyebaran sampar agar tak semakin menggemparkan. Pintu masuk keluar kota dikunci dengan diawasi oleh aparat keamanan.

Bencana dan penderitaan dalam cara pandang pastor paroki kota Oran, Pastor Paneloux, adalah hukuman dari Tuhan akibat dosa-dosa yang telah dibuat oleh penduduk.

Oleh sebab itu dalam khotbah-khotbahnya, ia menyarankan agar semua penduduk berdoa. Apabila perlu, bertobat mengaku dosa kepada Tuhan. Dokter Rieux memandangnya dengan lebih realistis.

Penderitaan dan kematian memang tak bisa dihindari. Ia sangat paham, pada awalnya setiap bencana disikapi dengan penuh rasa tak percaya oleh manusia. Bahkan tak jarang manusia memberi kesan meremehkannya.

JULES ELIE-DELAUNAY/RENAISSANCE MUSEUM BREST

Lukisan karya Jules Elie-Delaunay, La Peste a Rome (1859), yang menggambarkan situasi wabah di Roma, Italia.

Tak ada cara lain, kata Rieux, untuk menyelamatkan warga kota Oran dari serangan epidemi sampar tahun 1940-an itu, selain melawan penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan manusia adalah sesuatu yang absurd, entah kapan dan dari mana ia datang, tetapi manusia harus menguatkan dirinya untuk melawan.

Dalam konsep Dokter Rieux, melawan adalah berbuat sesuatu yang bisa ia lakukan, tidak sebatas sebagai seorang dokter. Pada saat-saat sampar mencapai puncaknya di mana ratusan penduduk meninggal setiap hari, Rieux sadar, tugasnya tak cukup lagi sekadar menjadi dokter.

Ia harus berdiri paling depan untuk menguatkan warga dan melawan wabah. Ia memisahkan dan mengisolasi mereka yang terpapar dengan warga yang sehat meskipun tindakan itu kemudian justru menambah penderitaan warga semakin bertumpuk-tumpuk. Keterpisahan, keterasingan, dan seorang diri menjemput maut tiba menjadi kehancuran paling menyakitkan bagi manusia.

Realitas hidup yang dipenuhi oleh penderitaan akibat wabah, peperangan, dan bencana adalah absurditas yang tak membutuhkan penjelasan metafisis, apalagi religiositas. Bagi Dokter Rieux, ia harus menggemakan solidaritas dengan berada di antara mereka yang menderita. Terbukti, cara itulah yang kemudian perlahan-lahan membuat warga Oran hadir bahu-membahu, saling menguatkan untuk melawan epidemi.

Realitas yang kita hadapi hari-hari ini, barangkali serupa dengan apa yang pernah dikisahkan Albert Camus. Puluhan dokter telah menjadi korban keganasan Covid-19 di seluruh dunia.

Saya kehilangan Dokter Hadio Ali Khazatsin, seorang muda yang menemukan kesalahan diagnosis terhadap penyakit yang saya derita selama ini. Para dokter senior selama beberapa tahun telah mendiagnosis terjadi sumbatan pada pembuluh darah di kepala saya sehingga selalu merasa pusing dan kehilangan keseimbangan tubuh. Konon, sumbatan itu diakibatkan pula oleh pengentalan darah. Maka, saya antara lain diberi pil pengencer darah selama hampir dua tahun.

KOMPAS/FAJAR RAMADHAN

Sopir ambulans dan dokter Puskesmas Pasar Minggu sedang berusaha mencari dua pasien yang hendak diperiksa terkait Covid-19 di depan Ruang Pinere RSUP Persahabatan, Jumat (13/3/2020).

Ketika bertemu dokter Hadio, dia melihat kembali medical record yang ada di arsip sebuah rumah sakit. Secara cermat ia kemudian mendapatkan petunjuk bahwa ada kelainan dalam susunan tulang belakang saya, "Dan itulah yang menyentuh saraf-saraf di bagian belakang kepala," kata dokter ahli neurologi ini.

Setelah melewati beberapa tindakan medis, ia memastikan bahwa saya menderita HNP (hernia nucleus pulposus) atau kondisi ketika bantalan tulang belakang menonjol keluar sehingga menjepit saraf.‎

Saat menerima kabar Dokter Hadio menjadi salah satu dokter korban serangan Covid-19 bersama yang mulia para dokter di seluruh dunia, saya menunduk lesu. Dalam kepala penuh pertanyaan, bagaimana mungkin seorang dokter ahli saraf, yang tugasnya sehari-hari mendeteksi kelainan saraf para pasiennya, terpapar virus korona yang menyebabkan penyakit radang tenggorokan dan pneumonia? Meski belakangan saya tahu bahwa Dokter Hadio turut menangani pasien-pasien postif Covid-19, absurditas itu tak berhenti menyerang kepala saya.

Komisi Pengawas Nasional China (NSC) merasa perlu mengirim tim ke Wuhan di Provinsi Hubei untuk melakukan investigasi atas kematian Li Wen Liang. Li tak lain adalah dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Wuhan, yang pertama kali melaporkan adanya virus korona. Ia pun kemudian harus menjadi korban setelah dinyatakan terpapar Covid-19.

Bukankah peristiwa itu menjadi tragedi yang absurd dalam hidup seorang dokter? Lebih absurd lagi, Li bukan dokter ahli penyakit dalam, ia dokter ahli mata, yang atas inisiatifnya turut berada di garis depan melawan pandemi.

Menurut kabar, Li bahkan sempat memperingatkan rekan-rekan sesama dokter agar mengenakan pakaian khusus karena telah tersebar virus mematikan yang sejenis dengan virus SARS. Atas penyebaran berita soal virus itu, Li sempat ditahan otoritas keamanan setempat.

AFP/ANTHONY WALLACE

Upacara penghormatan terakhir dokter Li Wenliang (34) di Hong Kong (7/2/2020). Wenliang meninggal di Wuhan akibat tertular Covid-19 pada 7 Februari 2020. Ia adalah dokter yang pertama kali memperingatkan Pemerintah China tentang bahayanya penyakit ini.

Belum selesai cerita duka itu, menyusul kemudian China kehilangan dokter Mei Zhang Ming, dokter kepala yang menjadi wakil direktur departemen optalmologi di rumah sakit yang sama.

Lagi-lagi seorang dokter ahli mata harus berpulang karena terpapar Covid-19. Li dan Mei tak lain adalah dokter yang pertama-tama merawat para penderita Covid-19 sebelum akhirnya meledak menjadi pandemi pada awal Maret 2020.

Kabar duka tak berhenti sampai di sana. Peng Yin Hua, dokter yang dengan sadar menunda pernikahannya agar bisa membantu para pasien Covid-19 di Provinsi Hubei, turut pula menjadi korban. Peng mengembuskan napas terakhirnya dalam perawatan di Rumah Sakit Rakyat Pertama di Distrik Jiangxia, Hubei.

Para dokter yang mulia ini bagi Albert Camus sesungguhnya telah bertarung di garis depan pandemi dengan "menanggalkan" profesinya sebagai seorang dokter sebagaimana pula dilakukan dokter Rieux.

Tiba-tiba negara tetangga kita, Filipina, melaporkan bahwa sembilan dokter mereka telah menjadi korban keganasan virus korona. Lalu di Tanah Air, enam dokter, termasuk dokter Hadio, meninggal karena virus yang sama.

Tak terhitung pula berapa ratus tenaga medis yang telah terpapar dan harus menjalani isolasi selama 14 hari. Selain dokter Hadio, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menyebut nama-nama seperti dokter Djoko Judodjoko, dokter Laurentius, dokter Adi Mirsa Putra, dokter Ucok Martin, dan Prof Bambang Sutrisna.

Para dokter yang mulia ini bagi Albert Camus sesungguhnya telah bertarung di garis depan pandemi dengan "menanggalkan" profesinya sebagai seorang dokter sebagaimana pula dilakukan oleh dokter Rieux.

YAMIL LAGE/AFP

Para dokter dan perawat Kuba dari Henry Reeve International Brigade mengikuti upacara pelepasan sebelum mereka diberangkatkan ke Andora untuk membantu memerangi wabah Covid-19 pada 28 Maret 2020.

Di tengah kehampaan harapan dan para korban yang terus bergelimpangan, para dokter ini menjadikan dirinya sebagai martir perjuangan melawan penderitaan.

Dalam Sampar, Rieux menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan serum yang dikirim dari Paris agar bisa segera menolong para korban. Serum itu pun masih harus dicobakan kepada seorang anak untuk membuktikan keampuhannya.

Dalam peperangan melawan Covid-19, harapan hanya bisa dibangkitkan dengan memberontak terhadap penderitaan itu sendiri sebagaimana dikonsepkan dalam absurditas filsafat eksistensialisme. Bahwa keberadaan manusia di dunia telah membawa absurditas ketika mempertanyakan dirinya di hadapan kematian.

Mengapa kesenyapan itu yang pada akhirnya menjadi ujung dari pengembaraan hidup manusia? Camus tidak membawa pertanyaan metafisis, seperti ke mana manusia setelah mati? Namun, ia memberontak terhadap kematian itu sendiri. Isyarat akan kematian, seperti pandemi, harus dihadapi dengan memosisikan diri pada orang-orang yang menderita.

Di situlah para dokter dan segenap para medis telah menunjukkan sikap mulia, tak kenal lelah, bahu-membahu dalam serba "kehampaan" akan harapan.

Jika Rieux menggantungkan harapan pada pengiriman serum sampar dari Paris, para dokter di seluruh dunia, termasuk para dokter di Indonesia, menumpukan "harapan" pada kecepatan para farmakolog dan virulog untuk memecahkan misteri virus SARS-CoV-2.

AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDS

Direktur Deteksi Antibodi dan Pengembangan Vaksin Nita Patel mengamati model komputer yang memperlihatkan struktur protein dari vaksin potensial untuk Covid-19 di laboratorium Novavax di Rockville, Maryland, Amerika Serikat, Jumat (20/3/2020).

Pemecahan misteri itu semoga berujung pada penemuan vaksin Covid-19, yang bisa dengan segera diterapkan secara massal kepada warga dunia.

Betapa pun menumbuhkan harapan sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis. Para dokter yang telah mengorbankan dirinya dalam menghadapi pandemi Covid-19 adalah harapan yang tersemai di tanah penderitaan dan pada akhirnya semoga tumbuh menjadi kemuliaan yang sempurna.

Kompas, 1 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger