Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 Mei 2020

IDOLA DAN PENGGEMAR: Kekuatan Penggemar ”Lord” Didi Kempot (BUDI SUWARNA)


KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Penggemar fanatik antusias menyanyi saat Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah,Selasa (30/7/2019). Didi Kempot menjadi perbincangan warganet. Lirik dan musik Didi Kempot bertema cinta dan patah hati seperti mewakili kisah anak-anak muda.

Dalam sejarah musik populer Indonesia, Didi Kempot adalah salah satu idola dengan kekuatan penggemar begitu dahsyat. Mereka bukan sekadar konsumen, tapi juga produsen yang sangat aktif mengonstruksi ulang citra sang idola berikut lagu-lagunya yang bertutur soal patah hati.

Setahun terakhir ini, panggung musik populer seolah jadi milik Didi Kempot seorang. Boleh dikata hampir tidak ada penyanyi yang mampu menyaingi popularitas Didi dan pesona musik campursari yang ia usung. Konsernya di mana-mana selalu dijejali penonton. Begitu acara usai, potongan suasana konser dan pengalaman penontonnya segera berpindah ke media sosial untuk dikomentari, dimaknai ulang, dan dirayakan bersama.

Yang menarik, sebagian penggemar Didi Kempot setahun terakhir ini adalah anak muda yang mungkin belum lahir ketika lagu populer "Stasiun Balapan" dan "Sewu Kuto" diciptakan. Para penggemar generasi baru ini menamakan diri Sad Boys, Sad Girls, atau Sobat Ambyar. Mereka adalah penggemar generasi baru Didi Kempot yang lebih ekspresif dan sangat aktif di media sosial. Didi menyebut mereka cah-cah pinter dan keren.

Popularitas Didi Kempot setahun terakhir ini adalah popularitas keduanya. Popularitas pertamanya di Tanah Air ia raih tahun 2000-an lewat lagu "Stasiun Balapan" setelah susah payah melata menuju tangga kesuksesan selama nyaris dua dasawarsa sejak 1987, termasuk dengan menjadi musisi jalanan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2019). Didi Kempot meraih popularitas kedua dalam kariernya sejak pertengahan tahun lalu.

Sejak lagu "Stasiun Balapan", nama Didi terus melejit di kancah permusikan campursari lewat lagu-lagu seperti "Sewu Kutho", "Parangtritis", hingga "Tanjung Mas Ninggal Janji". Namun, segmen penggemarnya masih sebatas penggemar berbahasa Jawa.

Sejak pertengahan 2019, Didi mencapai gelombang popularitas kedua dengan segmen pendengar yang lintas usia, gender, suku, bahasa, dan pandangan politik. Orang-orang dengan latar belakang identitas beragam itu, tiba-tiba berbaris dalam jajaran fan fanatik Didi Kempot yang memiliki kekuatan dahsyat untuk menggerakkan orang dan membangun wacana lewat kharisma Didi Kempot.

Kekuatan penggemar dan kharisma Didi Kempot terbukti ampuh menggelar konser amal bersama bersama KompasTV pada pertengahan April lalu. Konser untuk menghimpun dana bagi warga terdampak pandemi Covid-19 itu, dalam waktu singkat mampu mengumpulkan dana sekitar Rp 7,6 miliar. Sebuah angka yang fantastis.

Bagaimana kita bisa menjelaskan kekuatan penggemar semacam ini? Apakah ia sekadar konsumen dari produk dan citra yang dihasilkan oleh sang bintang?

Penggemar aktif

Eksistensi fan sejak lama menjadi kajian menarik dalam studi tentang musik populer dan komunikasi massa. Setidaknya ada tiga pendekatan yang dominan dalam memahami sosiologi konsumsi musik populer (Wall 2003, Betts 2004).

Pendekatan pertama muncul era 1930-an yang bertumpu pada teori budaya massa (mass culture). Pandangan ini menganggap konsumsi musik sebagai sebuah fanatisme yang diasosiasikan dengan histeria massa. Karena fanatisme itu, penggemar dianggap memiliki kondisi mental yang rentan, emosional, obsesif, suka berfantasi, dan kekanak-kanakkan.

Teori ini dikritik oleh para peneliti yang muncul sejak era 1950-an. Mereka tidak percaya bahwa penggemar bisa begitu pasif dan tak berdaya dalam mengonsumsi musik. Pandangan ini didasari kenyataan bahwa anak-anak muda kelas menengah AS pasca Perang Dunia II aktif terlibat dalam pembentukan kultur musik populer. Mereka memilih musik sesuai selera, identitas, dan cara hidup mereka.

Satu dekade kemudian, bahkan, muncul kelompok-kelompok anak muda yang memaknai musik sebagai alat untuk melawan dominasi budaya arus utama dan elite politik. Mereka antara lain kelompok rasta, skinhead, punk, mod, ted, dan rudie. Kehadiran kelompok-kelompok altenatif itu memunculkan teori subkultur yang memandang musik sebagai elemen perlawanan terhadap kekuatan dominan.

KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI

Ribuan penonton yang sebagian besar anak muda menyimak lagu-lagu yang dibawakan penyanyi campursari Didi Kempot saat tampil sebagai penutup hari pertama perhelatan Synchronize Fest 2019, Jumat (4/10/2019).

Pada era 1980-an, muncul pendekatan ketiga yang disebut fan culture. Alih-alih menyodorkan ide perlawanan seperti pendekatan subkultur, pendekatan ini menyodorkan cara untuk memahami praktik-praktik pewacanaan dalam konsumsi musik. Pendekatan ini menempatkan penggemar yang tidak hanya mengonsumsi, tapi juga aktif memproduksi aneka makna dari apa yang ia konsumsi termasuk citra sang bintang lewat aneka kegiatan seperti pertemuan penggemar, percakapan, atau diskusi musik.

Penggemar Didi Kempot termasuk fan generasi ketiga yang aktif memberi makna pada citra sang bintang, pesan dalam karya-karyanya, bahkan citra musik yang diusungnya. Bahkan, mereka berperan dalam memicu gelombang popularitas kedua Didi Kempot.

Merumuskan patah hati

Gelombang popularitas kedua Didi Kempot awalnya dipicu oleh viralnya video aksi Didi di Taman Balekambang, Solo, Jawa Tengah pada 9 Juni 2019. Fajar Romadona, salah satu penggagas Sad People Club, menceritakan, ia dan sejumlah rekannya di komunitas Rumah Blogger Indonesia iseng merekam pertunjukan itu kemudian mengunggahnya di media sosial. Tidak dinyana ternyata video itu menjadi viral dan terus dibagikan di media sosial hingga akhir Juli.

Sebulan kemudian, muncul lagi video Didi saat manggung di acara Ngobam (Ngobrol Bareng Musisi) di kanal Youtube Gofar Hilman. Video itu menampilkan seorang pemuda yang tampak nelangsa ketika mendengarkan lagu "Kalung Emas" yang liriknya menyayat-nyayat hati kaum patah hati. Ia mengikuti lirik lagu itu, "loro atiku, atiku kelaran loro. Rasaning nganti tembus ning dada" (sakit hatiku, hatiku sakit. Rasanya seperti menembus dada). Tragedi patah hati itu segera menular di media sosial.

KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Didi Kempot tampil di acara Harlah ke-21 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Selasa (23/7/2019). Ratusan penggemar yang dinamai "sad boys" dan "sad girls" antusias menonton sang idola yang mereka juluki The Godfather of  Brokenhearted atau Bapak Patah Hati Nasional.

Video itu segera viral dan memicu gelombang ekspresi patah hati di ruang-ruang virtual dalam bentuk komentar, curhat, dan simbol-simbol seperti gambar jantung hati retak yang direkatkan oleh plester. Anak-anak muda generasi baru penggemar Didi Kempot itu ramai-ramai mengkonstruksi ulang soal makna patah hati, kesedihan, hingga relasi antara laki-laki dan perempuan.

Sebagian besar dari mereka melakukan itu sebagai bentuk ekspresi spontan. Namun, sebagian lainnya punya intensi lain. Fajar Romadona, penggagas Sad People Club, mengatakan, ia dan kawan-kawannya sengaja memenuhi ruang maya dengan aneka makna dan citra Didi Kempot pada Juni tahun lalu. Selain untuk menjaga bola api kehadiran pencinta Didi, ia ingin menghadirkan warna baru di jagat maya yang sumpek dengan percekcokan politik yang terus bertengkar meski pemilu sudah lama usai.

Setelah beberapa bulan kita dicekoki hal berbau politik, kami berpikir untuk memunculkan tema lain yang bisa memberikan warna baru sekaligus merangkul semua kalangan menjadi satu

"Setelah beberapa bulan kita dicekoki hal berbau politik, kami berpikir untuk memunculkan tema lain yang bisa memberikan warna baru sekaligus merangkul semua kalangan menjadi satu," ujar Fajar.

Selain merumuskan ulang pesan-pesan patah hati dalam lagu Didi Kempot, mereka juga mengkonstruksi citra penggemar Didi sebagai barisan orang-orang patah hati, cintanya ambyar, sad boys, dan sad girls. Citra itu begitu kokoh menggeneraliasi penggemar Didi Kempot sebagai orang-orang yang patah hati.

Penggemar Didi Kempot dengan kaus Sobat Ambyar di Solo, Jawa Tengah,  Selasa (5/5/2020). Sobat Ambyar menjadi salah satu identitas basis penggemar Didi Kempot.

Makin kokoh lagi ketika mereka memberi gelar The Godfather of Broken Heart alias Bapak Patah Hati Nasional kepada Didi Kempot. Lantas, para penggemar ramai-ramai menggali dan menarasikan ulang Didi Kempot yang sederhana dan kenyang mengalami patah hati dan aneka penolakan.

Narasi-narasi baru produksi barisan penggemar Didi Kempot pada akhirnya mengepung ruang virtual dan imajinasi begitu banyak orang. Para penulis dan pengamat lantas tergoda untuk mereflesikan sosok Didi Kempot dan narasi patah hati ke dalam wacana yang lebih luas seperti politik dan filsafat. Baru kali ini rasanya urusan patah hati yang biasanya personal dan tidak politis, ditarik dalam konteks sosial dan politik yang demikian canggih.

Inilah kekuatan penggemar terutama di era digital ketika orang menggantungkan harapan dengan ungkapan "social media do your magic!". Penggemar di era ini adalah konsumen dan produsen makna. Tentu saja kekuatan penggemar tetap bertumpu pada bakat dan kharisma kuat sang idola. (SKA/SAN)

Kompas, 10 Mei 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger