Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 26 Agustus 2020

RESENSI BUKU: Pangeran Tanpa Tafsir Baru (MIKKE SUSANTO)


Sampul Buku Pangeran dari Timur

Judul Buku: Pangeran dari Timur

Penulis: Iksaka Banu dan Kurnia Effendi

Penerbit: Penerbit Bentang

Tahun Terbit: Catakan I, 2020

Tebal Buku: x + 594 halaman.

ISBN: 978-602-292-675-8

Novel ini memayungi dua disiplin ilmu: sejarah dan seni. Kisah utama tentang seorang pangeran kelahiran Semarang yang meninggal tahun 1880. Pada kisah lainnya dihadirkan sejumlah tokoh imajiner berlatar sejarah sekitar kemerdekaan Indonesia antara 1924-1953. Oleh para penulisnya, kedua masa ini dikelola setapak demi setapak, menjalin hubungan, tanpa saling meninggalkan dalam 45 bab.

Sang Pangeran yang dimaksud adalah Raden Saleh Syarif Bustaman. Tokoh ini nyata, termashyur sebagai penganut aliran Romantisisme, sekaligus pelopor seni lukis modern Indonesia. Kini, sebiji lukisannya bisa sampai ratusan miliar rupiah. Dalam novel ini, tokoh yang dilukiskan nyaris tanpa perbedaan dengan sejumlah artikel sejarah yang pernah ada. Termasuk babakan kelahirannya yang belum memenuhi kesepakatan. Untuk menghindari polemik, sang pangeran dikisahkan sudah berusia belasan tahun.

Sementara masa pra hingga kemerdekaan diramaikan dengan sejumlah karakter. Ada Sjamsudin, sang arsitek penyuka lukisan. Ratna Djuwita, si cantik penyuka seni dan pujaan lelaki. Ada Sjafei (Pi'i) aktivis kiri pembaca seni modern yang digambarkan pembohong dan urakan, namun cerdas. Juga Pit Liong, Tionghoa yang baik hati. Kisah mereka berada di antara Batavia, Bandung, Bogor, Makassar, hingga Digul. Mereka saling bergelayut di antara asmara dan perjuangan nasional yang menggelora di masa itu.

Dalam novel ini, tokoh yang dilukiskan nyaris tanpa perbedaan dengan sejumlah artikel sejarah yang pernah ada.

Dobel fokus

Novel yang dikerjakan sejak tahun 2000 sebagai cerita bersambung dan terbit sebagai buku Februari 2020 lalu ini pada hakikatnya menggiring pembaca pada biografi sang pangeran. Pangeran kehidupan dalam mengarungi dua dunia/budaya (Barat dan Timur) yang saling berseberangan, menjadi punggung utama. Kisah migrasinya melalui laut ke Eropa, hingga kembali ke Jawa, dan berbagai pertemuan dengan rekan-rekannya menjadi kisah dominan.

Pertemuan fisik dengan guru lukisnya yang mashur, mulai dari AAJ Payen di Bogor, dan Cornelis Kruseman di Belanda cukup indah disajikan. "Rayuan" Saleh saat berhubungan dengan pacarnya Jonge van de Velde di Belanda, dan kedua istrinya di Jawa, ditambah kedekatannya dengan para pembesar kerajaan Belanda, Jerman, atau Perancis juga mengumbar dana yang diperoleh dari 593 halaman ini.

Hal yang paling diperhatikan bagi saya justru di saat Raden Saleh memberikan kartu nama dengan gelar pangeran di depan namanya sepulang dari Eropa.

"Printz Raden Saleh?" tanya Gubernur Jenderal sembari menunjuk kartu nama Raden Saleh. "Setahuku Tuan adalah kemenakan Bupati Semarang. Tuan memang bangsawan, tetapi tuan bukan pangeran. Apakah aku keliru? " (Hlm. 256).

Sejak nampaknya, Saleh merasa kesal dan langsung turun mental. Ia telah dianggap sebagai pangeran palsu dari (Hindia) Timur.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Beberapa seri prangko Jerman yang menampilkan karya-karya Lukisan Raden Saleh (16/10/2019)

Kemeriahan dan kesenduan hidup sang Pangeran memang ajaib dan memberikan banyak pelajaran. Nasib kisah Saleh dan segalanya yang sastrawi itu harus kalah, dipoles dengan romantika lain yang menurut saya terlalu biasa dan nge-pop. Munculnya kisah para muda-mudi (Sjam, Ratna, Sjafei) di era menjelang kemerdekaan Indonesia menjadi masalah dan memecah fokus kisah dalam novel ini. Kisah para pemuda itu seyogianya menjadi novel independen.

Pop-Romantika

Munculnya Sjam, Ratna, Pi'i yang berkelindan dengan kisah asmara, sebenarnya difungsikan sebagai juru penerang tentang Raden Saleh. Awalnya terasa, tetapi pada separuh buku berikutnya porsi sebagai juru penerang atau "dosen seni" persentasenya menurun drastis.

Kisah mereka justru mengais perhatian dan disajikan dengan ending tragis. Sjam saja yang bahagia mendapatkan pujaan hatinya. Ratna dan Pi'i berakhir pilu. Pi'i perlu menangkap khusus. Sosok ini berhasil hadir berkesan mendalam: Digul-is yang gagal bertahan hidup.

Novel ini sebenarnya masih diisi dengan sejumlah hal sekitar hidup sang pangeran. Obrolan "kuliah" Payen atau Kruseman pada saat ia belajar misalnya. Penjiwaan dan pemilihan simbol objek antar lukisan juga dapat menjadi sensasi dan misteri. Beberapa modus kreasi ide tercipta dalam lukisan-lukisan Saleh bisa dikupas secara mendalam dan sastrawi.

Novel ini sebenarnya masih diisi dengan sejumlah hal sekitar hidup sang pangeran.

Atau, lebih khusus lagi motif batik yang dipakai para pemburu dalam lukisan Saleh juga dapat dieksplorasi. Belum lagi misteri ikonisitas dapat dilebur di dalamnya.

Lahirnya lukisan potret Raden Saleh oleh para pelukis Eropa dalam berbagai gaya dan pose, seperti karya Volgelstein, F Hanfstaengl, KJ Bähr, dan J Dahl dapat juga diungkap lebih lanjut. Sebab, jarang sekali pelukis Jawa yang berhasil dilukis oleh pelukis Eropa.

Pun, jika seting novel ini di akhiri pada 1953, asyik juga memasukkan revitalisasi makam Raden Saleh oleh Presiden Soekarno yang terjadi di September di tahun yang sama. Majalah Budaya No 28-1952, koranJava Bode 8 September 1953, danKompas , 11 Agustus 1967 memuat kisah revitalisasi tersebut. Belum lagi perihal parodi visual sebagai produk intelektual perupa hari ini bisa menjadikan produk sastra jauh lebih menawan.

Kesannya, gegara Sjam, Ratna dan Pi'i, novel ini tampak belum beranjak dari tujuan pasar industri ala Indonesia: cinta anak muda. Jika pernyataan alenia di atas tidak disepakati, novel ini tidak lebih sebagai novel romantika belaka. Jangan berharap mendapat sensasi misteri simbol ala Da Vinci Code , atau sayatan hidup yang dipantau oleh novel biopik Frida karya Barbara-Mujica.

SEKRETARIAT PRESIDEN RI

Mikke Susanto, penulis resensi yang juga sebagai kurator, tengah memberi informasi kepada Presiden Joko Widodo dan tamu lainnya tentang lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada saat pembukaan Pameran Koleksi Istana Presiden RI "17/71 Goresan Juang Kemerdekaan" (1 Agustus 2016).

Kurang "nakal"

Perjalanan hidup dan kekaryaan Raden Saleh yang sarat kisah dan interpretasi telah merebut hati para sejarawan dan kurator seni dari sejumlah negara. Banyak artikel dan buku yang terbit mengenainya. Novel ini sendiri bersandar pada arsip dan buku Warner Krauss bertajuk Raden Saleh, Awal Seni Lukis Modern Indonesia (2012). Sejumlah bab dalam novel ini dekat sekali dengan isi buku tersebut, termasuk kisah tentang keris Naga Siluman milik Diponegoro yang baru saja dikembalikan olen Belanda Maret lalu.

Interpretasi lukisan Raden Saleh memang tak berhenti dikais. Simbolisasi binatang (singa, harimau, dan banteng), pemandangan alam, potret para pembesar, sampai tertangkapnya Diponegoro dalam lukisan, kerap diperdebatkan. Masalah ini menyebabkan jiwa nasionalisme Raden Saleh pun dipertanyakan. Alhasil, posisi sang pangeran palsu ini jadi ambigu. Warga negara nama ia sebenarnya? Bukannya Jawa merupakan bagian dari Hindia Belanda kala itu.

Sejumlah bab dalam novel ini dekat sekali dengan isi buku tersebut, termasuk kisah tentang keris Naga Siluman milik Diponegoro yang baru saja dikembalikan oleh Belanda Maret lalu.

Meskipun ambiguitas dan kekayaan interpretasi tentang (lukisan) Raden Saleh luar biasa, oleh novel Pangeran dari Timur ini tidak sampai memberikan tafsir baru. Katakanlah kurang "nakal" sebagai produk kreatif. Sekaligus kurang lantang dibanding buku yang dirujuknya. Fiksi sebagai fiksi, pengarang punya segala-galanya.

Namun, kehadiran novel ini tetap patut diapresiasi. Berguna untuk mengenalkan sejarah dan sosok legenda Jawa yang mendunia. Apalagi, dalam suasana 75 tahun kemerdekaan RI, urgensi terhadap wacana diaspora dan nasionalisme pun semakin menguat.

Sudah waktunya pesohor macam Raden Saleh menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari kita. Apalagi, novel yang mempertautkan sejarah dan seni Indonesia terbilang langka. Dua pengarangnya, Iksaka Banu dan Kurnia Effendi, berhasil mengisi kelangkaan itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

(Mikke Susanto,  Kurator & Staf Pengajar ISI Yogyakarta )

Kompas, 23 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger