Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Juli 2020

RESENSI BUKU: Ketika Politik Uang Menjadi ”New Normal” (YOES C. KENAWAS)


Judul Buku: Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru.

Penulis: Burhanuddin Muhtadi Ph.D.

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetakan : I, 2020

Tebal : xvi+391 halaman

ISBN : 978-602-481-414-4

Politik uang yang masif seakan telah menjadi "new normal" dalam demokrasi Indonesia. Politik uang memang telah terjadi sejak Orde Baru berkuasa. Namun, perubahan institusi kepemiluan seakan membuka keran bagi semakin mewabahnya praktik jual-beli suara dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Joseph Schumpeter (1942) mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem pergantian kekuasaan secara damai dan berkala karena para peserta pemilu berkompetisi untuk merebut dukungan pemilih. Oleh karena itu, kompetisi adalah salah satu komponen yang tak terpisahkan dalam sistem demokrasi.

Kompetisi yang ketat antarpeserta pemilihan merupakan sesuatu yang didambakan dalam sistem demokrasi. Asumsinya, semakin ketat kompetisi semakin ketat pertarungan program dan ide antarpeserta pemilu untuk menentukan arah kebijakan untuk satu periode ke depan.

Makin ketat persaingan antarpeserta pemilu, makin baik bagi kehidupan demokrasi itu sendiri. Pemenang pemilu akan terpacu untuk terus mempertahankan kinerjanya karena sadar bahwa ia bisa digantikan oleh lawan politiknya pada pemilu berikutnya.

Sebaliknya, pihak yang kalah akan berusaha untuk mencari celah atas kebijakan dan sikap politik sang pemenang, serta menawarkan berbagai solusi alternatif untuk merebut kekuasaan dalam pemilu selanjutnya. Setidaknya itu gagasan ideal dari dimensi kompetisi dalam sebuah demokrasi prosedural.

Makin ketat persaingan antarpeserta pemilu makin baik bagi kehidupan demokrasi itu sendiri.

Namun, bagaimana jika ternyata sengitnya persaingan antarpeserta pemilu ternyata membawa dampak negatif yang justru mengkhianati tujuan demokrasi itu sendiri? Bagaimana bila pemilu yang ketat ternyata tidak memicu para peserta pemilihan untuk bertarung ide dan gagasan, malah menyuburkan praktik jual-beli suara antara peserta pemilu dan calon pemilihnya?

Melalui Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca-Orde Baru,Burhanuddin Muhtadi  menunjukkan bahwa perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka memiliki dampak besar terhadap semakin maraknya transaksi jual-beli suara di Indonesia.

Dalam sistem proporsional terbuka, calon legislatif (caleg) masing-masing partai harus bersaing dengan caleg dari partai peserta pemilu lainnya, sekaligus bertarung dengan sesama caleg dari partainya sendiri di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Untuk dapat memenangkan pertarungan, kandidat tidak harus menang dengan selisih yang jauh dari pesaing terdekatnya. Kandidat tersebut cukup menang dengan selisih suara yang tipis.

Situasi ini menyebabkan politik uang menjadi sebuah pilihan yang menggiurkan bagi peserta pemilu. Meskipun strategi politik uang bukan merupakan yang paling efisien, praktik jual-beli suara ini cukup efektif untuk mengamankan selisih suara si kandidat dengan lawan politik terdekatnya, terutama caleg dari partai yang sama.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai gencar mengampanyekan anti politik uang dan politik sara. Kampanye antipolitik uang dan SARA itu salah satunya dilakukan dengan pemasangan spanduk di Jalan Ceger Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (5/3/2020).

Kuasa Uang sukses mendukung argumen di atas dengan berbagai data empiris yang dirancang dengan sangat apik oleh Burhan yang telah malang melintang dalam dunia survei politik di Indonesia. Sebagai contoh, melalui eksperimen jajak pendapat, Burhan menunjukkan bahwa ada sekitar 25-33 persen dari total pemilih di Indonesia yang pernah ditawari berbagai keuntungan material sebagai imbal balas atas pilihan mereka pada kandidat tertentu. Jumlah ini setara dengan 47 juta hingga 62 juta pemilih yang terdaftar dalam pemilu tingkat nasional.

Loyalis partai

Lebih lanjut, Burhan juga menunjukkan bahwa mereka yang menjadi target utama jual-beli suara bukan hanya mereka yang teridentifikasi sebagai pemilih mengambang, tapi juga mereka yang dilihat sebagai loyalis partai. Temuan ini cukup mengejutkan karena selama ini ada asumsi  umumnya pemilih mengambang yang menjadi target praktik jual-beli suara. Sementara loyalis partai diasumsikan kebal dari politik uang, tak mudah tergoda.

Di beberapa negara Amerika Latin, misalnya, loyalis partai biasanya berperan sebagai mediator, bukan sasaran politik uang. Di Indonesia, mediator transaksi jual-beli suara antara kandidat dengan loyalis partai biasanya merupakan jaringan personal kandidat yang belum tentu kader partai. Mereka ini yang membidik para pemilih mengambang maupun loyalis partai. Burhan menyebut strategi ini sebagai pendekatan "loyalis personal."

Kedua temuan tersebut tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan dan legitimasi sistem demokrasi di Indonesia. Salah satu tujuan dari sistem proporsional terbuka adalah meningkatkan akuntabilitas para caleg terpilih karena mereka produk pilihan langsung masyarakat, bukan keputusan elite partai.

Kuasa Uang sukses mendukung argumen diatas dengan berbagai data empiris yang dirancang dengan sangat apik oleh Burhan yang telah malang melintang dalam dunia survei politik di Indonesia.

Namun, apa jadinya kalau ternyata ada sebagian dari caleg terpilih justru memenangi kompetisi elektoral dengan mengandalkan jual-beli suara, bukan dengan menawarkan program kerja legislasi yang akan mereka lakukan ketika mereka terpilih?

Maka, tak heran apabila berbagai kritik terhadap DPR, seperti rendahnya kinerja legislasi DPR, maraknya korupsi yang melibatkan beberapa anggota parlemen, hingga rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR, seakan mendapat penjelasan valid melalui temuan ini meskipun tidak semua anggota legislatif terpilih melakukan jual-beli suara.

Lebih lanjut, jika ternyata loyalis partai juga menjadi salah satu target politik uang, maka fakta ini semakin memupuskan harapan akan adanya perbaikan institusionalisasi partai politik di Indonesia. Asumsinya, selama ini loyalis partai dianggap sebagai mereka yang mengasosiasikan dirinya dengan partai tertentu berdasarkan ikatan ideologis, bukan patron-klien semata.

Mural dengan imbauan Pilkada DKI menghias dinding terowongan fly over Bungur, Jakarta, Selasa (10/7/2012). Karya Street Art Peduli Pilkada tersebar di sejumlah dinding di Jakarta mengimbau agar masyarakat cerdas dan cermat dalam memilih.

Jika ada perubahan dari dalam partai politik, harapan tersebut ada di pundak para loyalis partai. Jika mereka ternyata justru menjadi sasaran utama praktik jual-beli suara, hampir bisa dipastikan bahwa perubahan yang digerakkan oleh loyalis partai sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.

Keadaan ini diperparah dengan rendahnya tingkat identifikasi pemilih dengan partai tertentu (party ID) yang secara konstan terus menurun dalam 22 tahun terakhir.

Kontribusi penting

Kuasa Uang memiliki tiga kontribusi penting bagi pengembangan ilmu politik dan demokrasi di Indonesia. Pertama, buku ini berhasil memberikan bukti empiris yang kuat atas mewabahnya politik uang di Indonesia, sebuah fenomena yang sudah menjadi rahasia umum namun sangat sulit untuk dibuktikan. Burhan melakukannya melalui serangkaian pertanyaan survei yang khusus dirancang untuk menghindari kekhawatiran responden mengungkapkan pengalaman mereka yang sesungguhnya.

Kedua, melalui buku ini, Burhan mematahkan argumen esensialis yang menyatakan politik uang adalah sebuah budaya atau tradisi yang khas dalam politik di Indonesia. Melalui wawancara tatap muka dengan politisi dan makelar yang terlibat langsung dalam politik uang, Burhan menunjukkan bahwa argumen berbasis budaya atau agama hanya merupakan "bungkus" untuk justifikasi politik uang, bukan penyebab utama maraknya praktek jual-beli suara.

Ketiga, Kuasa Uang hadir pada waktu yang tepat ketika DPR mulai kembali membahas mengenai perbaikan sistem kepemiluan di Indonesia. Buku ini memaksa pembacanya untuk mencermati berbagai klaim yang akan didengungkan oleh para politisi yang memiliki kepentingan politiknya masing-masing selama masa pembahasan RUU Pemilihan Umum.

Kuasa Uang memiliki tiga kontribusi penting bagi pengembangan ilmu politik dan demokrasi di Indonesia.

Ada tiga solusi yang harus dilakukan untuk membatasi meluasnya praktik jual beli suara di Indonesia, dan pada titik ini Kuasa Uang memiliki kontribusi penting. Pertama, harus ada rekayasa sistem kepemiluan. Burhan menawarkan tiga pilihan yang bisa diambil untuk meredam praktik politik uang, yakni kembali ke sistem proporsional tertutup, mengadopsi sistem single-member distrik, atau mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan besaran daerah permilihan yang diperkecil.

Burhan menyuguhkan ketiga alternatif sistem pemilihan tersebut dengan berbagai kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjadi bahan pertimbangan pembuat kebijakan dan pegiat demokrasi.

Solusi kedua adalah penguatan sistem pengawasan pemilu dan peningkatan kapasitas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat penegak hukum terkait. Permasalahan utama yang dihadapi oleh pengawas pemilu adalah regulasi berlebihan yang mengatur berbagai pelanggaran pemilu, serta jangka waktu penanganan pelanggaran yang begitu singkat.

Situasi ini menurunkan perceived costspeserta pemilu yang berniat melakukan politik uang. Oleh karena itu, berbagai aturan mengenai pelanggaran pemilu harus segera disederhanakan, bukan dibuat makin kompleks.

Terakhir, pendidikan politik mengenai pentingnya akuntabilitas politisi terhadap pemilih perlu untuk terus digiatkan. Burhan mengingatkan kita bahwa tanggung jawab pendidikan politik bukan hanya ada di pundak KPU atau Bawaslu. Pendidikan politik adalah tanggung jawab kolektif yang juga harus ditanggung oleh media, organisasi non-pemerintah, dan mereka yang peduli akan masa depan demokrasi di Indonesia.

Ada tiga solusi yang harus dilakukan untuk membatasi meluasnya praktik jual beli suara di Indonesia, dan pada titik ini Kuasa Uang memiliki kontribusi penting.

Menurut Levitsky dan Ziblatt (2018), dewasa ini demokrasi runtuh bukan melalui kudeta bersenjata, melainkan melalui para pemimpin yang terpilih melalui sistem yang diklaim demokratis. Dengan menggunakan mekanisme yang konstitusional dan "demokratis", para pemimpin otoriter "zaman now" menyalahgunakan aturan hukum untuk membatasi ruang gerak oposisi dan melanggengkan kekuasaan mereka.

Namun, demokrasi juga bisa runtuh manakala ia kehilangan legitimasinya. Legitimasi demokrasi akan runtuh, salah satunya, ketika kompetisi elektoral ternyata digerakkan oleh transaksi material antara politisi dan sebagian pemilih. Secara perlahan, hubungan transaksional macam ini akan menggerus kepercayaan pemilih terhadap demokrasi. Manakala situasi ini terjadi, bersiaplah untuk mengubur mimpi demokrasi yang telah kita bangun 22 tahun lalu.

(Yoes C. Kenawas, Kandidat Doktor Ilmu Politik, Northwestern University, AS)

Kompas, 26 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger