Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Turki, Rugi dari Covid-19, Untung dari Libya (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas.

Di tengah tren kurva pandemi Covid-19 yang menunjukkan kenaikan signifikan di banyak negara saat ini, kawasan Timur Tengah justru lebih diramaikan oleh pemberitaan keberhasilan milisi loyalis Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya pimpinan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj dukungan Turki memukul mundur milisi loyalis Jenderal Halifa Haftar dari sejumlah kota di Libya barat.

Para pengamat sepakat, keberhasilan milisi loyalis PM Fayez al-Sarraj menguasai kembali hampir seluruh wilayah Libya barat saat ini berkat bantuan Turki. Sejak kesepakatan kerja sama keamanan dan kemaritiman Turki-Libya ditandantangani oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan PM Libya Fayez al-Sarraj pada akhir November 2019 di Istanbul, Turki diperkirakan telah mengirim ke Libya sedikitnya 100 personel penasihat militer, 8.000-10.000 milisi bayaran dari Pasukan Pembebasan Suriah (FSA) pro-Turki, dan berbagai peralatan militer modern, khususnya puluhan pesawat militer tanpa awak (drone).

Bagi Turki, nilai Libya kini semakin strategis untuk meraih keuntungan dalam jangka menengah dan panjang, sebagai ganti dari kerugian Turki yang luar biasa akibat pandemi Covid-19 saat ini. Ekonomi Turki pada kuartal kedua tahun 2020 mengalami kemerosotan hingga 11,6 persen sebagai dampak ambruknya sektor pariwisata dan turunnya ekspor Turki ke negara-negara anggota Uni Eropa yang dikenal sebagai tujuan utama ekspor Turki selama ini.

Dampak dari limbungnya perekonomian Turki tersebut, nilai mata uang lira Turki sempat mengalami kemerosotan terburuk hingga mencapai 1 dollar AS = 7,26 lira Turki. Ekonomi Turki dikenal sangat bergantung pada pariwisata, industri manufaktur, dan perdagangan internasional. Pada 2019, sekitar 52 juta wisatawan mengunjungi Turki dengan pendapatan devisa mencapai 34,5 miliar dollar AS atau sama dengan 12,1 persen pendapatan nasional Turki.

AFP/MAHMUD TURKIA

Pasukan yang setia kepada Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya mengadakan parade truk sistem pertahanan Pansir di ibu kota Tripoli pada 20 Mei 2020. Truk itu direbut di pangkalan udara Al-Watiya (pangkalan udara Okba Ibn Nafa) dari pasukan yang loyal kepada orang kuat yang berbasis di timur, Khalifa Haftar.

Pada kuartal dua tahun 2020, praktis tidak ada wisatawan masuk ke Turki karena sejak Maret Turki menutup semua bandara udara di seantero negeri dan menghentikan operasi penerbangan. Turki juga menutup semua perbatasan darat dengan negara tetangga untuk mencegah penyebaran Covid-19. Hampir dipastikan Turki kehilangan pendapatan devisa dari sektor pariwisata pada semester pertama tahun 2020 minimal 8 miliar-10 miliar dollar AS.

Adapun nilai ekspor Turki pada 2019 mencapai 180,5 miliar dollar AS. Sekitar 50 persen dari total nilai ekspor Turki tersebut adalah ekspor ke Eropa, yakni 90 miliar dollar AS. Kini praktis perdagangan Turki dengan negara-negara Eropa mengalami kemerosotan tajam karena Eropa menjadi salah satu wilayah terburuk yang tertimpa Covid-19.

Turki hampir dipastikan kehilangan pendapatan devisa dari Eropa pada semester pertama tahun 2020 sekitar 25 miliar-35 miliar dollar AS. Situasi tersebut diprediksi akan berlanjut hingga kuartal ketiga tahun 2020, menyusul terus berlanjutnya kenaikan tren kurva kasus positif Covid-19 di Turki.

Menurut Worldometer, hingga Rabu (10/6/2020), jumlah kasus positif Covid-19 di Turki mencapai 172.114 kasus,  di antaranya 4.729 orang meninggal, dan 144.598 dinyatakan sembuh. Jumlah positif Covid-19 di Turki merupakan terbesar kedua di Timur Tengah setelah Iran.

Akan tetapi, pada saat ambruknya ekonomi Turki akibat Covid-19 itu, Ankara justru semakin mengobarkan perang di Libya dengan terus mendukung PM Fayez al-Sarraj di Tripoli yang tentunya butuh biaya perang tidak sedikit. Kini, Turki pun memikul dua beban ekonomi yang tentunya sangat berat, yaitu dampak Covid-19 dan perang Libya. Secara logika, semestinya Turki menghentikan perang di Libya dengan cara mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Khalifa Haftar, untuk fokus menghadapi serangan Covid-19.

TURKISH PRESIDENCY VIA AP/POOL

Didampingi sejumlah menteri dan penasihat, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) mengikuti Forum KTT G-20 yang digelar secara virtual dari Istanbul, Kamis (26/3/2020). Forum ini dilakukan untuk mengoordinasikan penanganan virus korona tipe baru yang menyebar dengan cepat

Namun, Turki mungkin punya logika lain, yakni kerugian akibat Covid-19, ingin diganti dengan keuntungan dari perang di Libya. Artinya, Turki melihat perang di Libya bukan kerugian, melainkan sebuah investasi untuk mencari keuntungan. Turki rela mengeluarkan dana besar saat ini sebagai investasi untuk biaya perang di Libya demi keuntungan ekonomi dan politik jangka menengah dan panjang.

Turki dikenal sebagai negara yang miskin sumber minyak dan gas. Sebanyak 90 persen kebutuhan minyak dan gas Turki dipasok dari negara saingannya, yaitu Rusia dan Iran. Maka, Ankara melihat kesepakatan kerja sama keamanan Turki-Libya pada 27 November 2019 sebagai pintuk masuk Turki mendapatkan minyak dan gas dari Libya yang kelak sebagai ganti dari Rusia dan Iran.

Selain itu, Turki telah memiliki investasi senilai 19 miliar dollar AS di berbagai proyek d Libya pada era Moammar Khadafy. Nasib investasi Turki tersebut kini tidak jelas, menyusul ambruknya rezim Khadafy akibat revolusi rakyat Libya tahun 2011. Turki dengan masuk ke Libya saat ini tentu ingin mengembalikan nilai investasi 19 miliar dollar AS tersebut setelah Libya kelak kembali normal.

Alasan yang pertama dan utama dari intervensi Turki di Libya dengan membantu GNA pimpinan PM Al-Sarraj adalah untuk kepentingan nasional Turki di sektor politik dan ekonomi. Kepentingan nasional Turki itu pada akhirnya untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Turki sendiri, bukan rakyat negara lain.

AFP/ADEM ALTAN

Anggota parlemen Turki memberikan suara untuk menyetujui ketentuan pengiriman pasukan ke Libya, Kamis (2/1/2020), di Ankara. Parlemen Turki mengeluarkan undang-undang yang menyetujui pengiriman pasukan ke Libya yang bertujuan menopang pemerintah yang didukung PBB di Tripoli. Pemerintahan Tripoli terkepung telah diserang sejak April oleh pasukan Jenderal Khalifa Haftar, yang didukung saingan regional Turki, yaitu Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab.

Dalam upaya mengamankan pasokan minyak dan gas dari Libya ke Turki pada masa mendatang, Ankara akan mati-matian mempertahankan GNA pimpinan PM Al-Sarraj di Tripoli dan Libya Barat. Turki memandang, ibu kota Tripoli tidak akan pernah aman tanpa PM al-Sarraj menguasai Libya barat. Turki juga memandang, jika Tripoli lepas dari tangan PM Al-Sarraj, ambruk pula kesepakatan kerja sama keamanan Turki-Libya dan pada gilirannya Turki akan kehilangan segalanya, baik keuntungan ekonomi maupun politik.

Itulah yang membuat Turki mendorong PM Al-Sarraj mengambil alih kota Surman (67 kilometer arah barat kota Tripoli) dan Sabratha (78 kilometer arah barat kota Tripoli) hingga perbatasan Libya-Tunisia (sekitar 170 kilometer arah barat kota Tripoli).

Milisi loyalis PM Al-Sarraj juga berhasil menguasai kembali pangkalan udara militer Al-Watiya (sekitar 140 kilometer arah barat daya kota Tripoli) pada 17 Mei lalu, serta kota Tarhuna (sekitar 90 kilometer arah tenggara kota Tripoli) dan kota Bani Walid (180 kilometer arah tenggara kota Tripoli) pada awal Juni lalu. Milisi loyalis PM Al-Sarraj kini sedang mengepung kota Sirte (sekitar 450 kilometer arah timur kota Tripoli).

REUTERS / HAZEM AHMED / FILE FOTO

Anggota pemerintah Libya yang diakui secara internasional memasang tanda-tanda kemenangan setelah mengambil kendali pangkalan udara Al-Watiya, barat daya Tripoli, Libya, 18 Mei 2020.

Jatuhnya kota-kota sekitar kota Tripoli ke tangan PM Al-Sarraj saat ini, maka ibu kota Tripoli sudah aman dari ancaman serangan langsung milisi loyalis Khalifa Haftar dan aman pula masa depan investasi Turki di Libya. Lebih dari itu, Turki lewat kesepakatan kerja sama keamanan dengan Libya meraih keuntungan pula di Laut Tengah. Turki melalui kesepakatan kerjasama keamanan itu bisa mengeksploitasi wilayah laut khusus Libya di Laut Tengah.

Diperkirakan Laut Tengah bagian timur menyimpan 120 triliun meter kubik gas yang kini menjadi rebutan negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah. Kebetulan sebagian besar negara-negara bertepi ke Laut Tengah adalah musuh Turki secara politik, seperti Mesir, Yunani, Israel, dan Siprus. Negara-negara lawan politik Turki itu, ditambah Italia, Jordania, dan otoritas Palestina, membentuk forum gas Laut Tengah bagian timur pada Januari 2019 yang berkantor pusat di Kairo.

Turki pun merasa dikuncilkan dari komunitas gas Laut Tengah bagian timur. Turki melalui kesepakatan keamanan dengan Libya membangun kemitraan Turki-Libya untuk melawan forum gas Laut Tengah bagian timur itu. Turki pun kini bisa menggagalkan proyek pembangunan pipa bawah laut dari Laut Tengah ke Eropa yang dikenal dengan proyek EAST MED oleh forum forum gas Laut Tengah bagian timur itu karena pipa gas bawah laut tersebut harus melewati wilayah laut khusus Libya.

Jadi, kesepakatan  keamanan Turki-Libya tersebut memiliki dua ujung pisau sekaligus, yaitu mengamankan investasi dan pasokan migas dari Libya ke Turki, serta melumpuhkan lawan-lawan Turki di kawasan Laut Tengah bagian timur.*

Kompasn 12 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger