Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

PSIKOLOGI: Nilai Penting Sentuhan (KRISTI POERWANDARI)


ARSIP PRIBADI

Kristi Poerwandari

Agar pandemi Covid-19 segera berakhir dan tidak datang lagi dalam gelombang baru, dunia berbicara mengenai the new normal atau normal baru. Mau tidak mau, kita harus mematuhi protokol cara hidup baru untuk melindungi semua pihak. Seyogianya protokol cara hidup baru ini juga memperhatikan aspek sosial psikologis dan kesehatan mental.

Manusia hidup dengan keinginan dan kebutuhannya. Tidak semua kebutuhan merupakan hal esensial untuk dipenuhi. Sebaliknya, ada yang sangat penting guna dipenuhi untuk memungkinkan manusia sehat psikologis.

Kebutuhan dasar

Richard Ryan dan Edward Deci (2017) dalam buku Self-Determination Theory menguraikan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia yang didefinisikan sebagai "asupan" atau "gizi" psikologis yang kehadirannya esensial bagi penyesuaian diri, integritas, dan kebertumbuhan manusia.

Kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis tersebut merupakan sumber daya kritis yang mendasari kecenderungan alamiah manusia untuk dapat bergerak mengorganisasi diri, menyesuaikan diri, dan terus bertumbuh. Karena itu, ketiadaannya, atau hambatan untuk memperoleh pemenuhannya, dapat meningkatkan risiko munculnya sakit psikologis.

REUTERS/JORGE SILVA

Dua wanita berpelukan di dekat Masjid Al-Noor di Christchurch, Selandia Baru, Minggu (17/3/2019). Beragam komunitas di Selandia Baru saling memberikan dukungan dan menyatakan solidaritas mereka menyikapi penyerangan terhadap dua masjid yang menewaskan 50 warga Muslim di Christchurch, Jumat lalu.

Dalam penelitian panjang Ryan dan Deci (2017), kebutuhan dasar yang harus dipenuhi itu adalah kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan relasi (keterhubungan) dengan orang-orang lain. Ketiganya saling berkait dalam perannya untuk menghadirkan manusia sehat psikologis.

Otonomi mengacu pada pengalaman adanya kehendak dan kemauan, perasaan diri yang terintegrasi dan otentik. Kompetensi berbicara mengenai pengalaman diri untuk mampu menguasai (tantangan yang dihadapi) secara efektif. Karena keterbatasan ruang, dalam konteks penanggulangan pandemi, yang paling relevan untuk dibahas saat ini adalah soal pemenuhan kebutuhan relasi.

Kebutuhan akan relasi

Relasi dan keterhubungan dengan orang lain menghadirkan pengalaman kehangatan, keterikatan, kepedulian, dan perasaan diri berarti bagi orang lain. Ini umumnya dipenuhi melalui hubungan riil dengan orang-orang yang dekat atau bermakna bagi individu. Juga melalui relasi sosial yang dijalani individu dalam aktivitas sehari-hari yang menghadirkan pertemuan riil dengan orang-orang lain.

Hambatan pemenuhan kebutuhan akan relasi dapat memunculkan perasaan kesepian, rasa diri tak berharga, teralienasi, atau tersingkir. Sesungguhnya psikologi klinis mengamati bahwa kehadiran internet dengan berbagai pemanfaatannya yang berlebih-lebihan telah menyebabkan cukup banyak dari kita, khususnya orang muda, yang mengalami kesulitan untuk dapat memperoleh pemenuhan kebutuhan akan relasi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ganda putri bulu tangkis Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu, berpelukan setelah dikalahkan ganda Jepang, Ayaka Takahashi/Misaki Matsutomo, pada laga semifinal ganda putri perseorangan Asian Games 2018 di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (26/8/2018). Takahashi/Matsutomo menang 21-15, 21-17.

Persoalan baru muncul dengan hadirnya pandemi Covid-19 yang luar biasa menghadirkan kekhawatiran akan kemungkinan penularan—yang memang sangat riil dapat dan telah terjadi. Kita dilarang menyentuh, setiap hari semua menggunakan masker, dihadapkan dengan petugas kesehatan yang menggunakan baju alat pelindung diri (APD), dan diingatkan untuk terus menjaga jarak.

Bahkan, dilarang untuk menjenguk orang dekat yang sakit dan tidak diperbolehkan untuk mengantarkan yang dikasihi yang sudah dipanggil lebih dahulu ke peristirahatan terakhir.

Brittany Jakubiak dan Brooke Feeney (2017) menyusun review literatur yang sangat komprehensif dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai pentingnya sentuhan untuk menghadirkan kesejahteraan relasional, psikologis, dan fisik pada manusia. Kebutuhan akan sentuhan dan pentingnya sentuhan itu tampak pada semua generasi, dari bayi hingga lanjut usia. Meski pada sekelompok kecil kasus spesifik (misal kasus korban kekerasan) sentuhan afektif dapat saja dirasakan sebagai ancaman.

Normal baru

Singkatnya, sentuhan yang bersifat afektif (bukan seksual), seperti tepukan atau elusan di punggung, belaian antara orangtua dan anak atau antara orang yang saling menyayangi, genggaman tangan, ciuman di pipi, pelukan yang diberikan kepada anak atau sahabat saat ia terpukul oleh kegagalan, amat penting untuk menghadirkan perasaan diri berarti, pengalaman kehangatan, sekaligus mengajarkan kepedulian kepada orang lain.

Bahkan, jabat tangan di antara individu-individu dalam kelompok yang saling berhadapan dalam konflik dapat mengurangi ketegangan dan membantu memperlancar komunikasi untuk menemukan jalan keluar yang win-win.

Pemenuhan kebutuhan akan otonomi dan kompetensi tampaknya tak akan banyak terganggu oleh pandemi Covid-19. Yang cukup mengkhawatirkan adalah soal pemenuhan kebutuhan akan relasi.

Orang dewasa mungkin mengerti mengapa menjaga jarak sosial menjadi prioritas saat ini. Bagi anak, lain lagi halnya. Anak-anak mungkin akan dalam waktu cukup lama didisiplinkan untuk menjaga jarak dan menjauh dari orang lain. Padahal, mereka membawa kecenderungan alamiah sebagai makhluk sosial yang memerlukan kedekatan dan sentuhan dari orang lain.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga mengenakan masker pada anaknya sebelum membeli makanan gudeg buatan Sudarmi (63) di kawasan Demangan, Yogyakarta, Sabtu (30/5/2020).  

Bagaimanakah agar anak dan kita semua tidak merasa terisolasi, tidak telanjur untuk seterusnya mencurigai kehadiran orang lain sebagai pembawa ancaman, dan tetap memiliki kepedulian nyata untuk membantu orang lain? Bagaimanakah memastikan anak tetap dapat tumbuh dewasa dengan melihat diri dan orang lain sebagai sesama?

Sambil menunggu vaksin ditemukan, menjadi tantangan besar bagaimana merekayasa agar the new normal tetap sejalan dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Mungkin akan positif jika para inventor dapat menemukan masker dan APD yang sealamiah mungkin, yang dapat menghadirkan sosok fisik manusia semanusiawi mungkin. Juga menemukan cara agar kita dapat memenuhi kebutuhan untuk memberi dan menerima sentuhan fisik dari sesama, tanpa berisiko menularkan virus.

Dalam lingkungan terkecil, orang dewasa dengan berbagai tantangan yang dihadapi perlu tetap ingat untuk dapat memenuhi kebutuhan afeksi dan relasi bagi anak.

Pada akhirnya, yang ideal dan akan bertahan untuk jangka panjang adalah masyarakat yang sehat fisik, sehat ekonomis, dan juga sehat secara psikologis.

Kompas, 13 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger