Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 21 Juni 2020

Kerja Sama Melukis Wajah Dunia (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, Wartawan Kompas 1988-2018

Ada keyakinan bahwa pandemi Covid-19 akan mengubah wajah dunia. Namun, tidak ada yang tahu kapan krisis kemanusiaan dahsyat ini akan berakhir. Meski demikian, keyakinan bahwa dunia akan berubah, berbeda dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19, tetaplah kuat. Sekalipun seperti apa perubahan yang akan terjadi masih menjadi bahan perdebatan.

Sejumlah ahli berpendapat bahwa pandemi Covid-19 telah mempercepat transisi ke tatanan dunia yang lebih terfragmentasi di mana prinsip-prinsip pengorganisasian sistem internasional di masa depan tidak jelas. Dalam lingkungan geopolitik yang baru, semakin sulit bagi satu negara untuk melaksanakan dan mewujudkan keinginannya karena banyaknya kutub persaingan dan bekerja sama.

Apalagi, sebelum pandemi Covid-19 menyapu, dunia penuh dengan berbagai masalah berat, serius. Ketimpangan makin nyata, baik antar-negara maupun di dalam negara. Di AS, misalnya, yang selama ini dikenal sebagai negara paling kaya di dunia, ada jutaan orang (pada tahun 2018 diperkirakan 87 juta orang) tidak memiliki jaminan kesehatan. Ini yang antara lain menjadi salah satu penyebab begitu banyaknya korban Covid-19. Politik anti-demokrasi sedang merebak di mana-mana. Misalnya, di negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil dan Bolivia, atau Eropa seperti Polandia dan Hongaria, atau di Asia seperti Filipina.

Sejarah telah mencatat bahwa krisis besar memiliki konsekuensi besar; konsekuensi besar itu biasanya tidak terduga. Depresi Hebat (Great Depression) mendorong isolasionisme, nasionalisme, fasisme, dan Perang Dunia II; tetapi juga melahirkan New Deal, bangkitnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya global, dan akhirnya dekolonisasi.

Serangan 9/11 menghasilkan dua intervensi militer Amerika yang gagal ke Afghanistan, kebangkitan Iran, dan bentuk-bentuk baru radikalisme. Selain itu, muncul kebijakan baru AS: unilateralisme, perubahan rezim, dan sekuritisasi kebijakan luar negeri ke Eropa, terutama berkaitan dengan Timur Tengah dan dunia Muslim (Francis Fukuyama, Foreign Affair, 2020).

GETTY IMAGES/AFP/JOHN MOORE

Seorang perawat membersihkan pasien Covid-19 di Stamford Hospital Intensive Care Unit pada 24 April 2020 di Stamford, Connecticut, AS. AS menjadi negara dengan korban terbesar pandemi virus korona.

Krisis keuangan 2008-2009 menghasilkan gelombang populisme anti-kemapanan yang menggantikan para pemimpin di seluruh dunia. Ada tiga ciri utama populisme, yakni anti-kemapanan, cenderung otoriter, dan nasionalisme sempit.

Ini berarti bahwa populisme adalah pandangan khusus tentang bagaimana masyarakat itu harus disusun, tetapi hanya membahas bagian terbatas dari agenda politik yang lebih besar. Sebagai contoh, populisme tidak banyak berbicara tentang sistem ekonomi atau politik ideal yang harus dimiliki oleh negara (populis). Ciri-ciri dasarnya adalah: moralitas dan monisme (Cas Mudde, 2015).

Akibat krisis keuangan global, terjadi pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur (Kishore Mahbubani, 2008). Ada dua perubahan besar: pertama, berakhirnya era dominasi Barat dalam sejarah dunia. Namun, tidak berarti berakhirnya Barat. Kedua, Asia kembali ke tengah panggung dunia yang pernah didudukinya selama 18 abad sebelum munculnya Barat.

Dari tahun pertama Masehi hingga 1820, China dan India secara konsisten menjadi dua ekonomi terbesar dunia. Dan, mereka akan kembali lagi menjadi pemain utama dunia serta memunculkan apa yang  disebut sebagai "Asian Century", Abad Asia.

Dan, pandemi Covid-19 ini, menurut Stephen W Malt (Foreign Policy, 2020) akan mengakselerasi pergeseran kekuatan dari Barat ke Timur itu. China adalah negara yang pertama kali menjadi korban pandemi Covid-19 (malahan sebagai asal-muasal Covid-19); dan pertama kali pula keluar dari "kekuasaan" Covid-19 meskipun beberapa hari lalu diberitakan muncul serangan baru di Beijing. Namun, China menjadi negara pertama yang "menghidupkan" kembali kegiatan bisnisnya setelah di-shutdowns untuk memotong perluasan pandemi.

Sebagai gambaran bahwa China akan menjadi yang terdepan terlihat dari proyeksi terakhir Dana Moneter Internasional (IMF), yakni perekonomian China tumbuh lebih dari 1 persen pada tahun 2020 ini; sementara AS kemungkinan akan mengalami kontraksi hampir 6 persen tahun ini—lebih buruk daripada penurunan pertumbuhan global 3 persen (CNBC, Mei 2020).

AFP/GREG BAKER

Warga mengenakan masker saat berjalan menuju pusat tes korona di Beijing, 19 Juni 2020. China mulai memutar roda ekonomi meski kemudian muncul kluster baru penularan Covid-19 di Beijing.

Kerja sama global

Sejarah juga mencatat bahwa ada yang tidak berubah meskipun dunia sudah mengalami peristiwa besar dan tragis. Hal itu adalah sifat politik dunia yang pada dasarnya konflik. Misalnya, wabah-wabah yang sebelumnya telah menyapu dunia tidak mengakhiri persaingan kekuatan besar atau mengantar lahirnya era baru kerja sama global. Pandemi flu Spanyol 1918-1919 tidak mengakhiri persaingan kekuatan besar.

Setelah tragedi 9/11, pemerintahan George W Bush meramalkan dalam Strategi Keamanan Nasional pertamanya bahwa Amerika Serikat dan China akan meningkatkan kerja sama dalam tantangan global. Tetapi, ternyata prediksi tersebut salah. Kedua negara malah terlibat dalam persaingan, bahkan perang dagang di zaman Donald Trump.

Apakah pandemi Covid-19 juga tidak akan melahirkan perubahan? Yang berpandangan optimistis akan mengatakan krisis besar memiliki konsekuensi besar, termasuk akibat-akibat positif dan negatifnya. PD II, misalnya, selain melahirkan dua kekuatan besar dunia—AS dan Rusia—juga telah melahirkan semangat kebersamaan antar-bangsa-bangsa. Hal tersebut dimanifestasikan dengan didirikannya PBB, IMF, dan juga Bank Dunia.

PBB yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945 bertujuan menyelamatkan generasi penerus dari momok perang, untuk menegaskan kembali keyakinan pada hak asasi manusia yang fundamental, untuk menetapkan kondisi di mana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari perjanjian dan sumber hukum internasional lainnya dapat dipertahankan, dan untuk mempromosikan kemajuan sosial dan standar kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar.

Selain menjaga perdamaian dan keamanan, tujuan penting lainnya termasuk mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara berdasarkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat; mencapai kerja sama di seluruh dunia untuk menyelesaikan masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan internasional; menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia; dan berfungsi sebagai pusat di mana negara-negara dapat mengoordinasikan tindakan dan kegiatan mereka menuju berbagai tujuan ini.

AFP/NICOLAS ASFOURI

Presiden AS Donald Trump (kiri) bertemu Presiden China Xi Jinping di Beijing, China, 9 November 2017. AS dan China terlibat perang dagang dan persaingan yang panas.

Dengan kata lain, tragedi kemanusiaan akibat perang telah membuat orang, manusia semakin menyadari betapa pentingnya kerja sama internasional. Kiranya pandemi Covid-19 pun demikian meskipun sekarang ini, setelah pandemi, secara alami negara-negara akan lebih banyak melindungi diri dari risiko globalisasi; dan lebih memperkuat kemampuan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada pihak lain. Maka itu, Francis Fukuyama menyebutnya sebagai meningkatnya nasionalisme, bahkan isolasionisme, dan xenofobia.

Tetapi, setiap negara tidak juga bisa lantas menutup pintu keluar secara total, kemudian menjadi inward looking karena lebih menekankan pada nasionalisme dan membuang jauh-jauh globalisasi. Kerja sama dengan negara lain tetaplah sangat diperlukan. Misalnya, bertukar pengalaman tentang cara memutus rantai penyebaran virus, memberikan bantuan dalam memerangi pandemi Covid-19 seperti yang dilakukan China terhadap Italia.

Pandemi Covid-19 ini telah menuntut negara-negara untuk bekerja sama lebih erat guna mencari solusi global. Sebab, pandemi ini adalah masalah global, bukan hanya problem satu negara. Maka dari itu, diperlukan solusi global untuk banyak tantangan global jangka panjang, seperti perubahan iklim, masalah  pangan, dan terorisme. Apa yang dilakukan, misalnya, Uni Emirat Arab dan Kuwait yang menawarkan bantuan kemanusiaan pada Iran—dengan mengesampingkan ketegangan politik—adalah kebijakan yang perlu dikembangkan.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa virus korona tidak peduli perbatasan atas negara meskipun sudah ditutup. Semua negara bisa dijamah, dan itu menjadi kenyataan. Itu berarti tidak ada negara yang aman kecuali semua aman. Keamanan semua negara hanya bisa dicapai kalau ada kerja sama antarnegara, kerja sama global. Ini menegaskan betapa pentingnya kerja sama antarnegara.

AFP/STRINGER/ANSA

Tenaga medis China mendarat di Bandara Internasional Fiumicino, Roma, Italia, dari Shanghai, membawa bantuan medis untuk membantu memerangi virus korona di Italia, 13 Maret 2020.

Solidaritas antarnegara dan kesiapan untuk berkorban demi kebaikan bersama sangat menentukan nasib dunia, termasuk akan sangat menentukan wajah dunia di masa depan. Hanya dengan menyatukan dan bekerja sama lintas batas kita dapat mengalahkan virus. Dalam lingkup tingkat negara, misalnya Indonesia, kerja sama semua pihak juga menjadi kunci keberhasilan mengalahkan pandemi Covid-19 yang akan menghantar pada lahirnya zaman baru.

Walau demikian, terwujudnya kerja sama semua pihak, di negeri ini, sangatlah sulit diwujudkan. Banyak orang, banyak pihak lebih mementingkan dirinya sendiri, pihaknya sendiri, ketimbang kepentingan bersama atau kepentingan nasional, dengan berbagai alasan. Padahal, masa depan negeri ini, dan akan menjadi seperti apa Indonesia di masa mendatang pascapandemi Covid-19, sangat ditentukan oleh sikap, kesatuan, dan kesadaran bersama serta kebersamaan kita dalam menghadapinya.

Kompas, 20 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger