Arie Smit identik dengan pohon banyan. Hampir di setiap kanvas ia melukisnya. Tak jarang pohon tinggi besar dan rindang ini dikomposisi di bagian muka, sementara di latar jauh terdapat candi bentar sebuah pura atau pasar. Pohon-pohon banyan itu pun ia lukiskan dengan blok-blok warna yang mengesankan keagungan.
Pada akhir perjumpaanku dengan Arie, ia sudah mulai kehilangan sedikit ingatan, walau humornya tetap segar. Tubuhnya yang tinggi besar dengan susah payah ditopang oleh kakinya yang mulai kaku. Di beranda sebuah paviliun milik kolektor Suteja Neka di Ubud, dengan gemetar aku bertemu Arie. Kalimat pertama yang ia ucapkan," Masih ingat pohon banyan," kata Arie.
Aku yang sudah dua malam menunggu bertemu Arie, langsung sadar bahwa perbincangan kami beberapa tahun sebelumnya, terlalu sibuk dengan urusan alam tropis dan pohon banyan.
Pohon banyan tak lain adalah kata lokal dari nama yang lebih populer, yakni pohon beringin (Ficus benjamina) yang banyak tumbuh di Asia Tenggara. Banyan bagi Arie adalah pohon yang selalu tampak tua, tetapi punya kemampuan bertahan hingga ratusan tahun. Ia sering mengumpamakan dirinya seperti banyan tua yang ingin mati, tetapi selalu saja malaikat maut itu terlambat tiba.
Ia sering mengumpamakan dirinya seperti banyan tua yang ingin mati, tetapi selalu saja malaikat maut itu terlambat tiba.
"Saya sudah 96 tahun! Begini, ya, cara mati di Bali pelan saja. Saya ingin mati mendadak," tutur Arie. Aku terakhir bertemu dengannya bulan Juli 2012 dalam perjumpaan yang amat singkat. Sebagaimana kemudian banyak diberitakan, pelukis keturunan Belanda itu, meninggal Rabu, 23 Maret 2016 dalam usia genap 100 tahun! Sebuah usia yang menyamai gairah hidup pohon banyan.
Arie tak sekadar bermetafor dengan banyan, ia benar-benar menjadi "mahaguru" bagi puluhan anak di Desa Penestanan, Ubud. Dengan sabar, ia mengajari mereka melukis, yang kemudian dikenal publik sebagai gayayoung artist. Kini lebih dari 40 murid-murid Arie hidup sebagai pelukis yang setia dengan gaya young artist. Bahkan, murid-murid itu telah menurunkan kemampuan melukisnya kepada anak-anak dan cucu mereka.
Arie benar-benar menjadi pohon banyan, menjadi peneduh sekaligus sumber inspirasi bagi anak-anak Penestanan. Kau pasti tahu, kalau pohon banyan punya karakter yang rindang, di rerimbunan daunnya burung-burung membuat sarang dan beranak-pinak. Lalu akar-akarnya yang kuat dengan batang yang kekar membuat ia bertahan sampai ratusan tahun.
Aku ingat, Bapak selalu bilang, "Kalau kau bisa, jadilah seperti bingin. Ia berasal dari buah yang kecil." Bapak selalu menggunakan kata bingin untuk menyebut pohon beringin. Kami yang berakar di Bali barat, memang lebih akrab dengan sebutan bingin ketimbang banyan.
Tadinya kupikir, kata-kata Bapak sekadar harapan banyak orangtua kepada anak-anaknya. Tetapi setelah kuliah di Denpasar, aku mulai sadar bahwa pohon yang besar seperti banyan, selalu berasal dari buah yang kecil.
Pelan-pelan setelah dibawa burung-burung, yang telah ia beri kehidupan di bawah rindang daun-daunnya, buah kecil itu tumbuh di tempat-tempat jauh. Tak jarang ia tumbuh di atas bebatuan yang keras, pelan-pelan banyan akan tumbuh sebagai pohon besar yang kemudian melindungi warga dari pedasnya terik matahari.
Apakah kini aku layak disebut sebagai pohon banyan? Kaulah yang memberi nama, sebagaimana dalam filosofi hidup manusia Bali: eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, janganlah pernah merasa paling pintar, dan biarlah orang lain yang akan memberimu predikat.
Aku sadar, predikat itu tumbuh dari hal-hal kecil yang kau bisa lakukan, tanpa mengenal lelah. Jangan lupa, kata Bapak, hidup harus ikhlas menjalani apa pun keadaannya. Kupikir, ini bukan ajaran tentang kepasrahan menerima takdir sepahit apa pun kenyataannya, tetapi justru sebuah kondisi kebatinan yang dilandasi keteguhan iman dalam menjalani kehidupan yang keras.
Teks pada prasasti Bali Kuno, Prasasti Tengkulak dan Prasasti Cintamani (1023 M) di bawah Raja Marakata telah menyebut bahwa waringin atau banyan menjadi salah satu pohon yang dilindungi.
Pada prasasti disebutkan tentang kayu larangan, berupa berbagai jenis kayu yang dilarang untuk ditebang sembarangan. Larangan itu, dalam tafsir banyak peneliti, terkait dengan perlindungan terhadap pohon beringin atau banyan yang memiliki berbagai fungsi ritual dan pengobatan.
Di halaman depan Puri Negara, Jembrana, aku ingat terdapat pohon bingin besar, di mana banyak anak muda berkumpul. Mereka biasanya bermain gitar atau mengobrol sepulang dari sekolah.
Kami selalu bersenda-gurau, seperti juga burung-burung yang hidup damai di antara kerindangan daun-daun bingin. Saat kami tertawa dalam gairah anak muda yang meledak-ledak, burung-burung berceciat di atas (mungkin) bermain loncat-loncatan dengan anak-anaknya.
Pohon bingin ini disucikan karena menjadi tempat bagi warga untuk melaksanakan ritual ngalap don bingin, memetik daun beringin. Ritual ini serangkaian dengan upacara Ngaben, di mana daun beringin dipergunakan sebagai sarana puspa lingga, perwujudan roh yang telah disucikan.
Roh yang telah disucikan diumpamakan sebagai pohon banyan yang kekar, rindang, dan tabah menjalani segala bentuk rintangan. Di alam niskala roh akan mengembara dengan bekal ketabahan dan keikhlasan untuk kemudian memasuki pintu nirwana.
Pada konsep ajaran aku mengenal istilah vasudhaiva kutumbakam, artinya pada dasarnya seluruh makhluk yang ada di dunia bersaudara. Pada tataran roh, seluruh makhluk pada dasarnya berasal dari sinar suci yang sama, yakni div, sinar suci dari Tuhan Yang Mahaesa. Bahwa perbedaan itu terjadi, ketika roh memasuki sarira atau tubuh, yang kemudian memiliki bayu, sabda, danidep (kemampuan untuk bergerak, kemampuan berbicara, dan kemampuan berpikir).
Aku menyebutnya sebagai ajaran Tri Pramana, tiga dasar potensi makhluk hidup yang kodrati. Tiga dasar ini menjadi dasar-dasar kebijaksanaan hidup semua makhluk hidup di bumi.
Kau beruntung sebagai manusia memiliki ketiga dasar pijakan hidup itu. Memiliki kemampuan bergerak dengan energi dalam dirimu, memiliki kemampuan berbicara dengan tutur kata yang diturunkan kepadamu oleh para leluhur, lalu kau juga memiliki kemampuan berpikir untuk merengkuh ilmu pengetahuan. Hewan-hewan atau binatang, cuma memiliki dua hal: bayu dan sabda. Ia tidak bisa menggunakan daya jelajah pikirannya untuk merengkuh pengetahuan. Sementara pohon seperti banyan, hanya memiliki bayu, ia tidak bisa berbicara apalagi kemampuan untuk berpikir.
Aku percaya, di sinilah Tuhan menurunkan vasudhaiva kutumbakam itu, bahkan dalam salah satu bait puja Tri Sandya, kau bisa mendapati mantra suci berbunyi,sarwa prani hitangkara.
Artinya, semoga semua makhluk berbahagia, apa pun wujud fisiknya. Doa-doa itu tentu saja menjelma menjadi kesadaran tentang pentingnya rasa saling menghormati di antara sesama makhluk Tuhan penghuni bumi.
Kalau kau nanti melihat pohon-pohon, terutama pohon banyan diberi balutan kain putih atau poleng, apalagi kemudian di dekatnya didirikan tempat suci, bukanlah berarti penyembahan terhadap pohon.
Aku tahu, kau akan menuduhnya sebagai sisa-sisa ajaran animisme. Jika toh benar, apa salahnya ajaran itu? Bukankah masyarakat Jepang yang modern itu juga meletakkan pohon, utamanya pohon-pohon besar, sebagai bagian penting dari caranya menghormati hidup?
Begitulah cara kami menghormati keberadaan pohon, terutama terhadap pohon-pohon yang memberikan manfaat baik terhadap kehidupan manusia dan kelangsungan alam semesta.
Jika Arie Smit dan barangkali banyak pelukis lain melukis pohon banyan, ia tidak sekadar memperlakukannya sebagai obyek artistik. Pohon banyan telah menjelma sebagai sikap hidup, satu sikap rendah hati di hadapan kuasa semesta yang demikian besar.
Kupikir tidaklah sembarangan parafounding fathers kita menggunakan simbol pohon beringin di dalam perisai Pancasila. Pohon beringin telah menjadi simbol teks pada sila ketiga yang berbunyi, "Persatuan Indonesia". Pesannya cukup jelas, bukan?
Selain pesan Bhinneka Tunggal Ika, yang digenggam burung Garuda, kita juga memiliki teks bersimbol pohon beringin, yakni Persatuan Indonesia. Dalam kondisi yang riil di mana Indonesia terdiri dari berbagai berbagai suku, agama, ras, kepercayaan, dan golongan, keteduhan pohon beringinlah yang bisa membuat kita bersatu.
Pohon beringin sudah pasti tak lahir sebagai sekadar peneduh persatuan, tetapi ia juga adalah banyan, yang mengantarkan pesan-pesan persaudaraan sebagai sesama makhluk Tuhan di Bumi.
Arie Smit memahami ini setelah puluhan tahun hidup di Indonesia, khususnya Bali. Ia membahasakan dirinya dengan mengatakan, "Saya orang asing terlama yang tak pernah ke luar negeri, 60 tahun!" ujarnya.
Arie kemudian memilih menjadi warga negara Indonesia karena ia mencintai Indonesia, walau pada awal tugasnya ia adalah tentara kolonial di Hindia Belanda.
Pohon banyan tua itu pada masa-masa akhir hidupnya, tetap kokoh di hadapan Sang Pemberi hidup. Ia selalu bergurau dengan menyebut, Tuhan terlalu panjang memberi umur pada dirinya. Ia ingin segera menyudahi hidupnya, tidak dengan bunuh diri, tetapi berserah di hadapan Tuhan sebagai pemilik nyawanya.
Meski lahir di Barat, yang percaya penuh pada rasionalitas sebagai sumber segala penciptaan di dunia, tetapi Arie sangat pantheistik. Ia menyamakan dirinya sebagai pohon banyan tua yang kian rapuh dimakan usia, tetapi tetap ingin memberi sisa-sisa kehidupannya kepada orang-orang sekitarnya.