Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 21 Juni 2020

CATATAN URBAN: Pak dan Bu RW, Tugas Melawan Pagebluk Kini Ada di Tanganmu (NELI TRIANA)


KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Tanpa masker, warga berjalan melintasi mural tentang ajakan melawan Covid-19 menghiasi bangunan di Kranggan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (6/6/2020).

Sore itu berkendara berkeliling seputar Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Setibanya di Jalan Boulevard Bintaro Jaya, tak jauh dari Pintu Tol Kunciran-Serpong, keramaian menggila.

Selain padat kendaraan bermotor di ruas aspal, banyak orang memenuhi trotoar lebar dan lahan-lahan kosong berumput hijau tak jauh dari Pintu Tol Kunciran-Serpong.

Bersepeda, menongkrong, main layang-layang, lari-lari, atau jalan santai dilakukan banyak orang dari berbagai usia. Sebagian besar bermasker, tetapi jamak terlihat masker melorot menutup dagu, bukan hidung dan mulut.

Sedikitnya dua mobil petugas keamanan berhenti tak jauh dari restoran cepat saji di kawasan tersebut. Lebih dari 10 petugas keluar dari mobil. Kehadiran mereka serasa seperti setitik air di tengah padang gersang. Upaya penegakan protokol kesehatan pencegah penularan Covid-19 sore itu berakhir sia-sia.

Tidak hanya di dalam kota atau kawasan Jabodetabek, lalu lalang orang bebas saja di jalan tol sekeliling Jakarta. Saat mencoba berkendara ke Maja di Kabupaten Lebak, akhir Mei lalu, tidak ada petugas di Pintu Tol Balaraja Barat dari arah Tangerang atau Jakarta menuju Merak. Di arah sebaliknya, baru ada petugas yang mencegah orang-orang tanpa surat izin keluar masuk (SIKM) melaju ke arah Ibu Kota.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga berolahraga mengayuh sepeda mengitari kawasan Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta Pusat, Minggu (14/6//2020).

Namun, tidak ada pemeriksaan sama sekali sepulang dari Maja melalui jalan reguler yang langsung tembus ke Cisauk, Kabupaten Tangerang. Dari Cisauk melewati Serpong masuk ke tol, sampailah ke Tangerang Selatan lalu Jakarta Selatan. Tanpa hambatan.

Kondisi tersebut tidak mengagetkan karena memang sudah biasa. Apalagi saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang per Juni ini memasuki masa transisi atau pelonggaran. Keramaian di tempat umum pun makin tereskalasi. Masih ingat, kan,soal antrean panjang masuk ke Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, pertengahan minggu lalu? Juga ada viral rombongan sepeda memenuhi Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta Pusat dan lautan pesepeda di Mojokerto, Jawa Timur.

Pelonggaran

Masa transisi untuk proses beradaptasi menjalani kehidupan sehari-hari pada masa pandemi ini menjadi kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mulai membiasakan warga beraktivitas kembali, tetapi dengan tata cara baru sesuai protokol kesehatan. Hampir semua fasilitas yang sebelumnya ditutup, seperti taman kota, perkantoran, dan pusat perbelanjaan, kini dibuka.

Kementerian Perhubungan menyusul menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 116 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Masa Berlaku Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Keputusan menyatakan, pengendalian dan larangan arus mudik dan balik berlaku hingga 7 Juni 2020.

Usai 7 Juni tak ada lagi pengendalian besar-besaran. Di Kota Bekasi, Tangerang Selatan, bahkan Jakarta, pelonggaran penerapan kebijakan SIKM nyata terjadi. Apalagi ketika pengawasan SIKM diserahkan pada pengurus RT dan RW.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Tanpa masker, tanpa jaga jarak, warga asik menyebar umpan pancing untuk menarik perhatian ikan-ikan di tepi Situ Cipondoh, Tangerang, Banten, Minggu (7/6/2020).

Masalahnya, RW memiliki aturan tersendiri yang membatasi wewenangnya sehingga sulit untuk bisa menjalankan tugas di luar kekuasaannya. Aturan tersebut, yaitu Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga yang kemudian sebagian pasalnya direvisi dan ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga.

Dalam Pasal 5 kedua pergub RT/RW tersebut dijelaskan bahwa setiap RT sedikitnya terdiri atas 80 keluarga dan maksimal 160 keluarga dalam cakupan wilayah tertentu. Setiap RW minimal ada 8 RT dan maksimal 16 RT. Dari dasar aturan ini, setiap RW minimal memiliki 640 keluarga hingga 2.560 keluarga. Itu tidak terhitung ketika di satu wilayah ada banyak kontrakan, rumah sewa, atau kos yang tak terdaftar. Sudah menjadi pengetahuan umum, para pemilik kontrakan dan penyewa tidak selalu melapor pada RT/RW setempat.

Di Jakarta saja penduduknya 11.058.944 jiwa, tersebar di 44 kecamatan, 267 kelurahan, dan 2.741 RW. 

Pada Pasal 2 dan 3 dijelaskan RT/RW berkedudukan sebagai lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh, dari, dan untuk masyarakat serta merupakan organisasi ketetanggaan dan kewargaan berdasarkan wilayah teritorialnya masing-masing. Tujuan dibentuk RT/RW adalah membantu lurah dalam pelaksanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam Pasal 40 ditegaskan hubungan RT/RW dan lurah bersifat konsultatif dan koordinatif.

Terkait fungsinya, dalam Pasal 21 disebut pengurus RT/RW bisa menjadi mediator dan fasilitator bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Tugas lain, di antaranya, menjadi sumber data dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan kelurahan. Jumlah pengurus RT/RW sedikitnya empat orang, yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara ditambah seksi untuk RT dan bidang untuk RW. Seksi dan bidang ditentukan sesuai kebutuhan internal setiap RT/RW.

Mata-mata

Fungsi RT/RW sesuai peraturan berlaku tersebut lebih bersifat pelayanan kepada masyarakat, antara lain pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya serta pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antarwarga. Sosialisasi peraturan atau kebijakan dari pemerintah daerah setempat juga menjadi tugas RT/RW, tetapi tanpa disertai wewenang untuk menindak secara hukum.

Fungsi RT/RW ini tidak jauh beda dengan lembaga kemasyarakatan serupa yang dibentuk pada masa penjajahan Jepang. Aiko Kurasawa dalam bukunya, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, menyinggung tentangtonarigumi dan azajokai yang diyakini sebagai cikal bakal RT dan RW.  Jepang dulu membentuk tonarigumidan azajokai sebagai perpanjangan tangan militer untuk mendapat asupan informasi sekaligus memastikan perintahnya terlaksana sampai ke akar rumput.

Pada masa sekarang, kondisinya sudah sangat berbeda. Melimpahkan kebijakan pengawasan orang keluar masuk begitu saja kepada pengurus RT/RW tidak berbeda dengan mengembalikan semua tanggung jawab kepada masyarakat. Jika mau wilayahnya tak dijadikan tempat penularan Covid-19, di tingkat RT/RW harus aktif sendiri bekerja sama antara pengurus dan warga ketat menjalankan protokol kesehatan. Jika tidak ada saling kesepahaman bersama, menangkal pandemi di tingkat RT/RW sama seperti kehadiran grup kecil petugas keamanan di tengah keramaian orang yang mengacuhkan protokol kesehatan di Bintaro tadi, sebuah kesia-siaan.

Melimpahkan kebijakan pengawasan orang keluar masuk begitu saja kepada pengurus RT/RW tidak berbeda dengan mengembalikan semua tanggung jawab kepada masyarakat.

Di sisi lain, di tengah kepadatan dan cairnya batas-batas administrasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, bagaimana bisa membatasi antarwilayah RT/RW yang patuh protokol dengan mereka yang longgar-longgar saja. Lagi-lagi, semua sepertinya dikembalikan kepada warga untuk terbentur-terbentur sendiri dan lantas harapan idealnya bisa terbentuk tatanan baru yang lebih higienis.

Kalaupun memang kondisi tersebut diciptakan agar masyarakat cepat belajar beradaptasi di era baru, di mana pandemi disebut akan selalu ada, sesiap apakah pemerintah mendukung dengan memenuhi kewajiban minimalnya seperti dalam hal menyediakan dan menyiapsiagakan fasilitas kesehatan?

Jakarta, misalnya, menyatakan memiliki fasilitas kesehatan mulai dari fasilitas tes usap reaksi rantai polymerase (PCR), ruang intensive care unit (ICU), hingga ventilator berlebih. Dari laporan laman corona.jakarta.go.id, hingga 18 Juni 2020, sudah 223.427 orang dari sekitar 11 juta jiwa warga Ibu Kota yang menjalani tes usap dalam tiga bulan terakhir. Sementara aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mewajibkan satu dari 1.000 penduduk harus menjalani tes per minggu. DKI pun menyatakan telah jauh melampaui standar WHO.

Namun, perlu diingat bahwa masa inkubasi virus korona baru penyebab Covid-19 setidaknya 14 hari. Setiap orang yang menjalani tes usap pada April lalu dan hasilnya negatif, misalnya, tetap berpotensi tinggi terinfeksi korona. Begitu juga bagi yang telah sembuh dari Covid-19, tetap bisa terinfeksi kembali. Untuk itu, selama vaksin belum tersedia, pertanyaan utama adalah mampukah pemerintah pusat dan daerah menyiapkan sistem deteksi dini berupa tes usap massal berkala dua pekan sekali, sebulan sekali, atau dalam periode waktu tertentu.

Kesiapsiagaan belum merata

Data Gugus Tugas Covid-19 Nasional menyebutkan ada penambahan 1.331 kasus positif dalam satu hari saja pada Kamis (18/6/2020). Total kini ada 580.552 spesimen tes PCR dari seluruh negeri yang sekitar separuhnya adalah sumbangan dari DKI Jakarta. Di luar Jakarta ketimpangan antara kebutuhan tes usap dan jumlah penduduk masih tinggi. Ini belum bicara ketersediaan tempat perawatan, alat kesehatan, dokter, perawat, dan tentu saja anggaran dananya.

Tangkapan layar infografik data per 18 Juni 2020 dari laman covid19.go.id

Hal ini menunjukkan kesiapsiagaan pemerintah pusat dan daerah belum merata. Pemerintah pusat dan daerah, seperti Jakarta, menjanjikan akan ada evaluasi PSBB transisi atau pelonggaran. Untuk DKI Jakarta, evaluasi dijanjikan pada akhir Juni nanti. Setelah evaluasi, baru akan diumumkan langkah-langkah selanjutnya dalam melawan pandemi.

Sekarang, semua berlangsung apa adanya saja. Sembari berharap ke depan akan ada strategi penangkal pagebluk yang lebih jelas dan efektif, nasib warga kini dititipkan kepada pihak terdekat yang notabene adalah bagian dari warga sendiri, yaitu anggota masyarakat yang ketiban sampur menjadi pengurus RT dan RW. Sanggupkah? Semoga dikuatkan, ya, Pak dan Bu RT/RW.

Kompas, 20 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger